6. JUEGO COMIENZA
Misbah : lo ikut nggak
entar malem?
Mia : nggak tau nih. kayaknya si ikut. natr gue mo kabur bareng tata
kayaknya. lo ikut?
Misbah : nggak tau. bingung. masalahnya ortu gua
pasti ga ngijinin.
Mia : kabur aje.
Misbah : pengennye si gitu. liat entar aja lah.
Mia : ya udah. harus ikut loh.
Misbah : iye gue usahaain deh. palingan lewat jendela
nih gue entar malem. udeh kayak maling aje.
Lima jam sebelum malam
pencarian, Mia dan Misbah saling berkomunikasi melalui SMS. Begitu juga dengan
yang lainnya. Banyak yang masih memikirkan apakah mereka ingin ikut pada malam
pencarian atau tidak. Kebanyakan alas an setiap orang adalah waktunya yang
terlalu malam.
Tribuana megisi daya
baterai ponselnya sore ini. Ia juga sudah membeli beberapa camilan untuk dibawanya
nanti malam. Jaket tanpa tutup kepala juga sudah siap. Semua camilannya
dimasukkan ke dalam tas selempang berwarna putih berukuran kecil.
Tribuana mengambil
ponselnya dan menekan tombol-tombol di ponselnya, lalu menempelkan speaker
ponselnya di telinganya.
“Halo, Mia.” kata
Tribuana. “Bisa ke rumah gue nggak?”
“Hah, ngapain?” jawab Mia.
“Buat entar malem. Udeh ke
rumah gue aje buruan.”
“Iye. Iye.”
Semuanya mempersiapkan
keperluannya masing-masing. Waktu terus berjalan. Detik demi detik telah berlalu.
Matahari telah besermbunyi di ufuk barat dan menyisakan sinarnya yang berwarna
kekuningan di langit. Hari semakin gelap. Malam pencarian segera dilakukan.
Sore ini masih ada
beberapa ekstra kurikuler yang masih berjalan. Sekitar pukul tujuh malam, lingkungan
sekolah mulai sepi. Lampu sorot yang dipasang di lantai tiga mulai dipadamkan.
Lapangan SMA N 5 Jakarta mulai gelap. Beberapa lampu lorong dan toilet masih
menyalah berkedip-kedip. Entah apa yang terjadi pada lampu itu.
Fariz kembali menyebarkan
pesan lewat media facebook.
From: Fariz Redsky
Message:
Malem ini yang pada mau ikut, bisa dateng jam 10 ke sekolahan. Kita
ketemuan di depan sekolah. Yang ikut jangan pada ngaret.
Hanya beberapa orang yang
membaca pesan itu. Mungkin karena semuanya sedang sibuk dengan aktifitas
masing-masing, atau karena memang mereka malas membacanya.
Hari ini waktu seperti
berjalan lama sekali. Mereka yang ingin ikut pencarian sudah tidak sabar untuk
datang ke sekolah. Mereka mulai merasa bosan karena terlalu lama menunggu.
Bahkan ada yang tertidur karena mengantuk.
Jarum jam terus berjalan
perlahan. Detik jam terus berputar-putar mengitai angka-angka yang ada. Tak
terasa ternyata jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Semua
yang ingin ikut dalam pencarian berangkat dari rumah masing-masing.
Fariz datang ke sekolah.
Belum ada siapa-siapa di sekolah. Ia menunggu sendirian sambil berdiri di depan
pintu gerbang sekolah.
Sementara itu, Mia dan
Tribuana baru saja melangkah keluar dari rumah masing-masing. Mia menghidupkan
mesin sepeda motor dan Tribuana duduk di kursi belakang. Motor mulai berjalan.
Mereka melintasi kawasan
Kemayoran yang sudah mulai sepi kendaraan. Bulu kuduk mereka berdiri ketika
melawati sebuah gedung tua gelap yang sudah lama pembangunannya dihentikan.
Tribuana langsung memalingkan pandangannya dari gedung tua yang menyeramkan
itu.
“Buruan, Met. Udeh telat
nih.” kata Tribuana.
Mia mempercepat laju
sepede motor. Mereka melewati kawasan Pallazo yang juga sudah sepi kendaraan. Banyak
wanita-wanita malam di daerah ini. Ada pula pria yang menyamar sebagai wanita
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepeda motor menikung ke kiri dan mulai
memasuki daerah Bendungan Jago.
