Selasa, 17 Januari 2012

Vendetta In V (Bab 4)


4. A MURDER STORY (1)

RICKY pulang tak lama setelah Fani, Dita, dan Afifah pulang. Ia menyeberang jalan untuk menaiki bis dengan arah ke Sumur Batu. Dalam perjalanan, ia terus berpikir tentang siapa si pengirim email dan yang dia sebut sebagai ‘Dia’ di dalam email itu.
            Bis melewati pasar Sumur Batu dan belok ke kanan ke arah Kemayoran. Ricky beberapa kali melihat ponselnya, entah untuk apa ia melakukannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.10. Sinar matahari masuk menembus kaca bis yang ditumpangi Ricky. Ia turun di depan kantor Polsek Kemayoran. Ia melanjutkan berjalan menuju rumahnya, karena rumahnya tidak begitu jauh dari kantor polsek. Rumahnya berada di daerah Apron, tepatnya di daerah rumah susun.
            Dalam perjalanan menuju rumah, Ricky bertemu dengan Yesica. Ia membawa sebuah amplop yang terbuat dari kertas daur ulang. Yesica mendekati Ricky dan memberikan amplop itu kepada Ricky.
            “Ricky, tadi ada yang ngasih ini ke aku. Katanya suruh kasih ke Ricky.” kata Yesica sambil memberikan amplop berkertas daur ulang itu ke Ricky.
            “Apaan nih?” tanya Ricky. Wajahnya terlihat bingunung. Tangannya menerima amplop dari tangan Yesica dengan ragu-ragu.
            “Nggak tau. Aku duluan ya, mau ngerjain PR.” kata Yesica, lalu pergi meninggalkan Ricky.
            Ricky membawa amplop itu pulang. Ia penasaran dengan isi amplop tersebut. Mungkinkah isinya bom? Tapi tidak mungkin. Amplop ini tidak sebesar kotak sepatu. Atau mungkin surat undangan untuk acara di gereja? Kalau itu mungkin saja.
            Sesampainya di rumah, ia membuka amplop tersebut. Ia menarik secarik perkamen dari amplop tersebut. Perkamen yang dilipat raih, berwarna kecoklatan, seperti kertas yang sudah lama tidak dipakai. Baunya pun seperti bau debu.
            Ricky membuka lipatan perkamen itu. Ia melihat isi suratnya. Dia bingung sekali saat melihat isi perkamen itu. Tidak ada apa-apa. Putih bersih, atau lebih tepatnya disebut cokelat bersih. Ia membalik-balik perkamen tersebut. Tidak ada tulisan atau goresan tinta sama sekali. Ia meletakkan kertas itu di atas meja di rumahnya.
            Ia ke dapur untuk mengambil apel dan pisau. Ia mengupas apel di atas meja tempat ia menaruh kertas perkamen tadi. Sialnya saat membelah apel, telapak tangannya teriris pisau. Kulitnya sedikit terkelupas, sepertinya agak dalam. Darah keluar dari sela-sela kulitnya. Ia mengerang kesakitan. Tangannya di geser ke tempat lain supaya darahnya tidak menetes ke apel yang sudah dikupas.
            Darahnya menetes di atas perkamen tua yang tadi diletakkan di atas meja. Ia melihat sesuatu terbentuk di atas perkemen itu. Ada bagian kertas yang tidak bisa basah oleh darah. Penasaran, Ricky menetesi seluruh bagian perkamen dengan darahnya. Perkamen itu kini berwarna merah pekat. Bau amis menyeruak dari perkamen itu.
            Ia mengambil beberapa perban untuk menghentikan darahnya mengalir keluar. Ricky mengusapkan darah yang tadi ia teteskan ke atas perkamen dengan jarinya. Sekarang perkamen itu ada isinya. Ada sesuatu yang berwarna merah muda di antara merah darah, membentuk sebuah objek. Ia melihat betul-betul bentuk itu. Bentuk itu seperti huruf Y, namun tidak jelas.
            “Apa-apaan nih?” kata Ricky bertanya-tanya sendiri. Wajahnya bingung, penasaran, dan sedikit takut. Ia tidak mengerti apa maksud si pengirim mengirimkan surat seperti itu.         
            Di bagian kiri bawah perkamen itu, terlihat bentuk lain. Itu huruf F. Ricky penasaran dengan pengirim amplop itu. Siapa sebenarnya yang mengirim amplop itu dan kemudian diberikan kepada Yesica untuk selanjutnya disampaikan ke Ricky?
            Sore ini Abdul Haris membuka emailnya lagi. Beberapa email masuk dikirim dari facebook. Ia mendapatkan sebuah email dari teman sekelasnya.

