Selasa, 17 Januari 2012

Vendetta In V (Bab 2)


2. ON SATURDAY

FLASH BACK
Hari ini hari Sabtu. Semua ekstra kurikuler pada minggu ini sengaja ditiadakan. Semua sudah tau bahwa SMA N 5 Jakarta sedang dalam penilaian kebersihan untuk bisa memperoleh piala Adipura. Bahkan setiappulang sekolah semua siswa siswi SMA N 5 Jakarta seperti diusir untuk segera meninggalkan lingkungan sekolah, karena sekolah akan segera dibersihakan. Tapi mungkin hal itu hanya gretakan saja, karena sekitar seminggu lalu saat berada di ruang Kimia, Misbah menemukan di kolong mejanya terdapat sampah yang memenuhi seluruh ruang di kolong mejanya, mungkin sudah tidak ada ruang lagi untuk sampah baru yang akan menempati tempat itu. Tapi, semoga segalanya tidak seperti yang didpikirkan oleh Misbah.
            Pagi ini awan mendung memenuhi langit. Hujan sepertinya akan membasahi jalan lagi pagi ini. Udara juga sudah mulai terasa dingin. Tapi para wanita ini tidak bisa dihalangi oleh cuaca yang buruk sekalipun.
            Anita, Aisyah Zulfah, Devi, Ajrin, Dea, dan Dian akan melakukan perjalanan hari ini. Tentu saja mereka tidak bisa dihalangi hanya karena datangnya mendung, karena mereka adalah sebuah kelompok yang entah kelompok apa jenisnya yang berada di kelas X-5. Semua siswa siswi X-5 juga sudah mengetahui kalau mereka semua adalah sebuah kelompok yang tidak jelas apa maksud dari kelompok yang mereka ciptakan. Nama kelompok mereka adalah Matahari. Entah kenapa namanya Matahari. Mungkin diambil dari sebuah department store yang membuka cabang di seluruh Indonesia, atau mungkin karena kelakuan mereka yang menyilaukan mata orang yang melihatnya sehingga orang-orang malas untuk melihat mereka.
            Hari ini mereka berpetualang ke sebuah mall yang berada di daerah Jakarta Utara. Sebuah mall yang yerkenal dengan namanya. Mall Of Indonesia, atau biasa disebut dengan MOI. Sebenarnya tujuan mereka ke sana masih tidak jelas, karena mereka ke tempat tersebut secara spontanitas. Tapi setelah berputar-putar di tempat yang cukup besar tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk menyaksikan sebuah film di bioskop Blitzmegaplex.
            “Nonton apaan nih” tanya Anita kepada teman-temannya sambil memandangi poster-poster film yang dipajang di dekat kafetaria dengan tulisan NOW PLAYING di bagian bawah bingkainya. Suaranya yang begitu khas seperti menusuk telinga teman-temannya.
            “Suster Keramas 2 ada nggak?” tanya Devi.
            “Ih, apaan si, Mok. Yang berbobot dikit kek.” protes Ajrin sambil sedikit mendorong Devi. Matahari memang sudah terbiasa memanggil Devi dengan sebutan ‘Semok’. “Lagian di sini tuh film bagus semua. Mane ada film begituan.”
            “Itu aje tuh, yang itu.” kata Dea sambil tangannya menunjuk sebuah poster.
            “Yang mane?” tanya Anita.
            “Itu tuh, yang judulnya Battle apa.. gitu.” kata Dea sambil susah-susah membaca judul film pada poster karena letak posternya jauh dari temat mereka berdiri.
            “Oh, Battle: L. A. Ya udeh yuk.” kata Anita.
            Mereka lalu menuju tempat antri untuk membeli tiket. Antriannya tidak begitu panjang, karena hari ini adalah hari Sabtu, hari saat tiket berharga Rp. 35.000. Mungkin hanya orang-orang yang ingin membuang uang seperti Matahari yang ingin menonton film di bioskop pada hari Sabtu.