Daerah Bendungan Jago
masih ramai dengan pembeli dan penjual yang masih melakukan transaksi di Pasar
Jiung. Misbah sering menyebut-nyebut pasar itu dengan sebutan Jiung Plaza.
Tribuana tersenyum sendiri ketika mengingat hal itu. Para pedagang masih
bekerja di dalam kegelapan malam dan terangnya sinar lampu. Pasar Jiung selalu
ramai karena barang-barang yang dijual harganya sangat terjangkau oleh pembeli.
Yossy turun dari angkot
bernomor 37. Ia melangkah melewati papan reklame dengan tulisan SMA N 5
Jakarta. Ia melangkah melawati kegelapan. Dari jauh terlihat seseorang berdiri
di depan pintu gerbang SMA N 5 Jakarta. Ia mengenali orang itu.
“Yang laen belom dateng,
Riz?” tanya Yossy ketika langkahnya hamper dekat dengan Fariz.
“Belom. Dari tadi gue
sendiri.” jawab Fariz.
Mia dan Tribuana kini
sampai di depan SMA N 5 Jakarta. Jalan di depan SMA N 5 Jakarta sangat gelap.
Hanya terlihat Yossy yang wajahnya terang dengan sinar lampu dari ponselnya.
Tribuana turun dari sepeda motor. Mia mematikan mesin motor dan memarkirnya di
dekat pintu gerbang.
“Eh, ada Fariz.” kata Mia
sambil berjalan mendekati Yossy.
“Mane yang laen?” tanya
Tribuana yang saat ini berdiri di sebelah Mia.
Yossy tidak berkata
apa-apa. Ia hanya mengangkat bahunya.
“Au…” kata Fariz singkat.
“Hih, tadi aturan kita
tidur dulu, Ta.” kata Mia.
Mia dan Tribuana duduk di
depan pintu gerbang, di sebelah kanan dan kiri Yossy. Tribuana memasang headset
yang dibelinya hari Minggu kemarin. Mia sibuk dengan ponselnya yang sedang
melakukan koneksi ke sebuah server suatu website.
Hari semakin gelap.
Beberapa kendaraan juga sudah menghilang ari jalan raya di depan papan reklame
SMA N 5 Jakarta. Suara-suara hewan malam mulai terdengar satu persatu. Bunyi
jangkrik terdengar dari semak-semak di dekat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta.
Tribuana mulai merasa
bosan. Mia sudah beberapa kali membuka mulutnya karena mengantuk. Yossy yang
sejak tadi sibuk dengan ponselnya kini menopang kepalanya di atas lututnya yang
dilipat. Wajah Fariz mulai terlihat lelah. Semuanya mulai bosan dan lelah.
Tribuana bangkit dari
duduknya. “Mia, jalan-jalan yuk. Karatan nih gue.”
“Yuk, dari tadi gue pengen
ngajak lo.” jawab Mia.
Mereka berdua lalu pergi
kea rah jembatan di samping SMA N 5 Jakarta. Mereka berdiri di dekat pagar
jembatan. Mia merasa sedikit takut mala mini. Sebenarnya bukan mala mini saja,
hamper setiap malam ia keatkuatn karena penghuni gaib di rumahnya.
“Gue takut. Ta.” kata Mia.
Tangannya merapatkan jaketnya.
“Takut nape?” tanya
Tribuana. Tangannya masih memegang ponselnya sejak dari pintu gerbang tadi.
“Haaah, sekolahan gelap
banget.” kata Mia dengan gaya bicara seperti anak kecil.
“Eh, lo piker lo doing.
Gue juga takut.” kata Tribuana.
Mereka lalu terdiam. Suara
musik terdengar kecil dari headset Tribuana yang menggantung di lehernya. Udara
semakin dingin. Rasa kantuk tak tertahankan menyerang. Sekarang pukul 10.25.
Mungkin jika di rumah, saat ini mereka sudah tidur.
Sebuah sepeda motor melaju
melewati kawasan Pasar Sumur Batu. Sepeda motor itu melaju cepat. Si pengemudi
memakai jaket kamuflae berarna hitam. Kepalanya ditutupi dengan penutup kepala
jaketnya. Sepeda motornya melaju sangat cepat seperti ia sedang terlambat
dengan suatu hal.