To: abdul_haris2241@yahoo.co.id
From: muhammadmisbahuddin@ymail.com <FWD>

Message:
A MURDER FROM SCHOOL TO SCHOOL

Ada sebuah pembunuhan berantai yang berjalan dari sekolah ke sekolah. Pembunuhan ini sudah terjadi di beberapa sekolah. Korbannya sudah bertambah dari tahun ke tahun. Pembunuh memakai pakaian serba hitam. Jaket kamuflase hitam, celana panjang jeans hitam, dan sepatu hitam. Dia membawa pisau berburu dan memakai topeng Guy Fawkes. Korbannya adalah beberapa remaja yang masih sekolah. Si pembunuh menamakan dirinya Fawkes. Korban-korbannya kebanyakan adalah: 1. wanita heboh yang suka mencari perhatian mati disembelih ketika bercermin, 2. pria yang kembali menjalin cinta dengan kekasihnya dibunuh ketika sedang berjalan sendirian, 3. wanita dengan kamera di mana pun ia berada mati sesaat setelah ia mengabadikan wajahnya, 4. wanita tinggi dengan kedustaan dalam dirinya dibunuh di hadapan temannya, 5. pria patah hati yang melihat kekasihnya bersama laki-laki lain dibunuh ketika sedang bersama teman wanitanya, dan 6. wanita pintar yang berlebihan mati didorong dan terjatuh ke lantai dasar. Korban terakhir biasanya adalah yang ke 5 atau yang ke 6. Berhati-hatilah, mungkin si pembunuh sedang berjalan ke sekolah Anda!!!

