Selasa, 17 Januari 2012

Vendetta In V (Bab 6)


6. JUEGO COMIENZA

            Misbah : lo ikut nggak entar malem?
            Mia : nggak tau nih. kayaknya si ikut. natr gue mo kabur bareng tata kayaknya. lo ikut?
            Misbah : nggak tau. bingung. masalahnya ortu gua pasti ga ngijinin.
            Mia : kabur aje.
            Misbah : pengennye si gitu. liat entar aja lah.
            Mia : ya udah. harus ikut loh.
            Misbah : iye gue usahaain deh. palingan lewat jendela nih gue entar malem. udeh kayak maling aje.
            Lima jam sebelum malam pencarian, Mia dan Misbah saling berkomunikasi melalui SMS. Begitu juga dengan yang lainnya. Banyak yang masih memikirkan apakah mereka ingin ikut pada malam pencarian atau tidak. Kebanyakan alas an setiap orang adalah waktunya yang terlalu malam.
            Tribuana megisi daya baterai ponselnya sore ini. Ia juga sudah membeli beberapa camilan untuk dibawanya nanti malam. Jaket tanpa tutup kepala juga sudah siap. Semua camilannya dimasukkan ke dalam tas selempang berwarna putih berukuran kecil.
            Tribuana mengambil ponselnya dan menekan tombol-tombol di ponselnya, lalu menempelkan speaker ponselnya di telinganya.
            “Halo, Mia.” kata Tribuana. “Bisa ke rumah gue nggak?”
            “Hah, ngapain?” jawab Mia.
            “Buat entar malem. Udeh ke rumah gue aje buruan.”
            “Iye. Iye.”
            Semuanya mempersiapkan keperluannya masing-masing. Waktu terus berjalan. Detik demi detik telah berlalu. Matahari telah besermbunyi di ufuk barat dan menyisakan sinarnya yang berwarna kekuningan di langit. Hari semakin gelap. Malam pencarian segera dilakukan.
            Sore ini masih ada beberapa ekstra kurikuler yang masih berjalan. Sekitar pukul tujuh malam, lingkungan sekolah mulai sepi. Lampu sorot yang dipasang di lantai tiga mulai dipadamkan. Lapangan SMA N 5 Jakarta mulai gelap. Beberapa lampu lorong dan toilet masih menyalah berkedip-kedip. Entah apa yang terjadi pada lampu itu.
            Fariz kembali menyebarkan pesan lewat media facebook.
           
            From: Fariz Redsky
            Message:
Malem ini yang pada mau ikut, bisa dateng jam 10 ke sekolahan. Kita ketemuan di depan sekolah. Yang ikut jangan pada ngaret.

            Hanya beberapa orang yang membaca pesan itu. Mungkin karena semuanya sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing, atau karena memang mereka malas membacanya.
            Hari ini waktu seperti berjalan lama sekali. Mereka yang ingin ikut pencarian sudah tidak sabar untuk datang ke sekolah. Mereka mulai merasa bosan karena terlalu lama menunggu. Bahkan ada yang tertidur karena mengantuk.
            Jarum jam terus berjalan perlahan. Detik jam terus berputar-putar mengitai angka-angka yang ada. Tak terasa ternyata jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Semua yang ingin ikut dalam pencarian berangkat dari rumah masing-masing.
            Fariz datang ke sekolah. Belum ada siapa-siapa di sekolah. Ia menunggu sendirian sambil berdiri di depan pintu gerbang sekolah.
            Sementara itu, Mia dan Tribuana baru saja melangkah keluar dari rumah masing-masing. Mia menghidupkan mesin sepeda motor dan Tribuana duduk di kursi belakang. Motor mulai berjalan.
            Mereka melintasi kawasan Kemayoran yang sudah mulai sepi kendaraan. Bulu kuduk mereka berdiri ketika melawati sebuah gedung tua gelap yang sudah lama pembangunannya dihentikan. Tribuana langsung memalingkan pandangannya dari gedung tua yang menyeramkan itu.
