2. ON SATURDAY
FLASH BACK
Hari ini hari Sabtu. Semua ekstra kurikuler pada minggu ini sengaja
ditiadakan. Semua sudah tau bahwa SMA N 5 Jakarta sedang dalam penilaian
kebersihan untuk bisa memperoleh piala Adipura. Bahkan setiappulang sekolah
semua siswa siswi SMA N 5 Jakarta seperti diusir untuk segera meninggalkan
lingkungan sekolah, karena sekolah akan segera dibersihakan. Tapi mungkin hal
itu hanya gretakan saja, karena sekitar seminggu lalu saat berada di ruang
Kimia, Misbah menemukan di kolong mejanya terdapat sampah yang memenuhi seluruh
ruang di kolong mejanya, mungkin sudah tidak ada ruang lagi untuk sampah baru
yang akan menempati tempat itu. Tapi, semoga segalanya tidak seperti yang
didpikirkan oleh Misbah.
Pagi ini awan mendung
memenuhi langit. Hujan sepertinya akan membasahi jalan lagi pagi ini. Udara
juga sudah mulai terasa dingin. Tapi para wanita ini tidak bisa dihalangi oleh
cuaca yang buruk sekalipun.
Anita, Aisyah Zulfah,
Devi, Ajrin, Dea, dan Dian akan melakukan perjalanan hari ini. Tentu saja
mereka tidak bisa dihalangi hanya karena datangnya mendung, karena mereka
adalah sebuah kelompok yang entah kelompok apa jenisnya yang berada di kelas
X-5. Semua siswa siswi X-5 juga sudah mengetahui kalau mereka semua adalah
sebuah kelompok yang tidak jelas apa maksud dari kelompok yang mereka ciptakan.
Nama kelompok mereka adalah Matahari. Entah kenapa namanya Matahari. Mungkin diambil
dari sebuah department store yang membuka cabang di seluruh Indonesia, atau
mungkin karena kelakuan mereka yang menyilaukan mata orang yang melihatnya
sehingga orang-orang malas untuk melihat mereka.
Hari ini mereka
berpetualang ke sebuah mall yang berada di daerah Jakarta Utara. Sebuah mall
yang yerkenal dengan namanya. Mall Of Indonesia, atau biasa disebut dengan MOI.
Sebenarnya tujuan mereka ke sana masih tidak jelas, karena mereka ke tempat
tersebut secara spontanitas. Tapi setelah berputar-putar di tempat yang cukup
besar tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk menyaksikan sebuah film di
bioskop Blitzmegaplex.
“Nonton apaan nih” tanya
Anita kepada teman-temannya sambil memandangi poster-poster film yang dipajang
di dekat kafetaria dengan tulisan NOW PLAYING di bagian bawah bingkainya.
Suaranya yang begitu khas seperti menusuk telinga teman-temannya.
“Suster Keramas 2 ada
nggak?” tanya Devi.
“Ih, apaan si, Mok. Yang
berbobot dikit kek.” protes Ajrin sambil sedikit mendorong Devi. Matahari memang
sudah terbiasa memanggil Devi dengan sebutan ‘Semok’. “Lagian di sini tuh film
bagus semua. Mane ada film begituan.”
“Itu aje tuh, yang itu.”
kata Dea sambil tangannya menunjuk sebuah poster.
“Yang mane?” tanya Anita.
“Itu tuh, yang judulnya
Battle apa.. gitu.” kata Dea sambil susah-susah membaca judul film pada poster
karena letak posternya jauh dari temat mereka berdiri.
“Oh, Battle: L. A. Ya udeh
yuk.” kata Anita.
Mereka lalu menuju tempat
antri untuk membeli tiket. Antriannya tidak begitu panjang, karena hari ini
adalah hari Sabtu, hari saat tiket berharga Rp. 35.000. Mungkin hanya
orang-orang yang ingin membuang uang seperti Matahari yang ingin menonton film
di bioskop pada hari Sabtu.