            Tidak hanya Abdul yang menerima email itu, seluruh anak menerima email itu. Beberapa anak tidak percaya karena pengirimnya adalah Misbah. Mereka yakin kalau pengirim email teror dan cerita pembunuhan itu adalah Misbah dengan maksud iseng. Namun beberapa anak lain percaya bahwa email cerita pembunuhan yang dikirim Misbah adalah bukan iseng, karena email itu ia teruskan dari pengirim lain.
            Di tempat lain, Mia memeriksa emailnya bersama Tribuana. Ia sudah mendapatkan email dari Misbah. Tribuana juga sudah mendapatkannya. Mereka membaca email itu.
            Udah gue terima ay emailnya, Tata juga udeh, Mia mengirim pesan teks ke Misbah.
            Fariz yang juga menerima email itu langsung bertindak. Ia menelepom teman sekelasnya. Awalnya ia bingung ingin menelepon siapa, tetapi ia sudah memutuskan akan menelepon siapa. Ia mulai menekan nomor.
            “Halo, Ma? Lo nerima email dari Misbah nggak?” tanya Fariz begitu orang yang dihubunginya sudah menjawab telepon.
            “Yang cerita pembunuh itu ya?” kata Faris kembali bertanya.
            “Iya. Lo nerima?” tanya Fariz tidak sabar.
            “Iya, gue nerima. Itu beneran?” kata Faris.
            “Gue nggak tau. Kirain gue doang yang nerima. Itu kayaknya forward-an dari orang laen.” kata Fariz.
            “Tadi Alvin bilang ke gue, katanya dia juga nerima.” kata Faris menjelaskan bahwa ada orang lain yang juga menerima email tersbut. “Kayaknya semua anak X-5 nerima. Lo tanya ke yang laen aja.”
            “Ya udah.” Fariz langsung memutus sambungan teleponnya. Ia mulai menekan nomor-nomor lain, ingin mencari tahu siapa saja yang menerima email tersebut.
            Ia sudah menghubungi hampir seluruh teman sekelasnya. Semuanya menjawab bahwa mereka juga menerima email cerita pembunuhan dari sekolah ke sekolah. Ia bingung memikirkan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini.
            Pertama, Suniaji yang menghilang entah kemana sejak hari Jum’at lalu. Orang tuanya bahkan sudah menghubungi Bu Susi ribuan kali, menanyakan kabar tentang Suniaji, tetapi jawaban Bu Susi masih sama, Bu Susi belum mengetahui kabar dari Suniaji, baik dari anak-anaknya di sekolah, mau pun dari penjaga sekolah yang juga terus mencari Suniaji di kawasan sekolah, ke seluruh ruangan yang mungkin saja Suniaji berada si sana.
            Ke dua, email teror yang diterima oleh beberapa teman sekelasnya. Entah apa maksud si pengirim mengirimkan dan menyebarkan email teror tersebut. Tapi kenapa ia tidak menerima email tersebut? Kenapa hanya beberapa orang saja yang menerima email itu? Siapa pengirimnya pun bahkan Fariz tidak mengetahui siapa.
            Ke tiga, email yang diforward dan disebarkan oleh Misbah ke semua teman sekelasnya. Apakan cerita dalam email itu benar? Atau hanya hoax untuk mencari sensasi saja? Kalau hanya untuk mencari sensasi tidak perlu menyebarkan email cerita yang belum tentu benar adanya, si pengirim bisa saja berpura-pura mati hingga mendapatkan catatan dari pihak kepolisian, lalu muncul kembali lima tahun setelah hari pemakamannya, dan berkata kepada keluarganya ‘aku hanya membuat sensasi’.
            Malam harinya, Misbah sedang menikmati waktunya duduk-duduk di depan komputer di warnet. Ia membuka IMnya dan emailnya. Di aplikasi lain, ia sedang mendownload sebuah file, beberapa lagu dan sebuah video berukuran 525 MB. Di tab berikutnya, terbuka halaman awal Facebook Log In. Ia memasukkan id dan password, lalu menekan tombol enter.
            Kotak kecil chat muncul di bagian bawah. Tertulis nama Rizki Devi.
            Devi: fisika udah?
            Misbah: yang mana?
            Devi: yang kemaren dikasi soalnya
            Misbah: oh. belom
            Misbah: lo udah?
            Devi: belom
            Devi: tinggal tiga nomor lagi
            Misbah: besok nyontek ya
            Devi: iya kalo udehan
            Tiba-tiba kotak dialog IMnya muncul di layar. Seseorang telah mengirim IM ke Misbah. Dia membaca nama IM yang tertera di layar, dan ia kaget setengah hidup.
            Fawkes5: beware of your own falsehood!
            Ia bingung sekaligus takut. Siapa yang mengirim IM yang mengancam tersebut? Ia pikir itu Mia dan Tribuana yang iseng menakut-nakutinya. Akhirnya ia membalas dengan meremehkan.
            mmm: really?
            Fawkes5: of course.
            mmm: oh, I am scared.
            Fawkes5: you should be.
            mmm: enough, Mia. I know it is you and Tata.
            Fawkes5: I would encourage you to drop just like a woman in your story
            Misbah langsung membeku di tempat. Kakinya agak lemas dengan balasan yang diterimanya. Ternyata orang di balik IM itu bukan Mia atau Tribuana yang iseng. Siapa sebenarnya orang itu? Apakah ia benar-benar pembunuh dalam cerita yang ia forward ke seluruh teman temannya? Ia bahkan tidak tahu cerita itu benar atau tidak.
            Ia langsung mengeluarkan kotak IM dan menutup semua aplikasi yang sedang berjalan. Download yang sedang dalam proses langsung ia batalkan. Ia keluar dari akun facebook dan emailnya, menyudahi billing yang sedang berjalan, dan melangkah ke kasir sambil menenteng flashdisk yang dibawanya dari rumah. Ia langsung membayar dan segera keluar dari warnet, berjalan menuju rumah.
            Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponsel dan mencari sebuah nama di kontaknya, lalu menekan tombol panggil. Nada panggil berbunyi beberapa kali, lalu seseorang menjawab telepon.
            “Halo.” seorang wanita berbicara.
            “Mia, lo lagi di mana?” kata Miabah cepat-cepat. Suaranya terdengar panaik.
            Misbah berbicara kepada Mia lewat ponselnya sepanjang jalan menuju rumah. Ia bahkan baru sadar setelah ia memutus sambungan teleponnya dan melihat timer di ponselnya bahwa ia sudah lama menelepon Mia. Ia menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi, bahwa ada seseorang di IM yang menerornya.
            Di situs pertemanan facebook, Fariz menyebarkan pesan ke semua murid X-5 bahwa pencarian Suniaji dibatalkan hingga mendapatkan pemberitahuan lagi darinya.
           