            “Buruan, Met. Udeh telat nih.” kata Tribuana.
            Mia mempercepat laju sepede motor. Mereka melewati kawasan Pallazo yang juga sudah sepi kendaraan. Banyak wanita-wanita malam di daerah ini. Ada pula pria yang menyamar sebagai wanita untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepeda motor menikung ke kiri dan mulai memasuki daerah Bendungan Jago.
            Daerah Bendungan Jago masih ramai dengan pembeli dan penjual yang masih melakukan transaksi di Pasar Jiung. Misbah sering menyebut-nyebut pasar itu dengan sebutan Jiung Plaza. Tribuana tersenyum sendiri ketika mengingat hal itu. Para pedagang masih bekerja di dalam kegelapan malam dan terangnya sinar lampu. Pasar Jiung selalu ramai karena barang-barang yang dijual harganya sangat terjangkau oleh pembeli.
            Yossy turun dari angkot bernomor 37. Ia melangkah melewati papan reklame dengan tulisan SMA N 5 Jakarta. Ia melangkah melawati kegelapan. Dari jauh terlihat seseorang berdiri di depan pintu gerbang SMA N 5 Jakarta. Ia mengenali orang itu.
            “Yang laen belom dateng, Riz?” tanya Yossy ketika langkahnya hamper dekat dengan Fariz.
            “Belom. Dari tadi gue sendiri.” jawab Fariz.
            Mia dan Tribuana kini sampai di depan SMA N 5 Jakarta. Jalan di depan SMA N 5 Jakarta sangat gelap. Hanya terlihat Yossy yang wajahnya terang dengan sinar lampu dari ponselnya. Tribuana turun dari sepeda motor. Mia mematikan mesin motor dan memarkirnya di dekat pintu gerbang.
            “Eh, ada Fariz.” kata Mia sambil berjalan mendekati Yossy.
            “Mane yang laen?” tanya Tribuana yang saat ini berdiri di sebelah Mia.
            Yossy tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat bahunya.
            “Au…” kata Fariz singkat.
            “Hih, tadi aturan kita tidur dulu, Ta.” kata Mia.
            Mia dan Tribuana duduk di depan pintu gerbang, di sebelah kanan dan kiri Yossy. Tribuana memasang headset yang dibelinya hari Minggu kemarin. Mia sibuk dengan ponselnya yang sedang melakukan koneksi ke sebuah server suatu website.
            Hari semakin gelap. Beberapa kendaraan juga sudah menghilang ari jalan raya di depan papan reklame SMA N 5 Jakarta. Suara-suara hewan malam mulai terdengar satu persatu. Bunyi jangkrik terdengar dari semak-semak di dekat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta.
            Tribuana mulai merasa bosan. Mia sudah beberapa kali membuka mulutnya karena mengantuk. Yossy yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya kini menopang kepalanya di atas lututnya yang dilipat. Wajah Fariz mulai terlihat lelah. Semuanya mulai bosan dan lelah.
            Tribuana bangkit dari duduknya. “Mia, jalan-jalan yuk. Karatan nih gue.”
            “Yuk, dari tadi gue pengen ngajak lo.” jawab Mia.
            Mereka berdua lalu pergi kea rah jembatan di samping SMA N 5 Jakarta. Mereka berdiri di dekat pagar jembatan. Mia merasa sedikit takut mala mini. Sebenarnya bukan mala mini saja, hamper setiap malam ia keatkuatn karena penghuni gaib di rumahnya.
            “Gue takut. Ta.” kata Mia. Tangannya merapatkan jaketnya.
            “Takut nape?” tanya Tribuana. Tangannya masih memegang ponselnya sejak dari pintu gerbang tadi.
            “Haaah, sekolahan gelap banget.” kata Mia dengan gaya bicara seperti anak kecil.