Mereka akhirnya mendapat
tiket. Sederet bangku di row E, teater 5, kelas Satin. Mereka menduduki tempat
mereka masing-masing. Sambil menunggu film dimulai, mereka berbincang-bincang
tidak jelas, bahkan menyempatkan diri untuk berfoto ria.
Lima menit lagi film baru
dimulai. Aisyah Zulfah asyik meminum Pepsi Gold yang ia beli di kafetaria tadi.
Ia duduk menyender di kursi ungu sambil tangannya memegang ponselnya, layarnya
menunjukkan teks-teks yang sedang ia ketik.
Tiba-tiba lampu teater
padam. Sinar lampu proyektor mulai menyorot ke layar di depan. Film pun dimulai.
Sebenarnya film yang mereka tonton bukanlah film yang bisa disebut ‘seru’
karena itu adalah film tentang perang di kota Los Angles.
Sementara itu, Bu Susi
sedang berada di depan laptopnya. Ia sedang membuka akun facebooknya. Tiba-tiba
ponselnya berdering. Ia melihat nomor di layar ponselnya, tapi tidak dikenal.
“Halo.” kata Bu Susi
menjawab telepon sambil tangannya menempelka ponselnya di telinganya.
“Ini Bu Susi?” kata
seseorang di telepon. Nada bicaranya terdengar cemas dengan nafas yang tidak
beraturan.
“Iya. Ini dari siapa ya?”
kata Bu Susi. Wajahnya berubah penasaran dan sedikit takut.
“Ini orang tuanya Suniaji.
Mau tanya, Bu. Suniaji kemana ya? Kok belum pulang dari kemarin?” kata seorang
wanita di telepon. Ternyata itu adalah ibu Suniaji.
“Loh, memangnya Suniaji
nggak kabarin ibu atau apa?” tanya Bu Susi. Nadanya cemas.
“Enggak bu. Dia nggak
pernah bawa hp kalo ke sekolah.” kata ibu Suniaji. “Aduh di mana ya, Bu. Saya
jadi takut ni, Bu.”
“Ya udah. Ibu tenang dulu,
ya. Nanti saya hubungi teman-temannya Suniaji, saya akan cari informasi dari
teman-temannya.” kata Bu Susi menenangkan ibu Suniaji.
“Ya udah, bu. Saya minta
tolong sekali ya sama ibu. Maaf bu mengganggu.” kata ibu Suniaji, lalu memutus
sambungan teleponnya.
Matahari sudah keluar dari
teater 5. Seperti biasa, mereka langsung menuju ke kamar mandi. Aisyah mencuci
tangannya di wastafel, lalu menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkan
tangannya, dan membuangnya di tempat sampah.
Ia merogoh ke sakunya.
Dilihatnya layar ponselnya. Tertera di situ ‘5 Panggilan Tidak Terjawab’.
Ternyata dari Bu Susi. Ia bingung, untuk apa Bu Susi meneleponnya sampai lima
kali dalam selang waktu hanya beberapa menit.
Aisyah menju ke menu
‘Pesan’ untuk mengirim SMS kepada Bu Susi dengan maksud menanyakan kenapa ia
menelepon. Aisyah mengetik sebuah teks di ponselnya. Baru beberapa kata ia
ketik, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia kaget hampir melompat. Tangannya hampir
menjatuhkan ponselnya sendiri. Itu telepon dari Bu Susi.
“Halo, Bu.” kata Aisyah.
Ponselnya menempel di telinga kanannya.
“Syah, kamu tau nggak
Suniaji ada di mana? Soalnya tadi orang tuanya telpon ibu, katanya Suniaji
belum pulang dari kemarin.” jelas Bu Susi.
“Hah. belom pulang?”
Aisyah kembali bertanya. Wajahnya berubah bingung.
“Iya. Kamu tau dia di
mana?” tanya Bu Susi.
“Nggak tau, Bu.” jawab
Aisyah.