            Mereka akhirnya mendapat tiket. Sederet bangku di row E, teater 5, kelas Satin. Mereka menduduki tempat mereka masing-masing. Sambil menunggu film dimulai, mereka berbincang-bincang tidak jelas, bahkan menyempatkan diri untuk berfoto ria.
            Lima menit lagi film baru dimulai. Aisyah Zulfah asyik meminum Pepsi Gold yang ia beli di kafetaria tadi. Ia duduk menyender di kursi ungu sambil tangannya memegang ponselnya, layarnya menunjukkan teks-teks yang sedang ia ketik.
            Tiba-tiba lampu teater padam. Sinar lampu proyektor mulai menyorot ke layar di depan. Film pun dimulai. Sebenarnya film yang mereka tonton bukanlah film yang bisa disebut ‘seru’ karena itu adalah film tentang perang di kota Los Angles.
            Sementara itu, Bu Susi sedang berada di depan laptopnya. Ia sedang membuka akun facebooknya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat nomor di layar ponselnya, tapi tidak dikenal.
            “Halo.” kata Bu Susi menjawab telepon sambil tangannya menempelka ponselnya di telinganya.
            “Ini Bu Susi?” kata seseorang di telepon. Nada bicaranya terdengar cemas dengan nafas yang tidak beraturan.
            “Iya. Ini dari siapa ya?” kata Bu Susi. Wajahnya berubah penasaran dan sedikit takut.
            “Ini orang tuanya Suniaji. Mau tanya, Bu. Suniaji kemana ya? Kok belum pulang dari kemarin?” kata seorang wanita di telepon. Ternyata itu adalah ibu Suniaji.
            “Loh, memangnya Suniaji nggak kabarin ibu atau apa?” tanya Bu Susi. Nadanya cemas.
            “Enggak bu. Dia nggak pernah bawa hp kalo ke sekolah.” kata ibu Suniaji. “Aduh di mana ya, Bu. Saya jadi takut ni, Bu.”
            “Ya udah. Ibu tenang dulu, ya. Nanti saya hubungi teman-temannya Suniaji, saya akan cari informasi dari teman-temannya.” kata Bu Susi menenangkan ibu Suniaji.
            “Ya udah, bu. Saya minta tolong sekali ya sama ibu. Maaf bu mengganggu.” kata ibu Suniaji, lalu memutus sambungan teleponnya.
            Matahari sudah keluar dari teater 5. Seperti biasa, mereka langsung menuju ke kamar mandi. Aisyah mencuci tangannya di wastafel, lalu menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkan tangannya, dan membuangnya di tempat sampah.
            Ia merogoh ke sakunya. Dilihatnya layar ponselnya. Tertera di situ ‘5 Panggilan Tidak Terjawab’. Ternyata dari Bu Susi. Ia bingung, untuk apa Bu Susi meneleponnya sampai lima kali dalam selang waktu hanya beberapa menit.
            Aisyah menju ke menu ‘Pesan’ untuk mengirim SMS kepada Bu Susi dengan maksud menanyakan kenapa ia menelepon. Aisyah mengetik sebuah teks di ponselnya. Baru beberapa kata ia ketik, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia kaget hampir melompat. Tangannya hampir menjatuhkan ponselnya sendiri. Itu telepon dari Bu Susi.
            “Halo, Bu.” kata Aisyah. Ponselnya menempel di telinga kanannya.
            “Syah, kamu tau nggak Suniaji ada di mana? Soalnya tadi orang tuanya telpon ibu, katanya Suniaji belum pulang dari kemarin.” jelas Bu Susi.
            “Hah. belom pulang?” Aisyah kembali bertanya. Wajahnya berubah bingung.
            “Iya. Kamu tau dia di mana?” tanya Bu Susi.
            “Nggak tau, Bu.” jawab Aisyah.
