4. A MURDER STORY (1)
RICKY pulang tak lama setelah Fani,
Dita, dan Afifah pulang. Ia menyeberang jalan untuk menaiki bis dengan arah ke
Sumur Batu. Dalam perjalanan, ia terus berpikir tentang siapa si pengirim email
dan yang dia sebut sebagai ‘Dia’ di dalam email itu.
Bis melewati pasar Sumur
Batu dan belok ke kanan ke arah Kemayoran. Ricky beberapa kali melihat
ponselnya, entah untuk apa ia melakukannya. Waktu sudah menunjukkan pukul
10.10. Sinar matahari masuk menembus kaca bis yang ditumpangi Ricky. Ia turun
di depan kantor Polsek Kemayoran. Ia melanjutkan berjalan menuju rumahnya,
karena rumahnya tidak begitu jauh dari kantor polsek. Rumahnya berada di daerah
Apron, tepatnya di daerah rumah susun.
Dalam perjalanan menuju
rumah, Ricky bertemu dengan Yesica. Ia membawa sebuah amplop yang terbuat dari
kertas daur ulang. Yesica mendekati Ricky dan memberikan amplop itu kepada
Ricky.
“Ricky, tadi ada yang
ngasih ini ke aku. Katanya suruh kasih ke Ricky.” kata Yesica sambil memberikan
amplop berkertas daur ulang itu ke Ricky.
“Apaan nih?” tanya Ricky.
Wajahnya terlihat bingunung. Tangannya menerima amplop dari tangan Yesica
dengan ragu-ragu.
“Nggak tau. Aku duluan ya,
mau ngerjain PR.” kata Yesica, lalu pergi meninggalkan Ricky.
Ricky membawa amplop itu
pulang. Ia penasaran dengan isi amplop tersebut. Mungkinkah isinya bom? Tapi
tidak mungkin. Amplop ini tidak sebesar kotak sepatu. Atau mungkin surat
undangan untuk acara di gereja? Kalau itu mungkin saja.
Sesampainya di rumah, ia membuka
amplop tersebut. Ia menarik secarik perkamen dari amplop tersebut. Perkamen
yang dilipat raih, berwarna kecoklatan, seperti kertas yang sudah lama tidak
dipakai. Baunya pun seperti bau debu.
Ricky membuka lipatan
perkamen itu. Ia melihat isi suratnya. Dia bingung sekali saat melihat isi
perkamen itu. Tidak ada apa-apa. Putih bersih, atau lebih tepatnya disebut
cokelat bersih. Ia membalik-balik perkamen tersebut. Tidak ada tulisan atau
goresan tinta sama sekali. Ia meletakkan kertas itu di atas meja di rumahnya.
Ia ke dapur untuk
mengambil apel dan pisau. Ia mengupas apel di atas meja tempat ia menaruh
kertas perkamen tadi. Sialnya saat membelah apel, telapak tangannya teriris
pisau. Kulitnya sedikit terkelupas, sepertinya agak dalam. Darah keluar dari
sela-sela kulitnya. Ia mengerang kesakitan. Tangannya di geser ke tempat lain
supaya darahnya tidak menetes ke apel yang sudah dikupas.
Darahnya menetes di atas
perkamen tua yang tadi diletakkan di atas meja. Ia melihat sesuatu terbentuk di
atas perkemen itu. Ada bagian kertas yang tidak bisa basah oleh darah.
Penasaran, Ricky menetesi seluruh bagian perkamen dengan darahnya. Perkamen itu
kini berwarna merah pekat. Bau amis menyeruak dari perkamen itu.
Ia mengambil beberapa
perban untuk menghentikan darahnya mengalir keluar. Ricky mengusapkan darah
yang tadi ia teteskan ke atas perkamen dengan jarinya. Sekarang perkamen itu
ada isinya. Ada sesuatu yang berwarna merah muda di antara merah darah,
membentuk sebuah objek. Ia melihat betul-betul bentuk itu. Bentuk itu seperti
huruf Y, namun tidak jelas.
“Apa-apaan nih?” kata
Ricky bertanya-tanya sendiri. Wajahnya bingung, penasaran, dan sedikit takut.