            “Eh, lo piker lo doing. Gue juga takut.” kata Tribuana.
            Mereka lalu terdiam. Suara musik terdengar kecil dari headset Tribuana yang menggantung di lehernya. Udara semakin dingin. Rasa kantuk tak tertahankan menyerang. Sekarang pukul 10.25. Mungkin jika di rumah, saat ini mereka sudah tidur.
            Sebuah sepeda motor melaju melewati kawasan Pasar Sumur Batu. Sepeda motor itu melaju cepat. Si pengemudi memakai jaket kamuflae berarna hitam. Kepalanya ditutupi dengan penutup kepala jaketnya. Sepeda motornya melaju sangat cepat seperti ia sedang terlambat dengan suatu hal.
            Mia mulai merasa lapar. Ia mengangkat kepalanya yang dia tadahkan di atas tangnnya yang memegang pagar jembatan.
            “Ta, buka Mr. Potato lo dong. Laper nih.” kata Mia sambil menunjuk-nunjuk tas selempang berwarna putih kecil yang menggembung yang dipakai Tribuana.
            “Sama, Met. Gue juga laper.” sahut Tribuana. Tangannya lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah tabung penjang.
            Mia menyambar tabung yang dipegang oleh Tribuana. “Sini ah, lama lo.”
            “Wanjir, asal samber. Untung nggak jatoh ke kali.” kata Tribuana sambil tangannya menutup tasnya.
            Mia membuka penutup palstik dan lapisan aluminium foil yang menutup tabung yang dipegangnya. Ia merogohkan tangannya ke dalam tabung dan mengambil sebuah keripik yang berbentuk bulat melengkung. Tribuana juga mengambil keripik itu. Mereka berdua memakan keripik itu dengan asik ditemani delapnya malam, lampu jalanan yang berwarna kuning, dan musik dari ponsel Tribuana yang masih mengalun melalui headset berwarna merah muda.
            Yossy hampir tertidur. Ia mengangkat kepalanya dari lutunya. Matanya memandang ke depan. Ia mendengar seseorang sedang menjerit dari kejauhan. Matanya mulai melirik kemana-mana, berusaha mencari orang yang sedang menjerit. Ia mulai bingung. Lalu kepalanya menoleh kea rah kanan.
            Yossy melihat seorang wanita yang terbaring di jalanan bersimbah darah. Di dekat tangannya ada beberapa seroihan makanan yang berserakan di jalanan. Di dekat wanita yang terbaring, ada seorang wanita berkemeja merah tua. Sepertinya dia teman dari wanita yang terbaring. Wanita berkemeja merah tua itu meronta-ronta seperti minta tolong. Ia tidak bisa bertriak. Mulutnya ditutup oleh tangan seseorang.
            Yossy melihat tangan yang menutupi mulut wanita berkemeja merah itu. Ia baru menyadari bahwa wanita itu adalah teman sekelasnya. Yossy masih memperhatikan seseorang yang menutup mulut temannya itu. Hanya terlihat telapak tangannya saja. Selebihnya ditutupi oleh jaket hitamnya yang bermotif. Yossy sekarang melihat seseorang yang menutup mulut temannya. Ternyata seorang laki-laki. Ia mengenalnya. Tangan yang satunya sedang memegang dahi temannya.
            Di jembatan, Mia dan Tribuana mulai merasa bosan yang sangat. Keripik kentang yang mereka makan sudah hampir habis, sehingga mereka harus merogohkan tangan lebih dalam untuk mendapatkan keripiknya.
            Fariz sibuk sendiri dengan ponselnya. Ia sudah beberapa kali mengirim SMS ke teman-temannya dan menelepon seseorang. Ponselnya kini sudah terasa panas karena sudah lama dioperasikan.