Mia mulai merasa lapar. Ia
mengangkat kepalanya yang dia tadahkan di atas tangnnya yang memegang pagar
jembatan.
“Ta, buka Mr. Potato lo
dong. Laper nih.” kata Mia sambil menunjuk-nunjuk tas selempang berwarna putih
kecil yang menggembung yang dipakai Tribuana.
“Sama, Met. Gue juga
laper.” sahut Tribuana. Tangannya lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah
tabung penjang.
Mia menyambar tabung yang
dipegang oleh Tribuana. “Sini ah, lama lo.”
“Wanjir, asal samber.
Untung nggak jatoh ke kali.” kata Tribuana sambil tangannya menutup tasnya.
Mia membuka penutup
palstik dan lapisan aluminium foil yang menutup tabung yang dipegangnya. Ia
merogohkan tangannya ke dalam tabung dan mengambil sebuah keripik yang
berbentuk bulat melengkung. Tribuana juga mengambil keripik itu. Mereka berdua
memakan keripik itu dengan asik ditemani delapnya malam, lampu jalanan yang
berwarna kuning, dan musik dari ponsel Tribuana yang masih mengalun melalui
headset berwarna merah muda.
Yossy hampir tertidur. Ia
mengangkat kepalanya dari lutunya. Matanya memandang ke depan. Ia mendengar
seseorang sedang menjerit dari kejauhan. Matanya mulai melirik kemana-mana, berusaha
mencari orang yang sedang menjerit. Ia mulai bingung. Lalu kepalanya menoleh
kea rah kanan.
Yossy melihat seorang
wanita yang terbaring di jalanan bersimbah darah. Di dekat tangannya ada
beberapa seroihan makanan yang berserakan di jalanan. Di dekat wanita yang
terbaring, ada seorang wanita berkemeja merah tua. Sepertinya dia teman dari
wanita yang terbaring. Wanita berkemeja merah tua itu meronta-ronta seperti
minta tolong. Ia tidak bisa bertriak. Mulutnya ditutup oleh tangan seseorang.
Yossy melihat tangan yang
menutupi mulut wanita berkemeja merah itu. Ia baru menyadari bahwa wanita itu
adalah teman sekelasnya. Yossy masih memperhatikan seseorang yang menutup mulut
temannya itu. Hanya terlihat telapak tangannya saja. Selebihnya ditutupi oleh jaket
hitamnya yang bermotif. Yossy sekarang melihat seseorang yang menutup mulut
temannya. Ternyata seorang laki-laki. Ia mengenalnya. Tangan yang satunya
sedang memegang dahi temannya.
Di jembatan, Mia dan
Tribuana mulai merasa bosan yang sangat. Keripik kentang yang mereka makan
sudah hampir habis, sehingga mereka harus merogohkan tangan lebih dalam untuk
mendapatkan keripiknya.
Fariz sibuk sendiri dengan
ponselnya. Ia sudah beberapa kali mengirim SMS ke teman-temannya dan menelepon
seseorang. Ponselnya kini sudah terasa panas karena sudah lama dioperasikan.
Di sebuah jalan, Aisyah,
Anita, Ajrin, Devi, Dian, dan Dea sedang berjalan bersama. Mereka bercanda di
sepanjang jalan untuk menghilangkan rasa dingin dan takut. Candaan dan tawaan
mereka mungkin bisa membangunkan orang-oarang yang sedang tidur.
“Ssst ssst, udeh lo. Ada
yang tidur nih.” kata Anita dengan suaranya yang agak melengking.
“Tau lo, Mok. Berisik.”
kata Dea sambil menyenggol bahu Devi.
“Apaan si? Lo tuh yang
berisik.” kata Devi sambil tertawa.
“Eh, udeh ah buruan. Udeh
malem nih. Entar kita nggak nyampe-nyempe.” kata Dian yang juga sambil tertawa.
