7. A MURDER STORY (2)
SATU HARI SETELAH SUNIAJI MENGHILANG.
Misbah dan anggota Paskibra lain
sedang berbincang-bincang di koridor SMA N Jakarta. Mereka sedang melepas lelah
setelah melaksanakan ekstra kurikuler yang rutin dilakukan setiap hari Sabtu.
Seperti biasa, Misbah bercanda dengan teman-teman satu organisasinya.
“Misbaah...”
Mia memanggil dari kejauhan.
“Miaaa...”
Misbah balas memanggil. Ia berjalan menekati Mia yang sedang duduk di koridor
dekat ruang UKS.
“Masih
paskib?”
“Udehan.
Lagi curcol aje sama yang laen.” jawab Misbah. “Lo mo ngapain? Bukannye lo
nggak ada padus?”
“Emang
nggak ada, dan parahnya gue baru tau tadi setelah gue sampe sini.”
“Haha.
Sedih lo.” kata Misbah dengan nada mengejek. “Eh, tar dulu deh..” kata Misbah,
lalu ia pergi meninggalkana Mia.
Mia
kembali asyik dengan ponselnya. Entah apa yang sedang ia lakukan, ia sendiripun
bingung.
Tak
lama kemudian, Misbah kembali menghampiri Mia dengan tas ransel yang ia
tenteng. Sepertinya tasnya tidak ada isinya.
“Kita
bikin sensasi yuk” kata Misbah.
“Sensasi?”
kata Mia dengan ekspresi wajah yang bingung.
Misbah
lalu mengeluarkan sebuah buku tulis dan bolpoin dari tas ranselnya. “Iye. Kan
Aji lagi ilang tuh, gimane kalo kita bikin cerita-cerita serem terus kita
sebarin lewat e-mail?” kata Misbah.
“Aji
ilang. Ilang ke mane?” tanya Mia. Wajahnya terkejut.
“Moso
lo belom tau beritanye sih?”
“Belom.
Emang ilang ke mane?”
“Ye
nggak tau lah. Kalo gue tau namanye bukan ilang.” jelas Misbah. “Kita bikin
cerita aje. Kita bikin seolah-olah Aji diculik sama pembunuh. Keren nggak?”
“Maksudnye?”
“Jadi
kayak di film Cry_Wolf. Di film itu ada yang nyebarin e-mail boong, terus
parahnya cerita yang mereka bikin malah jadi kenyataan.” jelas Misbah.
“Ih,
keren tuh. Tapi kalo ini jadi beneran gimane?”
“Enggak
lah. Itu kan cuma film.”
Mia
diam sejenak. Ia sedang memikirkan ide gila Misbah yang sepertinya akan
berbahaya. “Ya udeh yuk, bikin.”
Misbah
lalu membuka buku dan menyiapakan bolpoinnya. Mereka mulai mendiskusikan cerita
bohong yang akan mereka sebarkan. Mereka benar-benar asyik dalam membuat
kebohongan. Bukan hanya asyik, tapi juga hebat, karena Misbah sudah
berpengalaman dalam aktifitas tipu-menipu sejak ia SMP. Bahkan ia pernah
melakukan kebohongan selama satu tahun kepada temannya, dan hebatnya temannya
tidak mengetahuinya. Sementara Mia, dia lumayan licik untuk seorang wanita.
Licik dalam hal ini adalah dalam mempermainkan pria yang menjadi kekasihnya.
“Oke.
Ceritanya kita samain aja kayak di film Cry_Wolf. Ceritanya tentang pembunuhan
yang berjalan dari sekolah ke sekolah.” jelas Misbah.
“Bagus
juga. Terus?” tanya Mia sambil dengan serius mendengarkan apa yang Misbah
katakan.
“Kita
butuh ciri-ciri si pembunuh yang nyulik Aji. Menurut lo gimane?”
Mia
berfikir. Sejenak ia teediam, lalu mulai berbicara. ”Gimane kalo pembunuhnye
pake baju item-item?” kata Mia.
“Mmm,
bagus juga. Gimane kalo si pembunuh pake jaket kamuflasi item sama celana jeans
item?”
“Ah,
bagus tuh. Terus pake topeng, biar nggak ketauan mukanye.”
“Oh
iye bener. Pake topeng itu aje, Guy Fawkes.” jelas Misbah.
“Guy
Fawkes. Yang mane sih?” tanya Mia.
“Yang
ada di film V For Vendetta. Pokoknye keren deh.”
Mereka
terus melanjutkan cerita bohong ciptaan mereka. Beberapa poin-poin penting
telah ditulis oleh Misbah, walaupun ada poin-poin yang dicoret oleh Mia
kemudian diganti.