“Coba deh kamu tanya ke
yang lain.” kata Bu Susi. “Soalnya Ibu udah takut nih, takut kayak Ismi kemarin.”
“Iya, Bu. Nanti saya SMSin
ke yang lainnya.” kata Aisyah meyakinkan Bu Susi.
“Atau enggak, kita nunggu
sampe entar sore aja dulu. Kalo Suniaji belom pulang juga, ibu hubungin kamu
lagi deh.” kata Bu Susi.
“Iya, Bu. Iya.”
“Makasih ya Aisyah.”
“Iya, Bu. Sama-sama.”
Bu Susi lalu memutus
sambungan teleponnya.
Aisyah keluar dari toilet.
Teman-temannya sudah menunggunya di dekat kafetaria. Aisyah lalu mendekati
teman-temannya.
“Lo ditelfon ga sama Bu
Susi?” tanya Dian.
“Iya. Barusan Bu Susi
nelon gue.” jawab Aisyah.
“Kenape si” tanya Ajrin. “
Gue juga tadi di miskol 7 kali”
“Aji enggak pulang dari
kemaren.” jawab Aisyah.
Di SMA N 5 Jakarta di
sebuah ruangan, Suniaji sedang dalam keadaan tidak sadar dengan mulut yang
diikat sebuah dasi dan tangan dan kaki yang diikat dengan tali raffia berwarna
merah.
Seseorang memasuki ruangan
tempat Suniaji disekap. Ia memakai celana jeans panjang hitam dan jaket
kamuflase hitam dengan penutup kepala. Ia membawa sekantung penuh makanan dan
minuman di tangan kirinya. Tangan yang satunya membawa sebuah pisau berburu. Ia
melemparkan sekantung itu ke hadapan Suniaji. Suniaji lalu terbangun perlahan.
“Makan. Gue enggak mau lo
mati sekarang.” kata seseorang yang berpakaian serba hitam.
Suniaji bangkit dan
mendudukan dirinya. Ikatan di tangan dan di mulutnya dilepaskan. Ia melihat
seseorang di hadapannya, sedang mengenakan topeng Guy Fawkes.
“Too…”
Tiba-tiba orang berjaket
hitam itu menodongkan pisau ke leher Suniaji. “Jangan coba teriak, atau gue
akan coba ngebunuhlo secara pelan-pelan.”
Suniaji menurut. Tangannya
mulai mengambil makanan dan mulai mengunyahnya. Tenaganya perlahan sudah
kembali pulih. Pengelihatannya juga sudah kembali jelas.
Setelah selesai makan,
tangan dan mulut Suniaji kembali diikat.
“Gue ngasih makanan ke lo
bukan berarti gue bae sama lo. Gue cuma enggak mau lo mati sekarang.” kata
seseorang berwajah Guy Fawkes.
Ia kemudian berjalan ke
arah pintu, lalu memegangi pintu ruangan tersebut, seperti akan menutup
pintunya.
“Permainan dimulai sebentar
lagi. Lo bisa berperan sebagai player dalam permainan gue. Lo bisa selametin
diri lo sendiri. Tapi inget, kalo lo gagal, enggak ada kesempatan lagi buat lo
ngeliat sinar matahari, dan kalo lo berhasil lolos sendiri, temen-temen lo yang
akan jadi bayarannya, dan lo harus liat mereka mati satu per satu tepat di
depan mata lo.” jelas si orang berjaket hitam.
Seseorang itu lalu
melangkah mendekati Suniaji. Ia membuka topenganya di hadapan Suniaji.
Mata Suniaji langsung
membelalak kaget ketika melihat seseorang di balik topeng Guy Fawkes. Orang itu
ternyata teman sekelasnya sendiri. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa orang
seperti dia bisa melakukan hal sekejam itu padanya.