Ia tidak mengerti apa maksud si pengirim mengirimkan surat seperti itu.
Di bagian kiri bawah
perkamen itu, terlihat bentuk lain. Itu huruf F. Ricky penasaran dengan
pengirim amplop itu. Siapa sebenarnya yang mengirim amplop itu dan kemudian
diberikan kepada Yesica untuk selanjutnya disampaikan ke Ricky?
Sore ini Abdul Haris
membuka emailnya lagi. Beberapa email masuk dikirim dari facebook. Ia
mendapatkan sebuah email dari teman sekelasnya.
To: abdul_haris2241@yahoo.co.id
From: muhammadmisbahuddin@ymail.com <FWD>
Message:
A MURDER FROM SCHOOL TO SCHOOL
Ada sebuah pembunuhan berantai yang berjalan dari sekolah ke sekolah.
Pembunuhan ini sudah terjadi di beberapa sekolah. Korbannya sudah bertambah
dari tahun ke tahun. Pembunuh memakai pakaian serba hitam. Jaket kamuflase
hitam, celana panjang jeans hitam, dan sepatu hitam. Dia membawa pisau berburu
dan memakai topeng Guy Fawkes. Korbannya adalah beberapa remaja yang masih
sekolah. Si pembunuh menamakan dirinya Fawkes. Korban-korbannya kebanyakan
adalah: 1. wanita heboh yang suka mencari perhatian mati disembelih ketika
bercermin, 2. pria yang kembali menjalin cinta dengan kekasihnya dibunuh ketika
sedang berjalan sendirian, 3. wanita dengan kamera di mana pun ia berada mati
sesaat setelah ia mengabadikan wajahnya, 4. wanita tinggi dengan kedustaan
dalam dirinya dibunuh di hadapan temannya, 5. pria patah hati yang melihat
kekasihnya bersama laki-laki lain dibunuh ketika sedang bersama teman
wanitanya, dan 6. wanita pintar yang berlebihan mati didorong dan terjatuh ke
lantai dasar. Korban terakhir biasanya adalah yang ke 5 atau yang ke 6.
Berhati-hatilah, mungkin si pembunuh sedang berjalan ke sekolah Anda!!!
Tidak hanya Abdul yang
menerima email itu, seluruh anak menerima email itu. Beberapa anak tidak
percaya karena pengirimnya adalah Misbah. Mereka yakin kalau pengirim email
teror dan cerita pembunuhan itu adalah Misbah dengan maksud iseng. Namun
beberapa anak lain percaya bahwa email cerita pembunuhan yang dikirim Misbah
adalah bukan iseng, karena email itu ia teruskan dari pengirim lain.
Di tempat lain, Mia
memeriksa emailnya bersama Tribuana. Ia sudah mendapatkan email dari Misbah.
Tribuana juga sudah mendapatkannya. Mereka membaca email itu.
Udah gue terima ay emailnya, Tata juga udeh, Mia mengirim pesan teks
ke Misbah.
Fariz yang juga menerima
email itu langsung bertindak. Ia menelepom teman sekelasnya. Awalnya ia bingung
ingin menelepon siapa, tetapi ia sudah memutuskan akan menelepon siapa. Ia
mulai menekan nomor.
“Halo, Ma? Lo nerima email
dari Misbah nggak?” tanya Fariz begitu orang yang dihubunginya sudah menjawab
telepon.
“Yang cerita pembunuh itu
ya?” kata Faris kembali bertanya.
“Iya. Lo nerima?” tanya
Fariz tidak sabar.
“Iya, gue nerima. Itu
beneran?” kata Faris.
“Gue nggak tau. Kirain gue
doang yang nerima. Itu kayaknya forward-an dari orang laen.” kata Fariz.
“Tadi Alvin bilang ke gue,
katanya dia juga nerima.” kata Faris menjelaskan bahwa ada orang lain yang juga
menerima email tersbut. “Kayaknya semua anak X-5 nerima. Lo tanya ke yang laen
aja.”
“Ya udah.” Fariz langsung
memutus sambungan teleponnya. Ia mulai menekan nomor-nomor lain, ingin mencari
tahu siapa saja yang menerima email tersebut.