Kini
mereka masuk dalam proses pengembangan cerita. Misbah mulai mengembangkan
poin-poin yang tadi dicatat menjadi sebuah paragraf cerita dengan bahasa yang agak baku dan agak serius. Sesekali Mia
menyarankan untuk mengganti bahasa yang Misbah gunakan ketika bahasa yang
ditulis ternyata rancu dan akhirnya malah merusak cerita.
Cukup
lama mereka asik dengan kebohongan yang mereka buat. Tanpa disadari, waktu
telah berlalu 35 menit. Beberapa siswa-siswi dari ekstra kurikuler Paskibra
juga telah meninggalkan sekolah. Di lorong tempat mereka berdua membuat cerita
kini mulai agak sepi. Hanya ada beberapa anggota PMR yang sedang bercengkrama
di ruang UKS.
Di
depan suatu ruangan di SMA N 5 Jakarta, seseorang berpakaian serba hitam dengan
toeng Guy Fawkes sedang menutup pintu dan menguncinya. Di dalam ruangan yang
dikunci tersebut ada Suniaji yang sedang dalam keadaan tidak sadar. Setelah
mengunci ruangan tersebut, orang bertopeng itu berjalan menuju lantai bawah.
Ketika
sedang berbelok menuju tangga, ada seekor kucing berwarna putih. Terlihat
seperti bukan kucing rumahan dengan rambut yang tidak terlalu tebal namun
bersih. Orang bertopeng itu mengambil kucing tersebut dan menggendongnya,
membawanya turun.
Di
lorong di lantai bawah, Mia dan Misbah masih asik dengan kebohongan mereka. Mia
menuliskan kata-kata terakhir dalam cerita yang mereka buat, dan akhirnya
cerita itu selesai.
“Ke
kantin yuk, Mis. Laper nih gue.” Kata Mia setelah selesai menulis cerita.
“Masih buka nggak.”
“Masih.
Tapi udeh sepi kayaknya.” Jawab Misbah sambil menutup buku tulis yang tadi
digunakan untuk membuat cerita dan memasukkan bolpoinnya ke dalam tas.
Mereka
akhirnya berjalan menuju kantin melewati lorong seklah yang sepi. Dari lorong,
terlihat beberapa orang sedang duduk-duduk di masjid sambil tertawa. Dari jaket
hjau yang mereka pakai, pastilah mereka anggota Rohis.
Mia
dan Misbah melewati tangga yang pintunya hanya terbuka sedikit. Anggota-anggota
ekskul Fotografi turun berbarengan melawati tangga itu sambil satu sama lain
membicarakan tentang objek yang baru saja mereka abadikan. Setelah orang-orang
dari ekskul Fotografi turun, ada seekor kucing putih yang berlari menuruni
tangga menuju lapangan.
Mia
dan Misbah berbelok ke kanan menuju ke arah kantin. Di tikungan, mereka hampir
saja menabrak Aldi yang sedang berjalan terburu-buru.
“Eh…
ngapain lo?” tanya Mia.
“Mau
fotografi di lantai dua.” Jawab Aldi sambil berjalan meninggalkan Mia dan
Misbah.
Mia
dan Misbah lalu menuju kantin.
Mia
membeli segelas es teh dan sepiring nasi goreng.
Mereka
kemudian duduk di meja sambil membicarakan cerita yang telah mereka buat.
Mereka sedang merencanakan penyebaran cerita bohong yang mereka buat tersebut
melalui email.
“Kira-kira
kapan ya gue nyabarin ceritanya?” tanya Misbah sambil menganbil kerupuk yang
ada di piring nasi goreng yang dimakan Mia.
“Entar
malem aja.” kata Mia sambil mengunyah nasi yang ada di mulutnya. Ia kemudian
menghabiskan nasi di mulutnya lalu meminum es teh yang tadi dibelinya.
“Kira-kira yang laen udah pada tidur, baru lo sebarin deh.”
“Ah,
gila lo. Terus gue musti nungguin gitu di warnet sampe malem?”
“Ya
udeh. Sore-sore aje, abis magrib. Kan biasanye anak-anak lagi pada buka
Facebook tuh, kan pasti males juga buka email.” kata Mia.
“Iye
juga ye. Ya udeh, entar sore gue ke warnet deh.” kata Misbah setuju. “Sekalian
mau ngirim tugas dari Bu Vero.”
“Hah,
yang mane?”
“Ga
tau deh yang mane.” kata Misbah dengan polos.
Lalu
mereka tertawa bersama. Mia yang saat itu sedang mengunyah nasi goreng hampir
saja tersedak. Akhirnya Mia terbatuk-batuk.
Alfiil
sedang dalam perjalanan ke lantai dua gedung ITC Cempaka Mas. Ia sedang menuju
sebuah toko barang-barang gothic. Di toko itu menjual barang-barang yang berbau
gothic, mulai dari kaus, celana, kemeja, jaket, topi hingga topeng-topeng tokoh
hantu terkenal.