“Satu hal yang harus
selalu lo inget dalam permainan gue.” Orang berjaket itu berhenti bicara
sejenak, lalu meneruskan kata-katanya. “Jangan pernah percaya sama temen lo
sendiri. Apapun yang mereka bilang, apapun yang mereka liat, anggep semua itu
cuma tipuan mereka. Di sini gue yang jadi serigala, dan temen-temen lo cuma
domba. Gampang banget buat ngebunuh mereka semua. Lo harus pinter dalam
permainan ini untuk bisa menang, karena banyak nyawa yang akan selamet kalo lo
berhasil ngebawa temen-temen lo keluar dari permainan gue. Lo di permainan gue
adalah pahlawan. Tugas lo adalah selametin mereka semua. Inget baek-baek tugas
lo.” jelas orang itu, lalu tangannya memukul wajah Suniaji hingga kepalanya
terbentur dinding di belakangnya.
Orang berpakaian serba
hitam itu lalu menutup dan mengunci pintu ruangan tersebut dan meninggalkan Suniaji
dalam keadaan tidak sadar.
Hingga malam, belum ada
kabar dari Bu Susi tentang Suniaji. Aisyah sudah menunggu sejak tadi, namun Bu
Susi tidak kunjung menghubunginya. Aisyah kini duduk di kasur di kamarnya dan
menenangkan diri. Ponselnya diletakkan di kasurnya. Ia merebahkan badannya ke
kasur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Halo!” Aisyah langsung
bangun menjawab telepon itu.
“Syah, buku gue kebawa
sama lo nggak?” kata seseorang di saluran telepon. Itu suara Annisa Nu Hanny.
Aisyah lalu membuang nafas
panjang. “Iya. Lo rumah deketan aje telpon-telponan lo. Lagi kaya nih
ceritanye?”
“Dih, apaan si. Besok gue
ke rumah lo ye. Gue mo ngambil bukunye.”
“Iye deh, terserah lo.”
“Ya udeh.” kata Annisa
lali memutus sambungan telepon.
Aisyah kembali menunggu.
Wajahnya kembali dipenuhi kecemasan. Ponselnya kini terus digenggam di
tangannya. Sbenarnya dia tidak perlu menunggu secemas itu. Dia hanya tinggal
menunggu dengan santai sampai Bu Susi memberi kabar. Tapi, mungkin memang dia
orangnya seperti itu.
Tiba-tiba ponselnya
berdering keras. Aisyah cepat-cepat mengangkat panggilan tersebut.
“Halo.” kata Aisyah.
“Syah, maaf ganggu
malem-malem begini. Suniaji belum pulang. Tolong kamu tanyain ke yang lain ya.”
kata Bu Susi dari telepon.
“Iya bu. Nanti saya tanya
ke yang laen.” sahut Aisyah.
“Makasih ya Aisyah.” kata
Bu Susi, lalu menutup teleponnya.
Aisyah lalu mengetik
sebuah SMS dan mengirimnya ke beberapa orang. Hanya beberapa orang yang
membalas, karena jam telah menunjukkan pukul 00.25.
Jawaban pertama dari
Zahra, “Maaf Syah. Nggak tau.”
Jawaban ke dua dari Dita. “Nggak tau. Emang ada apaan?”
Jawaban ke tiga dari
Anita. “Loh, emang belom pulang juga?”
Jawaban ke empat dari Mia.
“Nggak tau. Emang Aji ke mana?”
Jawaban ke lima dari Aldi.
“Nggak tau. Gangguin gue lagi tidur aje.”
Aisyah hanya bisa membaca
balasan dari teman-temannya. Dia masih memikirkan di mana Suniaji sekarang. Dia
berbaring di kasurnya. Ponselnya masih tangannya. Beberapa SMS masih terus
berdatangan, namun Aisyah tidak membukanya. Matanya sudah terlanjur terpejam,
dan pikirannya sudah terlanjur masuk ke dalam alam tidurnya. Ia membiarkan
ponselnya terus bergetar karena SMS yang masuk.
0 comments:
Posting Komentar