            Di sebuah jalan, Aisyah, Anita, Ajrin, Devi, Dian, dan Dea sedang berjalan bersama. Mereka bercanda di sepanjang jalan untuk menghilangkan rasa dingin dan takut. Candaan dan tawaan mereka mungkin bisa membangunkan orang-oarang yang sedang tidur.
            “Ssst ssst, udeh lo. Ada yang tidur nih.” kata Anita dengan suaranya yang agak melengking.
            “Tau lo, Mok. Berisik.” kata Dea sambil menyenggol bahu Devi.
            “Apaan si? Lo tuh yang berisik.” kata Devi sambil tertawa.
            “Eh, udeh ah buruan. Udeh malem nih. Entar kita nggak nyampe-nyempe.” kata Dian yang juga sambil tertawa.
            Fani malangkah turun dari kendaraan P10. Mungkin bis itu adalah bisa terakhir yang lewat. Ia berjalan melewati papan reklame SMA N 5 Jakarta. Ia kini berjalan di depan SMA N 5 Jakarta. Ia berhenti di depan pintu gerbang. Ia melihat Fariz yang sedang menelepon seseorang di tengah remang-remang dan Yossy yang sedang duduk sambil menempelkan kepalanya ke lututnya yang dilipat.
            “Mane yang laen?” tanya Fani sambil tangannya memegang ponselnya.
            “Belom pada datang. Mia sama Tata lagi di jembatan.” kata Fariz.
            Fani lalu duduk di sebelah kanan Yossy. Ia kembali menyibukkan dirinya dengan ponselnya, ber-SMS ria dengan seseorang di tempat lain.
            Mia merogohkan tangannya ke dalam tabung keripik. “Yah, abis nih, Ta.”
            “Ya udeh. Ganti makanan.” kata Tribuana.
            “O iye, gue bawa kebab yang tadi, Ta.” kata Mia sambil membuka tas selempang kecilnya.
            “Ya ampun, udeh dingin kali. Ape masih enak?”
            “Tar dulu, gue cobain dulu.” kata Mia, lalu mengeluarkan kebab dari kantung plastik bening yang dipegangnya.
            Mia mengigit sedikit kebab di tangannya dan mengunyahnya. Ia merasa-rasa kebab yang sudah dingin itu di atas lidahnya yang bergerak-gerak ke sana ke mari.
            “Ih, masih enak ternyata.” kata Mia sambil tersenyum dan mmengangguk. “Mau nggak?”
            “Ya udeh. sini.” kata Tribuana seraya tangannya menyambar kebab dari tangan Mia.
            “Ahh, sialan lo, asal samber.” protes Mia.
            “Gantian. Tadi kan lo yang nyamber makanan gua.” sahut Tribuana ambil mngunyah kebab yang masih utuh di mulutnya.
            “Oh, ceritanya bales dendam ye.” kata Mia.
            “Kayaknye si gitu.”
            Mereka lalu memakan kebab itu. Sudah sekitar lima lagu yang diputar di ponsel Tribuana. Lagu-lagu terus berganti, tetapi pencarian belum dimulai. Entah apakah dibatalkan atau orang-orangnya tidak pada datang.
            “Lagunye enak nih.” kata Mia.
            “Aduh-aduh nggak tahan.” kata Tribuana sambil menggerakkan kepala dan tangannya.
            Mereka berdua lalu menggerakkan tangan dan kepala mereka. Gaya mereka sekarang sudah seperti di dalam sebuah klub malam dengan ruangan yang penuh sinar lampu berwarna-warni dan musik yang volumenya di atur ke paling keras. Untungnya malam itu para warga sekitar sudah tertidur, jadi mereka tidak perlu merasa malu karena gerakan mereka yang sudah seperti orang gila.
            Mia: Lo kok belom dateng sih?
            Misbah: Gue nggak ikut. Ngantuk.