Ia sudah menghubungi
hampir seluruh teman sekelasnya. Semuanya menjawab bahwa mereka juga menerima
email cerita pembunuhan dari sekolah ke sekolah. Ia bingung memikirkan hal-hal
yang terjadi akhir-akhir ini.
Pertama, Suniaji yang
menghilang entah kemana sejak hari Jum’at lalu. Orang tuanya bahkan sudah
menghubungi Bu Susi ribuan kali, menanyakan kabar tentang Suniaji, tetapi
jawaban Bu Susi masih sama, Bu Susi belum mengetahui kabar dari Suniaji, baik
dari anak-anaknya di sekolah, mau pun dari penjaga sekolah yang juga terus
mencari Suniaji di kawasan sekolah, ke seluruh ruangan yang mungkin saja
Suniaji berada si sana.
Ke dua, email teror yang
diterima oleh beberapa teman sekelasnya. Entah apa maksud si pengirim
mengirimkan dan menyebarkan email teror tersebut. Tapi kenapa ia tidak menerima
email tersebut? Kenapa hanya beberapa orang saja yang menerima email itu? Siapa
pengirimnya pun bahkan Fariz tidak mengetahui siapa.
Ke tiga, email yang diforward
dan disebarkan oleh Misbah ke semua teman sekelasnya. Apakan cerita dalam email
itu benar? Atau hanya hoax untuk mencari sensasi saja? Kalau hanya untuk
mencari sensasi tidak perlu menyebarkan email cerita yang belum tentu benar
adanya, si pengirim bisa saja berpura-pura mati hingga mendapatkan catatan dari
pihak kepolisian, lalu muncul kembali lima tahun setelah hari pemakamannya, dan
berkata kepada keluarganya ‘aku hanya
membuat sensasi’.
Malam harinya, Misbah
sedang menikmati waktunya duduk-duduk di depan komputer di warnet. Ia membuka
IMnya dan emailnya. Di aplikasi lain, ia sedang mendownload sebuah file,
beberapa lagu dan sebuah video berukuran 525 MB. Di tab berikutnya, terbuka
halaman awal Facebook Log In. Ia memasukkan id dan password, lalu menekan
tombol enter.
Kotak kecil chat muncul di
bagian bawah. Tertulis nama Rizki Devi.
Devi: fisika udah?
Misbah: yang mana?
Devi: yang kemaren dikasi
soalnya
Misbah: oh. belom
Misbah: lo udah?
Devi: belom
Devi: tinggal tiga nomor
lagi
Misbah: besok nyontek ya
Devi: iya kalo udehan
Tiba-tiba kotak dialog
IMnya muncul di layar. Seseorang telah mengirim IM ke Misbah. Dia membaca nama
IM yang tertera di layar, dan ia kaget setengah hidup.
Fawkes5: beware of your
own falsehood!
Ia bingung sekaligus
takut. Siapa yang mengirim IM yang mengancam tersebut? Ia pikir itu Mia dan
Tribuana yang iseng menakut-nakutinya. Akhirnya ia membalas dengan meremehkan.
mmm: really?
Fawkes5: of course.
mmm: oh, I am scared.
Fawkes5: you should be.
mmm: enough, Mia. I know
it is you and Tata.
Fawkes5: I would encourage
you to drop just like a woman in your story
Misbah langsung membeku di
tempat. Kakinya agak lemas dengan balasan yang diterimanya. Ternyata orang di
balik IM itu bukan Mia atau Tribuana yang iseng. Siapa sebenarnya orang itu?
Apakah ia benar-benar pembunuh dalam cerita yang ia forward ke seluruh teman
temannya? Ia bahkan tidak tahu cerita itu benar atau tidak.
Ia langsung mengeluarkan
kotak IM dan menutup semua aplikasi yang sedang berjalan. Download yang sedang
dalam proses langsung ia batalkan. Ia keluar dari akun facebook dan emailnya,
menyudahi billing yang sedang berjalan, dan melangkah ke kasir sambil menenteng
flashdisk yang dibawanya dari rumah. Ia langsung membayar dan segera keluar dari
warnet, berjalan menuju rumah.