Senin pagi semua anak SMA N 5 Jakarta sudah datang. Pagi ini sekolah akan melakukan upacara bebdera terakhir karena kelas XII akan menghadapi ujian seminggu lagi. Misbah datang agak terlambat pagi ini, tapi untungnya upacara baru akan dimulai. Ia segera memasuki barisan lewat belakang barisan kelas X-5. Ia maju ke barisan laki-laki.
            “Di sini aje, Bah.” kata Aldi yang saat itu berdiri di barisan paling depan.
            Ia lalu mundur dan Misbah menempati tempatnya tadi. Misbah selau berdiri di paling depan karena ia ingin melihat paukan pengibar bendera yang sedang bertugas, dan saat ini yang bertugas adalah paskibra dari kelas XII dan XI.
            Upacara dimulai. Beberapa orang dalam barisan masih berbicara saat upacara sudah dimulai. Pasukan pengibar bendera mulai mauju dalam sebuah barisan 3x3, dan berhenti di depan tiang bendera. Mereka kini menghadap ke tiang bendera. Barisan kembali bergerak dan membentuk sebuah formasi berbentuk huruf V. Bendera dinaikkan diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh pasukan paduan suara. Beberapa menit berlangsung, walaupun agak sedikit lama pada saat Pak Supena memberikan pidatonya, tapi upacara akhirnya selesai.
            Barisan siswa siswi langsung bubar dan kembali ke kelas masing-masing. Kelas X-5 kini pagi ini menempati ruangan Matematika 3 untuk pelajaran Ekonomi. Semuanya menaiki tangga ke lantai tiga.
            Di depan ruang Matematika 3, beberapa siswa berdiri di dekat pagar sambil melihat beberapa anak di lapangan yang rambutnya sedang dipangkas oleh Bu Tuti guru kesiswaan. Misbah yang melihatnya tertawa kecil. Di antara tawanya, ia mencium sesuatu.
            “Bau sesuatu.” kata Misbah sambil terus mencium bau yang masuk melwati rongga hidungnya.
            “Bau apaan?” tanya Aisyah yang tiba-tiba datang dan berdiri di sebelah kanan Misbah. “Gue nggak nyium.”
            “Bau……….. manis…….…” kata Miabah sambil terus menghirup aroma yang diciumnya. “Bau……. darah. Bau darah.” Misbah langsung menoleh ke sebelah kiri.
            Tepat di sebelah kiri Misbah, Aldi sedang bediri sambil tertawa bersama Fariz, Alvin, Ricky, dan Fu’ad. Wajahnya sangat pucat, hampir mirip seperti mayat yang akan segera dimakamkan. Bibirnya berwarna ungu seperti vampire.
            “Mbaaah….” Yossy tiba-tiba keluar dari kelas.
            Misbah tidak menjawab. Ia masih mencium bau darah yang terasa manis di kerongkongannya. Ia masih mencari sumber dari bau tersebut.
            “Idung lo kenapa?” kata Fu’ad dengan gaya bicaranya yang khas sambil melihat hidung Aldi.
            “Kenapa?” tanya Aldi sambil mengernyitkan wajahnya.
            “Hah…” gumam Aldi. Suaranya agak lemas. Ia mengusap bawah hidungnya, dan darah kental berwarna merah terang menempel di jari tengahnya.
            “Ih, buruan sono ke UKS. Yuk, gue anterin.” kata Aisyah langsung repot.
            Aldi melihat darah yang menempel di jarinya, tangan sebelahnya memegangi kepalanya. “Entar dulu…. entar dulu.” Suaranya semakin lemas. Ia megedipkan matanya beberapa kali. “Gelap….”