            Mia: Ih, dasar lo
            Misbah: Gue nunggu kabar terakhir aja
            Mia: Okeh. Gue kabarin lagi entar
            Di sela-sela kegilaan mereka, Mia masih sempat berkirim SMS dengan Misbah.
            Yossy melihat teman sekelasnya dari kejauhan bersama seseorang berjaket hitam di belakangnya. Ia melihat seorang laki-laki yang memegangi teman sekelasnya dari belakang, tangannya putih, dan beberapa uratnya terlihat menonjol.
            Laki-laki itu menarik tangannya ke belakang, dan teman sekelas Yossy langsung ambruk di jalan bersinar lampu jalanan. Laki-laki itu kemudian berjalan ke arah Yossy. Wajahnya mulai terlihat jelas. Ia semakin dekat. Yossy benar-benar mengenali wajah itu. Laki-laki itu teman sekelasnya.
            Di jembatan, Mia dan Tribuana masih berjoget-joget layaknya sedang berada di diskotik dengan lampu berkedap-kedip.
            “Udeh ah, ta. Capek.” kata Mia.
            “He eh. Sama.” sahut Tribuana.
            Mereka lalu berhenti menari. Suasana kembali sunyi. Mia menggigit kebab yang dipegang Tribuana yang hanya tinggal sedikit.
            “Met, masih inget nggak kejadian kemaren kita di parkiran?” tanya Mia tiba-tiba.
            “Iye lah. Emang kenape?” Tribuana balik bertanya.
            “Gue pernah cerita ke lo ‘kan kalo dia punya tanda di tangan kirinya?”
            “Iye.”
            “Lo liat nggak tangan kiri Misbah diplester tadi pagi?”
            “Iye.”
            “Gue curiga yang nyerang kita di parkiran itu Misbah, Ta.”
            “Hah?!” kata Tribuana. Mulutnya menganga tidak percaya. “Nggak mungin lah, Met.”
            “Mungkin aja dong. Lagian kenape coba tangannya ditutupin plester?” tanya Mia sambil tangannya ikut bergerak seperti orang Itali yang sedang berbicara.
            “Kan dia bilang ke lo, tangannya luka.”
            “Kali aja itu Cuma alibi.”
            “Bisa juga sih.” kata Tribuana membenarkan perkataan Mia, “Tapi se-saikonya dia, dia nggak mungkin ngelakuin hal itu ke kita.”
            “Ya ampun , Ta. Dia itu udajh kayak psikopat. Lo piker deh, dia kan pinter banget bikin cerita. Bukan nggak mungkin kan semua yang dia certain ke kita itu boong? Mungkin aja dia bikin cerita baru yang bikin kita yakin untuk nutupin semuanya. Mungkin aja kasus Aji ilang juga bagian dari rencana dia. Lo tau kan tes IQ kemaren, hasilnya IQ dia lumayang tinggi? Ya, tinggian gue sih. Coba deh lo pikir lagi, psikopat itu punya IQ yang tinggi. Dia pasti punya rencana di balik ini semua. Mungkin sekarang dia nggak dateng juga karena mau nutupin semuanya. Bener’kan gue?”
            Tribuana terdiam. Ia bingung harus berkata apa lagi. Tapi akhirnya ia mulai membuka mulutnya. “Kayaknya yang psikopat elo deh, Met?”
            “Lah, kok?”
            “Longgak sadar? Semua yang lo bilang tadi itu gila. Gue aja sama sekali nggak kepikiran kalo Misbah ngelakiun apa yang tadi lo bilang. IQ lo juga lebih tinggi dari Misbah, Met.”
            “Terus, elo nuduh gue yang ngelakuin ini semua, gitu?”
            “Setelah gue pikir-pikir lagi, lo nggak mungkin ngelakuin semua ini. Orang kayak lo nggak mungkin berani. Lo keluar malem aje nggak berani.” kata Tribuana, lalu tertawa kecil.
            “Wuanjir. Lo juga, Met.” kata Mia.