Fani malangkah turun dari
kendaraan P10. Mungkin bis itu adalah bisa terakhir yang lewat. Ia berjalan
melewati papan reklame SMA N 5 Jakarta. Ia kini berjalan di depan SMA N 5
Jakarta. Ia berhenti di depan pintu gerbang. Ia melihat Fariz yang sedang
menelepon seseorang di tengah remang-remang dan Yossy yang sedang duduk sambil
menempelkan kepalanya ke lututnya yang dilipat.
“Mane yang laen?” tanya
Fani sambil tangannya memegang ponselnya.
“Belom pada datang. Mia
sama Tata lagi di jembatan.” kata Fariz.
Fani lalu duduk di sebelah
kanan Yossy. Ia kembali menyibukkan dirinya dengan ponselnya, ber-SMS ria
dengan seseorang di tempat lain.
Mia merogohkan tangannya
ke dalam tabung keripik. “Yah, abis nih, Ta.”
“Ya udeh. Ganti makanan.”
kata Tribuana.
“O iye, gue bawa kebab
yang tadi, Ta.” kata Mia sambil membuka tas selempang kecilnya.
“Ya ampun, udeh dingin
kali. Ape masih enak?”
“Tar dulu, gue cobain
dulu.” kata Mia, lalu mengeluarkan kebab dari kantung plastik bening yang
dipegangnya.
Mia mengigit sedikit kebab
di tangannya dan mengunyahnya. Ia merasa-rasa kebab yang sudah dingin itu di
atas lidahnya yang bergerak-gerak ke sana ke mari.
“Ih, masih enak ternyata.”
kata Mia sambil tersenyum dan mmengangguk. “Mau nggak?”
“Ya udeh. sini.” kata
Tribuana seraya tangannya menyambar kebab dari tangan Mia.
“Ahh, sialan lo, asal
samber.” protes Mia.
“Gantian. Tadi kan lo yang
nyamber makanan gua.” sahut Tribuana ambil mngunyah kebab yang masih utuh di
mulutnya.
“Oh, ceritanya bales
dendam ye.” kata Mia.
“Kayaknye si gitu.”
Mereka lalu memakan kebab
itu. Sudah sekitar lima lagu yang diputar di ponsel Tribuana. Lagu-lagu terus
berganti, tetapi pencarian belum dimulai. Entah apakah dibatalkan atau
orang-orangnya tidak pada datang.
“Lagunye enak nih.” kata
Mia.
“Aduh-aduh nggak tahan.”
kata Tribuana sambil menggerakkan kepala dan tangannya.
Mereka berdua lalu
menggerakkan tangan dan kepala mereka. Gaya mereka sekarang sudah seperti di
dalam sebuah klub malam dengan ruangan yang penuh sinar lampu berwarna-warni
dan musik yang volumenya di atur ke paling keras. Untungnya malam itu para
warga sekitar sudah tertidur, jadi mereka tidak perlu merasa malu karena
gerakan mereka yang sudah seperti orang gila.
Mia: Lo kok belom dateng sih?
Misbah: Gue nggak ikut. Ngantuk.
Mia: Ih, dasar lo
Misbah: Gue nunggu kabar terakhir aja
Mia: Okeh. Gue kabarin lagi entar
Di sela-sela kegilaan
mereka, Mia masih sempat berkirim SMS dengan Misbah.
Yossy melihat teman
sekelasnya dari kejauhan bersama seseorang berjaket hitam di belakangnya. Ia
melihat seorang laki-laki yang memegangi teman sekelasnya dari belakang,
tangannya putih, dan beberapa uratnya terlihat menonjol.
Laki-laki itu menarik
tangannya ke belakang, dan teman sekelas Yossy langsung ambruk di jalan
bersinar lampu jalanan. Laki-laki itu kemudian berjalan ke arah Yossy. Wajahnya
mulai terlihat jelas. Ia semakin dekat. Yossy benar-benar mengenali wajah itu.
Laki-laki itu teman sekelasnya.
Di jembatan, Mia dan
Tribuana masih berjoget-joget layaknya sedang berada di diskotik dengan lampu
berkedap-kedip.
“Udeh ah, ta. Capek.” kata
Mia.
“He eh. Sama.” sahut
Tribuana.
Mereka lalu berhenti
menari. Suasana kembali sunyi. Mia menggigit kebab yang dipegang Tribuana yang
hanya tinggal sedikit.