            “Coba deh kamu tanya ke yang lain.” kata Bu Susi. “Soalnya Ibu udah takut nih, takut kayak Ismi kemarin.”
            “Iya, Bu. Nanti saya SMSin ke yang lainnya.” kata Aisyah meyakinkan Bu Susi.
            “Atau enggak, kita nunggu sampe entar sore aja dulu. Kalo Suniaji belom pulang juga, ibu hubungin kamu lagi deh.” kata Bu Susi.
            “Iya, Bu. Iya.”
            “Makasih ya Aisyah.”
            “Iya, Bu. Sama-sama.”
            Bu Susi lalu memutus sambungan teleponnya.
            Aisyah keluar dari toilet. Teman-temannya sudah menunggunya di dekat kafetaria. Aisyah lalu mendekati teman-temannya.
            “Lo ditelfon ga sama Bu Susi?” tanya Dian.
            “Iya. Barusan Bu Susi nelon gue.” jawab Aisyah.
            “Kenape si” tanya Ajrin. “ Gue juga tadi di miskol 7 kali”
            “Aji enggak pulang dari kemaren.” jawab Aisyah.
            Di SMA N 5 Jakarta di sebuah ruangan, Suniaji sedang dalam keadaan tidak sadar dengan mulut yang diikat sebuah dasi dan tangan dan kaki yang diikat dengan tali raffia berwarna merah.
            Seseorang memasuki ruangan tempat Suniaji disekap. Ia memakai celana jeans panjang hitam dan jaket kamuflase hitam dengan penutup kepala. Ia membawa sekantung penuh makanan dan minuman di tangan kirinya. Tangan yang satunya membawa sebuah pisau berburu. Ia melemparkan sekantung itu ke hadapan Suniaji. Suniaji lalu terbangun perlahan.
            “Makan. Gue enggak mau lo mati sekarang.” kata seseorang yang berpakaian serba hitam.
            Suniaji bangkit dan mendudukan dirinya. Ikatan di tangan dan di mulutnya dilepaskan. Ia melihat seseorang di hadapannya, sedang mengenakan topeng Guy Fawkes.
            “Too…”
            Tiba-tiba orang berjaket hitam itu menodongkan pisau ke leher Suniaji. “Jangan coba teriak, atau gue akan coba ngebunuhlo secara pelan-pelan.”
            Suniaji menurut. Tangannya mulai mengambil makanan dan mulai mengunyahnya. Tenaganya perlahan sudah kembali pulih. Pengelihatannya juga sudah kembali jelas.
            Setelah selesai makan, tangan dan mulut Suniaji kembali diikat.
            “Gue ngasih makanan ke lo bukan berarti gue bae sama lo. Gue cuma enggak mau lo mati sekarang.” kata seseorang berwajah Guy Fawkes.
            Ia kemudian berjalan ke arah pintu, lalu memegangi pintu ruangan tersebut, seperti akan menutup pintunya.
            “Permainan dimulai sebentar lagi. Lo bisa berperan sebagai player dalam permainan gue. Lo bisa selametin diri lo sendiri. Tapi inget, kalo lo gagal, enggak ada kesempatan lagi buat lo ngeliat sinar matahari, dan kalo lo berhasil lolos sendiri, temen-temen lo yang akan jadi bayarannya, dan lo harus liat mereka mati satu per satu tepat di depan mata lo.” jelas si orang berjaket hitam.
            Seseorang itu lalu melangkah mendekati Suniaji. Ia membuka topenganya di hadapan Suniaji.
            Mata Suniaji langsung membelalak kaget ketika melihat seseorang di balik topeng Guy Fawkes. Orang itu ternyata teman sekelasnya sendiri. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa orang seperti dia bisa melakukan hal sekejam itu padanya.