            Mereka lalu tertawa bersama.
            Di belakang mereka berdua, beberapa wanita berjalan bersama sambil tertawa dengan suara keras.
                Mia dan Tribuana menoleh ke arah belakang. Mereka melihat beberapa wanita yang sedang tertawa terbahak-bahak. Anita, Ajrin, Devi, Aisyah, Dea, dan Dian, atau lebih tepatnya Matahari.
            “Heh, berisik!” protes Tribuana. Wajahnya dipasang jutek.
            “Siape tuh? Songong banget.” kata Dian dengan nada sinis.
            “Tata bego.” jawab Anita sambil mendorong Dian. “Yang laen mane, Ta?”
            “Tuh di sono.” jawab Tribuana sambil tangannya menunjuk ke arah sekolah SMA N 5 Jakarta yang semakin gelap.
            “Udeh pada dateng belom?”
            “Nggak tau. Dari tadi gue di sini sama Mia.”
            “Ya udeh. Kita ke sono duluan.”
            “Ya udeh.”
            Matahari lalu melanjutkan perjalanan ke SMA N 5 Jakarta. Mia dan Tribuana masih asik dengan kebab dan musik mereka.
            Sedang asiknya Mia mendengarkan musik lewat headset, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia langsung mengambil ponselnya dari tasnya. Seseorang menghubunginya. Tidak ada nomor yang ditunjukkan oleh layar, dengan kata lain si penelepon menyembunyikan nomor teleponnya. Mia melepaskan headset dan menekan tombol ‘jawab’ di ponselnya. Ia mulai menempelkan speaker ponselnya ke telinganya.
            “Halo..” Mia berbicara dengan nada datar.
            Tidak ada jawaban. Tidak ada suara yang terdengar. Sepi.
            “Halo..” Mia mengulangi lagi kata-katanya.
            Kali ini ada yang menjawab. “Halo, Mia. Siap untuk permainan?”
            “Ini siapa? Kok tau nomor gue?”
            “Siapa gue, di mana gue, dan kenapa gue tau nomor lo itu nggak penting. Lo belom jawab pertanyaan gue.” kata seseorang di telepon. Suaranya sangat berat. “Lo siap untuk permainan?”
            “Permainan apaan?” tanya Mia. Suaranya mulai terdengar ketakutan.
            “Siape sih, Met?” tanya Tribuana yang mulai kesal mendengar perbincangan Mia dengan seseorang yang meneleponnya.
            “Sssstt…..” kata Mia sambil tangan sebelahnya menutupi mulut Trubuana.
            “Permainan rancangan gue. Lo akan jadi pemain di sini. Tapi, ada beberapa peraturan di dalam permainan gue.” seseorang di telepon itu menjawab.
            “Peraturan?” kata Mia bertanya-tanya.
            “Ya, peraturan. Semua permainan pasti ada peraturannya.”
            “Apa peraturannya?”
            “Ada beberapa peraturan yang harus lo tau. Diantaranya, permainan ini beda sama permainan yang biasa lo mainin di HP lo. Kalo di HP lo, lo punya nyawa yang bisa lo dapet di mana aja. Tapi di permainan gue, lo hanya punya satu nyawa. Permainan ini ada tiga grup. Masing-masing grup ada 5 orang. Setiap grup punya tugasnya masing-masing. Lo harus ngelawan grup laen dengan cara lo sendiri. Sama kayak permainan lain, setiap pemain nggak boleh melakukan kecurangan dalam bentuk apapun. Ini permainan nyawa, Mia. Ada saatnya lo harus ngebunuh, atau lo akan dibunuh. Setiap kecurangan, sanksinya bakal beda-beda.
            “Maksunya apaan? Permainannya kayak gimana?”