Alfiil
sudah berada di depan toko. Ia memasuki toko yang ukurannya tidak terlalu besar
tersebut. Di bagian depan toko dipajang sebuah tas punggung berbentuk peti mati
dengan huruf timbul di bagian depannya. Huruf-huruf itu membentuk sebuah kata Guns
N’ Roses. GNR adalah sebuah group band musik beraliran hard rock yang berasal
dari Amerika Serikat. Band yang cukup ngetop
pada tahun 80 sampai 90an ini memang terkenal dengan dandanan personilnya yang
serba gothic, bahkan hingga sampul album mereka juga berdesain gothic.
Alfiil
masuk lebih dalam ke toko tersebut. Ia menuju ke bagian topeng. Ada banyak
topeng yang dijual di toko itu. Mulai dari Ghostface, Chucky, Frankestein,
Zombie, hingga HellBoy. Di sebuah rak, ada topeng yang tersisa satu. Bukan
topeng yang menyeramkan atau berbau gothic. Hanya sebuah topeng wajah seorang
laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Topeng itu adalah topeng seorang tokoh
yang berasal dari Inggris. Topeng itu terbuat dari kayu.
Alfiil
membeli topeng itu dan membayarny.
Di
depan toko tempat ia membeli topeng, ia menelepon seseorang menggunakan
ponselnya.
“Halo!”
kata Alfiil.
“Iya?”
jawab sesorang di ponsel.
“Gue
udah dapet topengnya. Lo tinggal bayar ke gue. Besok gue kasih ke lo.” kata
Alfiil dengan nada serius.
“Sesuai
sama yang gue mau kan?”
“Pasti.”
“Oke.
Thanks.”
Alfiil
lalu memutus sambungan telepon. Ia kemudian berjalan menuju tempat parkir motor
dan pulang.
Mia
dan Misbah masih tertawa di kantin. Mereka asyik mengobrol bahkan sampai nasi
goreng yang dibeli Mia habis sejak tadi.
Misbah
memegang ponselnya dan membuka menu Pesan. Ia menulis subuah pesan pendek untuk
seseorang. Wajahnya sangat serius. Sepertinya ia sedang menulis pesan untuk
seseorang yang sangat penting. Mia yang sejak tadi mengoceh panjang tidak
didengarkan oleh Misbah.
“Heh,
ngapain sih?” tanya Mia.
Misbah
langsung kaget. Secara reflek, ia langsung menoleh ke arah Mia yang sedang
duduk di depannya. “Ehh, lagi SMS.” jawab Misbah.
“Gimana?
Ide gue bagus nggak?” tanya Mia sambil senyum-senyum.
“Ide
apaan?” tanya Misbah bingung.
“Jadi
dari tadi lo nggak dengerin gue ngomong?”
“Oh,
enggak. Sorry sorry/”
Mia
langsung memasang wajah kesal.
Hari
semakin siang an mereka masih berada di kantin sekolah. Langit mulai gelap oleh
awan mendung. Sekolah sudah mulai sepi. Siswa-siswi yang mengikuti ekstra
kurikuler sudah mulai pulang.
Mia
dan Misbah berjalan di lorong sekolah di lantai dasar. Titik-titik kecil
gerimis mulai membasahi lapangan SMA N 5 Jakarta. Angin dingin menerpa gedung
sekolah yang penuh dengan misteri.
“Dingin,
Mis.” gumam Mia.
Misbah
hanya diam. Ia sedang berpikir tentang sesuatu yang menyeramkan yang mungkin
terjadi di sekolahnya.
Misbah
bergidik sendiri saat yang dipikirkannya terlampau menakutkan.
“Hiiih…..”
kata Misbah tiba-tiba.
“Kenape,
Mis?” tanya Mia yang sedang berjalan di sampingnya.
“Coba
deh lo bayangin. Lagi gini-gini nih, tiba-tiba ada hantu. Cewek, anak kecil,
rambutnya panjang warna coklat, pake gaun kayak orang Belanda yang roknye
megar.” kata Misbah dengan nada yang seakan-akan membuat ceritanya menakutkan.
“Terus?”
“Kan
serem.”
Mia
sejenak berfikir, kemudian berbicara lagi. “Biasa ah.”
Kali
ini Misbah yang giliran memasang wajah kesal.
Mia
pulang ke rumah. Ia tertidur di kamarnya karena lelah dengan otaknya yang digunakan
untuk berimajinasi untuk membuat sebuah kebohongan. Ia tertidur hingga
melwatkan .makan malamnya yang nikmat.
Tengah
malam, Mia terbangun karena ponselnya berdeing. Ia menatap layar ponsel dengan
mata sayu. Ternyata itu SMS dari Aisyah yang mengabarkan bahwa Suniaji tidak
pulang sejak hari Jum’at yang lalu.
0 comments:
Posting Komentar