Tanpa pikir panjang, ia
mengambil ponsel dan mencari sebuah nama di kontaknya, lalu menekan tombol
panggil. Nada panggil berbunyi beberapa kali, lalu seseorang menjawab telepon.
“Halo.” seorang wanita
berbicara.
“Mia, lo lagi di mana?”
kata Miabah cepat-cepat. Suaranya terdengar panaik.
Misbah berbicara kepada
Mia lewat ponselnya sepanjang jalan menuju rumah. Ia bahkan baru sadar setelah
ia memutus sambungan teleponnya dan melihat timer di ponselnya bahwa ia sudah
lama menelepon Mia. Ia menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi, bahwa
ada seseorang di IM yang menerornya.
Di situs pertemanan
facebook, Fariz menyebarkan pesan ke semua murid X-5 bahwa pencarian Suniaji
dibatalkan hingga mendapatkan pemberitahuan lagi darinya.
Senin pagi semua anak SMA N 5 Jakarta sudah datang. Pagi ini sekolah akan
melakukan upacara bebdera terakhir karena kelas XII akan menghadapi ujian
seminggu lagi. Misbah datang agak terlambat pagi ini, tapi untungnya upacara
baru akan dimulai. Ia segera memasuki barisan lewat belakang barisan kelas X-5.
Ia maju ke barisan laki-laki.
“Di sini aje, Bah.” kata
Aldi yang saat itu berdiri di barisan paling depan.
Ia lalu mundur dan Misbah
menempati tempatnya tadi. Misbah selau berdiri di paling depan karena ia ingin
melihat paukan pengibar bendera yang sedang bertugas, dan saat ini yang
bertugas adalah paskibra dari kelas XII dan XI.
Upacara dimulai. Beberapa
orang dalam barisan masih berbicara saat upacara sudah dimulai. Pasukan
pengibar bendera mulai mauju dalam sebuah barisan 3x3, dan berhenti di depan
tiang bendera. Mereka kini menghadap ke tiang bendera. Barisan kembali bergerak
dan membentuk sebuah formasi berbentuk huruf V. Bendera dinaikkan diiringi
dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh pasukan paduan
suara. Beberapa menit berlangsung, walaupun agak sedikit lama pada saat Pak
Supena memberikan pidatonya, tapi upacara akhirnya selesai.
Barisan siswa siswi
langsung bubar dan kembali ke kelas masing-masing. Kelas X-5 kini pagi ini
menempati ruangan Matematika 3 untuk pelajaran Ekonomi. Semuanya menaiki tangga
ke lantai tiga.
Di depan ruang Matematika
3, beberapa siswa berdiri di dekat pagar sambil melihat beberapa anak di
lapangan yang rambutnya sedang dipangkas oleh Bu Tuti guru kesiswaan. Misbah
yang melihatnya tertawa kecil. Di antara tawanya, ia mencium sesuatu.
“Bau sesuatu.” kata Misbah
sambil terus mencium bau yang masuk melwati rongga hidungnya.
“Bau apaan?” tanya Aisyah
yang tiba-tiba datang dan berdiri di sebelah kanan Misbah. “Gue nggak nyium.”
“Bau……….. manis…….…” kata
Miabah sambil terus menghirup aroma yang diciumnya. “Bau……. darah. Bau darah.”
Misbah langsung menoleh ke sebelah kiri.
Tepat di sebelah kiri
Misbah, Aldi sedang bediri sambil tertawa bersama Fariz, Alvin, Ricky, dan
Fu’ad. Wajahnya sangat pucat, hampir mirip seperti mayat yang akan segera
dimakamkan. Bibirnya berwarna ungu seperti vampire.
“Mbaaah….” Yossy tiba-tiba
keluar dari kelas.
Misbah tidak menjawab. Ia
masih mencium bau darah yang terasa manis di kerongkongannya. Ia masih mencari
sumber dari bau tersebut.
“Idung lo kenapa?” kata
Fu’ad dengan gaya bicaranya yang khas sambil melihat hidung Aldi.
“Kenapa?” tanya Aldi
sambil mengernyitkan wajahnya.
“Hah…” gumam Aldi.
Suaranya agak lemas. Ia mengusap bawah hidungnya, dan darah kental berwarna
merah terang menempel di jari tengahnya.