            “Lo bakal tau, Mia. Ada 5 syarat yang harus lo tepatin. Gue akan kasih syarat itu satu per satu selama permainan. Syarat pertama dalam permainan gue, permainan boleh dimulai saat angka 5 atau kelipatannya muncul. Syarat itu udah lo tepatin dengan dateng jam 10 tepat dan tanggal 10. Satu lagi Mia, kalo ada syarat yang nggak terlaksana, lo akan terima akibatnya.”
            Telepon langsung diputus oleh si penelepon.
            “Halo, halo. Sialan dimatiin.”
            “Siape sih, Met?” Tribuana kembali mengulangi pertanyaanya.
            “Nggak tau. Dia ngasih syarat sama peraturan buat permainannya. Tapi gue nggak tau permainan apaan.” kata Mia menjelaskan.
            “Permainan?” kata Tribuana bertanya-tanya. Wajahnya seperti sedang berpikir. Tiba-tiba ia bicara lagi. “Jangan-jangan….”
            Mia yang juga sedang berpikir langsung menatap wajah Tribuana. “Ilangnya Suniaji itu permainannya.” sela Mia memotong kata-kata Tribuana. “Jangan-jangan semua kejadian dari hari Jum’at kemaren itu permainannya, dan kita ini pemainnya. Ya ampun, kita musti kasih tau yang laen.”
            Mia dan Tribuana langsung berlari ke arah kerumunan orang-orang di depan pintu gerbag SMA N 5 Jakarta.
            Di depan gerbang, Yossy masih melihat seorang laki-laki yang berlari dari arah jembatan. Ia benar-benar mengenali laki-laki itu. Laki-laki itu teman sekelasnya. Tapi kenapa dia tega membunuh temannya sendiri? Laki-laki itu mulai mendekat, dan Yossy mulai merasa takut.
            Yossy mendengar seseorang yang memanggil-manggil namanya. Ia mendengar suara itu. Suara seorang wanita yang agak melengking. Ia kembali mendengar suara itu. Ia merasa bingung dan takut. Akhirnya ia memejamkan matanya. Ia merasakan ada yang mendorong tubuhnya dari arah depan.
            Yossy langsung membuka mata. Ia melihat wajah Anita di depan matanya. Ia bingung. Nafasnya tidak teratur. Dahinya basah berkeringat seperti orang yang habis lari marathon. Ia langsung bangun dari duduknya.
            “Heh, bangun. Kita mo masuk ke sekolahan nih.” kata Anita dengan nada agak tinggi.
            “Masuknye gimane, Riz?” tanya Dian sambil melihat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta yang lumayan tinggi.
            “Pada pake celana ‘kan? Manjat aje.” kata Fariz santai.
            “Ah, gila lo. Tinggi banget pagernye!” protes Aisyah.
            “Lo punya ide ngaak buat masuk?” tanya Fariz.
            Aisyah diam. Ia bingung harus berkata apa.
            Semua diam. Tidak ada yang bericara. Suasana semkain gelap dan sunyi dengan diamnya mereka.
            “Ya udah, kita manjat.” kata Fariz, kemudian mulai memanjat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta dan melompat ke dalam sekolah.
            Yang lainnya mengikuti Fariz memanjat pintu. Untung saja mereka semua memakai sepatu, jadi peluang untuk tergelincir sangat kecil.
            Mia tiba-tiba datang sambil berlari, disusul Tribuana di belakanganya. “Eh eh, huh, gawat banget, gawat banget.” kata Mia sambil terengah-engah.
            “Kenape?” tanya Fariz dari balik pintu gerbang sekolah. Wajahnya sulit terlihat karena gelap.
            “Gawat banget nih….” kata Mia.
            “Ya udeh lo masuk dulu, entar ceritanye di dalem aje.”
            Mereka se,ua lalu memanjat pintu gerbang sekolah dn akhirnya berada di dalam lingkungan sekolah.