            “Astaghfirullah…. astaghfirullah…..” kata Misbah, Yossy, dan Aisyah.
            “Eh, eh, eh, tolongin buruan.” kata Aisyah langsung berteriak ke arah pintu kelas.
            Beberapa anak langsung keluar kelas. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi. Semua langsung mengumpul di depan kelas. Mereka langsung menanyakan pertanyaan yang sama “ kenapa tuh?” sambil sahut-sahutan, tapi tidak ada seorang pun yang menjelaskan. Semua hanya melihat Aldi yang kini terbaring sambil kepalanya ditadah Misbah, matanya sudah terpejam, darah yang keluar dari hidungnya masih mengalir. Aisyah mengambil tisu di sakunya dan menutup sebelah lubang hidung Aldi agar darahnya tidak terus mengalir dan masuk ke mulutnya.
            Misbah melepaskan kaca mata dari kepala Aldi dan menaruhnya di saku bajunya. Ia menarik dasinya dan memutarnya ke belakang punggungnya. “Angkat, angkat.” kata Misbah.
            Fu’ad, Ricky, Fariz, dan Alvin lalu membantu mengangkat Aldi dan membawanya ke UKS. Aisyah terus menyumbat hidung Aldi dengan tisu sambil mengikuti yang lainnya berjalan. Agak sulit karena haru menuruni tangga dari lantai tiga hingga lantai dasar.
            “Eh ya ampun. Itu kenape?” tanya Mia pada saat berbelok ke kiri di lantai dasar. Ia dan Tribuana bingung melihat Aldi yang tidak sadar dan digotong-gotong.
            “Misi-misi.” kata Ricky sambil melewati Mia dan Tribuana.
            Mia dan Tribuana mengikuti yang lainnya ke UKS. Aldi langsung dibaringkan di tempat tidur. Hordeng dibuka agar udara segar dari luar bisa masuk. Kipas angin dihidupkan.
            “Pada minggir, pada minggir. Biar ada udara.” kata Misbah.
            “Ini darahnya nggak berenti-berenti.” kata Aisyah sambil terus mengelap darah kental yang keluar dari hidung Aldi, membuat bekas berwarna merah muda di atas bibir Aldi.
            Misbah mengambil kapas di kotak obat dan memberikannya kepada Aisya. “Nih, pake kapas.” Ia mengambil kapas lagi, lalu dibasahi dengan alkohol. ia mencium kapas tersebut untuk mengira-ngira apakah kapasnya sudah berbau alkohol atau belum.
            Ia mendekati Aldi, dan mendekatkan kapas yang beralkohol ke hidung Aldi, tapi Aldi tidak bereaksi. Wajahnya masih pucat.
            “Buat apaan?” tanya Aisyah sambil melihat tangan Misbah memegang kapas yang basah dengan alkohol.
            “Biar sadar.” jawab Misbah.
            Bel masuk berbunyi, semuanya kembali ke kelas, kecuali Misbah dan Aisyah. Mereka masih menunggu Aldi di UKS. Sebenarnya mereka juga agak malas memasuki kelas pelajaran pertama.
            Bu Susi memasuki kelas dan sudah memulai pelajaran. Misbah dan Aisyah masih di ruang UKS menunggu Aldi yang tidak sadar-sadar. Entah kapan mereka akan memasuki ruang kelas. Mereka masih berfikir untuk mencari obat untuk Aldi, tapi bingung mau mencari obat apa, karena mereka belum tahu apa yang menyebabkan Aldi tiba-tiba pingsan begitu saja setelah mimisan.
            “Kok lo tadi nyium bau darahnye sih?” Tanya Aisyah. Wajahnya mengernyit keheranan.
            “Eh….” gumam Misbah.

0 comments:

Posting Komentar