            “Satu hal yang harus selalu lo inget dalam permainan gue.” Orang berjaket itu berhenti bicara sejenak, lalu meneruskan kata-katanya. “Jangan pernah percaya sama temen lo sendiri. Apapun yang mereka bilang, apapun yang mereka liat, anggep semua itu cuma tipuan mereka. Di sini gue yang jadi serigala, dan temen-temen lo cuma domba. Gampang banget buat ngebunuh mereka semua. Lo harus pinter dalam permainan ini untuk bisa menang, karena banyak nyawa yang akan selamet kalo lo berhasil ngebawa temen-temen lo keluar dari permainan gue. Lo di permainan gue adalah pahlawan. Tugas lo adalah selametin mereka semua. Inget baek-baek tugas lo.” jelas orang itu, lalu tangannya memukul wajah Suniaji hingga kepalanya terbentur dinding di belakangnya.
            Orang berpakaian serba hitam itu lalu menutup dan mengunci pintu ruangan tersebut dan meninggalkan Suniaji dalam keadaan tidak sadar.
            Hingga malam, belum ada kabar dari Bu Susi tentang Suniaji. Aisyah sudah menunggu sejak tadi, namun Bu Susi tidak kunjung menghubunginya. Aisyah kini duduk di kasur di kamarnya dan menenangkan diri. Ponselnya diletakkan di kasurnya. Ia merebahkan badannya ke kasur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
            “Halo!” Aisyah langsung bangun menjawab telepon itu.
            “Syah, buku gue kebawa sama lo nggak?” kata seseorang di saluran telepon. Itu suara Annisa Nu Hanny.
            Aisyah lalu membuang nafas panjang. “Iya. Lo rumah deketan aje telpon-telponan lo. Lagi kaya nih ceritanye?”
            “Dih, apaan si. Besok gue ke rumah lo ye. Gue mo ngambil bukunye.”
            “Iye deh, terserah lo.”
            “Ya udeh.” kata Annisa lali memutus sambungan telepon.
            Aisyah kembali menunggu. Wajahnya kembali dipenuhi kecemasan. Ponselnya kini terus digenggam di tangannya. Sbenarnya dia tidak perlu menunggu secemas itu. Dia hanya tinggal menunggu dengan santai sampai Bu Susi memberi kabar. Tapi, mungkin memang dia orangnya seperti itu.
            Tiba-tiba ponselnya berdering keras. Aisyah cepat-cepat mengangkat panggilan tersebut.
            “Halo.” kata Aisyah.
            “Syah, maaf ganggu malem-malem begini. Suniaji belum pulang. Tolong kamu tanyain ke yang lain ya.” kata Bu Susi dari telepon.
            “Iya bu. Nanti saya tanya ke yang laen.” sahut Aisyah.
            “Makasih ya Aisyah.” kata Bu Susi, lalu menutup teleponnya.
            Aisyah lalu mengetik sebuah SMS dan mengirimnya ke beberapa orang. Hanya beberapa orang yang membalas, karena jam telah menunjukkan pukul 00.25.
            Jawaban pertama dari Zahra, “Maaf Syah. Nggak tau.”
            Jawaban ke dua dari Dita. “Nggak tau. Emang ada apaan?”
            Jawaban ke tiga dari Anita. “Loh, emang belom pulang juga?”
            Jawaban ke empat dari Mia. “Nggak tau. Emang Aji ke mana?”
            Jawaban ke lima dari Aldi. “Nggak tau. Gangguin gue lagi tidur aje.”
            Aisyah hanya bisa membaca balasan dari teman-temannya. Dia masih memikirkan di mana Suniaji sekarang. Dia berbaring di kasurnya. Ponselnya masih tangannya. Beberapa SMS masih terus berdatangan, namun Aisyah tidak membukanya. Matanya sudah terlanjur terpejam, dan pikirannya sudah terlanjur masuk ke dalam alam tidurnya. Ia membiarkan ponselnya terus bergetar karena SMS yang masuk.

0 comments:

Posting Komentar