“Ih, buruan sono ke UKS.
Yuk, gue anterin.” kata Aisyah langsung repot.
Aldi melihat darah yang
menempel di jarinya, tangan sebelahnya memegangi kepalanya. “Entar dulu…. entar
dulu.” Suaranya semakin lemas. Ia megedipkan matanya beberapa kali. “Gelap….”
“Astaghfirullah….
astaghfirullah…..” kata Misbah, Yossy, dan Aisyah.
“Eh, eh, eh, tolongin
buruan.” kata Aisyah langsung berteriak ke arah pintu kelas.
Beberapa anak langsung
keluar kelas. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi. Semua langsung
mengumpul di depan kelas. Mereka langsung menanyakan pertanyaan yang sama “
kenapa tuh?” sambil sahut-sahutan, tapi tidak ada seorang pun yang menjelaskan.
Semua hanya melihat Aldi yang kini terbaring sambil kepalanya ditadah Misbah,
matanya sudah terpejam, darah yang keluar dari hidungnya masih mengalir. Aisyah
mengambil tisu di sakunya dan menutup sebelah lubang hidung Aldi agar darahnya
tidak terus mengalir dan masuk ke mulutnya.
Misbah melepaskan kaca
mata dari kepala Aldi dan menaruhnya di saku bajunya. Ia menarik dasinya dan
memutarnya ke belakang punggungnya. “Angkat, angkat.” kata Misbah.
Fu’ad, Ricky, Fariz, dan
Alvin lalu membantu mengangkat Aldi dan membawanya ke UKS. Aisyah terus
menyumbat hidung Aldi dengan tisu sambil mengikuti yang lainnya berjalan. Agak
sulit karena haru menuruni tangga dari lantai tiga hingga lantai dasar.
“Eh ya ampun. Itu kenape?”
tanya Mia pada saat berbelok ke kiri di lantai dasar. Ia dan Tribuana bingung
melihat Aldi yang tidak sadar dan digotong-gotong.
“Misi-misi.” kata Ricky
sambil melewati Mia dan Tribuana.
Mia dan Tribuana mengikuti
yang lainnya ke UKS. Aldi langsung dibaringkan di tempat tidur. Hordeng dibuka
agar udara segar dari luar bisa masuk. Kipas angin dihidupkan.
“Pada minggir, pada
minggir. Biar ada udara.” kata Misbah.
“Ini darahnya nggak
berenti-berenti.” kata Aisyah sambil terus mengelap darah kental yang keluar
dari hidung Aldi, membuat bekas berwarna merah muda di atas bibir Aldi.
Misbah mengambil kapas di
kotak obat dan memberikannya kepada Aisya. “Nih, pake kapas.” Ia mengambil
kapas lagi, lalu dibasahi dengan alkohol. ia mencium kapas tersebut untuk
mengira-ngira apakah kapasnya sudah berbau alkohol atau belum.
Ia mendekati Aldi, dan
mendekatkan kapas yang beralkohol ke hidung Aldi, tapi Aldi tidak bereaksi.
Wajahnya masih pucat.
“Buat apaan?” tanya Aisyah
sambil melihat tangan Misbah memegang kapas yang basah dengan alkohol.
“Biar sadar.” jawab Misbah.
Bel masuk berbunyi,
semuanya kembali ke kelas, kecuali Misbah dan Aisyah. Mereka masih menunggu
Aldi di UKS. Sebenarnya mereka juga agak malas memasuki kelas pelajaran
pertama.
Bu Susi memasuki kelas dan
sudah memulai pelajaran. Misbah dan Aisyah masih di ruang UKS menunggu Aldi
yang tidak sadar-sadar. Entah kapan mereka akan memasuki ruang kelas. Mereka
masih berfikir untuk mencari obat untuk Aldi, tapi bingung mau mencari obat
apa, karena mereka belum tahu apa yang menyebabkan Aldi tiba-tiba pingsan
begitu saja setelah mimisan.
“Kok lo tadi nyium bau
darahnye sih?” Tanya Aisyah. Wajahnya mengernyit keheranan.
“Eh….” gumam Misbah.
0 comments:
Posting Komentar