            Sekolah terlihat menyeramkan. Gelap, sepi, dan besar. Mungkin para penghuninya sedang bermain-main di lorong-lorong yang gelap. Lampu toilet wanita di lantai dua, tepatnya di samping ruang Mulok menyala, begitupun di samping runag PKn. Suasana semakin seram dengan suara-suara binatang malam yang saling bersahutan.
            Fariz membuka tas punggungnya dan mengeluarkan senter. Ia menekan sakelar di senternya, dan sinar terang berwarna putih menyorot ke luar. Fariz menyorot Mia dengan senternya.
            “Ke pos dulu, taro tas.” kata Fariz.
            Semuanya langsung menuju pos yang letaknya hanya sekitar 7 meter dan berhadapan dengan pintu gerbang.
            Anita membuka tasnya dan merogohkan tangannya, berusaha mencari senter di tengah kegelapan. Akhirnya ia menemukannya. Ia menyalahkan senternya, sinarnya berwarna agak keunguan, namun cukup terang untuk menyinari sekolah yang sangat gelap.
            Mia duduk di lantai pos. Ia masih memegang ponselnya sejak tadi.
            “Tadi kenape?” tanya Fariz.
            “Tadi ada yang nelpon gue. Private number. Dia ngomong ga jelas.”
            “Terus?”
            “Dia bilang soal permainan. Tapi gue nggak tau permainan apaan. Katanya permainan nyawa. Dia juga bilang kalo perminannya itu rancangan dia. Dia juga ngasi tau peraturan-praturan di permainan itu. Pokoknya gue nggak tau apa yang dia omongin.” jelas Mia.
            “Terus gawatnya?”
            “Gue takut dia itu orang di balik ini semua. Bukan nggak mungkin kan kalo orang yang tadi nelpon gue itu ternyata orang yang nyembunyiin Aji dan dia tau kita lagi mau nyari Aji di sini?”
            “Cowok?” tanya Friz. Wajahnya penasaran.
            “Iya. Suaranya kaya o mom.”
            Fariz terdiam. Ia bingung.
            Anita mendengar suara dari arah pintu gerbang. Ia langsung menoleh ke arah pintu dan menyorot senternya. Ia melihat ada riga orang di luar pintu. Itu Shofura, Nurul, dan Zahra. “Manjat aje.” teriak Anita dari pos.
            “Ya udah. Kita tunggu aja dulu satu orang lagi, baru kita nyari Aji. Soal orang yang tadi neror cuekin aja. Tujuan kita ke sini kan buat nyari Aji.” kata Fariz.
            Mereka yang di sana setuju. Mereka menunggu satu orang lagi datang, tapi tidak ada yang datang.
            25 menit berlalu. Tidak ada yang datang. Mereka mulai merasa bosan. Anita dan Dian sejak tadi memainkan sinar senter yang mereka bawa. Aisyah menopang kepalanya dengan tangan kanannya sambil menahan kantuk. Mia dan Tribuana duduk di lantai tanpa ada sesuatu yang dikerjakan.
            Anita menengar sesuatu. Seperti ada yang bergetar.
            “Eh, hp siape tu?” tanya Anita.
            “Hp gue.” jawab Mia, lalu mengambil ponselnya yang diletakkan di meja pos.
            Mia melihat layar ponsel. Seseorang sedang menghubunginya. Lagi-lagi privat number. Mungkin orang yang tadi member terror.
            “Halo?” Mia menjawab telepon itu.
            “Halo, Mia.” jawab seseorang di telepon.
            Mia lalu mencolek Fariz seraya bibirnya mengatakan ‘Yang tadi nelpon.’
            “Permainan dimulai. Ada satu hal yang harus lo inget di sini, Mia. Jangan pernah percaya sama temen lo sendiri.” kata seseorang di telepon dengan suara yang berat.
            Telepon lalu terputus. Mia bisa mendengar suara bip saat teleponnya diputus oleh orang misterius itu.
            Mia terdiam tidak berkata-kata.

0 comments:

Posting Komentar