“Met, masih inget nggak
kejadian kemaren kita di parkiran?” tanya Mia tiba-tiba.
“Iye lah. Emang kenape?”
Tribuana balik bertanya.
“Gue pernah cerita ke lo ‘kan
kalo dia punya tanda di tangan kirinya?”
“Iye.”
“Lo liat nggak tangan kiri
Misbah diplester tadi pagi?”
“Iye.”
“Gue curiga yang nyerang
kita di parkiran itu Misbah, Ta.”
“Hah?!” kata Tribuana.
Mulutnya menganga tidak percaya. “Nggak mungin lah, Met.”
“Mungkin aja dong. Lagian
kenape coba tangannya ditutupin plester?” tanya Mia sambil tangannya ikut
bergerak seperti orang Itali yang sedang berbicara.
“Kan dia bilang ke lo,
tangannya luka.”
“Kali aja itu Cuma alibi.”
“Bisa juga sih.” kata
Tribuana membenarkan perkataan Mia, “Tapi se-saikonya dia, dia nggak mungkin
ngelakuin hal itu ke kita.”
“Ya ampun , Ta. Dia itu
udajh kayak psikopat. Lo piker deh, dia kan pinter banget bikin cerita. Bukan
nggak mungkin kan semua yang dia certain ke kita itu boong? Mungkin aja dia
bikin cerita baru yang bikin kita yakin untuk nutupin semuanya. Mungkin aja
kasus Aji ilang juga bagian dari rencana dia. Lo tau kan tes IQ kemaren,
hasilnya IQ dia lumayang tinggi? Ya, tinggian gue sih. Coba deh lo pikir lagi,
psikopat itu punya IQ yang tinggi. Dia pasti punya rencana di balik ini semua.
Mungkin sekarang dia nggak dateng juga karena mau nutupin semuanya. Bener’kan
gue?”
Tribuana terdiam. Ia
bingung harus berkata apa lagi. Tapi akhirnya ia mulai membuka mulutnya. “Kayaknya
yang psikopat elo deh, Met?”
“Lah, kok?”
“Longgak sadar? Semua yang
lo bilang tadi itu gila. Gue aja sama sekali nggak kepikiran kalo Misbah
ngelakiun apa yang tadi lo bilang. IQ lo juga lebih tinggi dari Misbah, Met.”
“Terus, elo nuduh gue yang
ngelakuin ini semua, gitu?”
“Setelah gue pikir-pikir
lagi, lo nggak mungkin ngelakuin semua ini. Orang kayak lo nggak mungkin
berani. Lo keluar malem aje nggak berani.” kata Tribuana, lalu tertawa kecil.
“Wuanjir. Lo juga, Met.”
kata Mia.
Mereka lalu tertawa
bersama.
Di belakang mereka berdua,
beberapa wanita berjalan bersama sambil tertawa dengan suara keras.
Mia dan Tribuana
menoleh ke arah belakang. Mereka melihat beberapa wanita yang sedang tertawa
terbahak-bahak. Anita, Ajrin, Devi, Aisyah, Dea, dan Dian, atau lebih tepatnya
Matahari.
“Heh, berisik!” protes Tribuana.
Wajahnya dipasang jutek.
“Siape tuh? Songong banget.” kata
Dian dengan nada sinis.
“Tata bego.” jawab Anita sambil
mendorong Dian. “Yang laen mane, Ta?”
“Tuh di sono.” jawab Tribuana sambil
tangannya menunjuk ke arah sekolah SMA N 5 Jakarta yang semakin gelap.
“Udeh pada dateng belom?”
“Nggak tau. Dari tadi gue di sini
sama Mia.”
“Ya udeh. Kita ke sono duluan.”
“Ya udeh.”
Matahari lalu melanjutkan perjalanan
ke SMA N 5 Jakarta. Mia dan Tribuana masih asik dengan kebab dan musik mereka.
Sedang asiknya Mia mendengarkan
musik lewat headset, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia langsung mengambil
ponselnya dari tasnya. Seseorang menghubunginya. Tidak ada nomor yang
ditunjukkan oleh layar, dengan kata lain si penelepon menyembunyikan nomor
teleponnya. Mia melepaskan headset dan menekan tombol ‘jawab’ di ponselnya. Ia
mulai menempelkan speaker ponselnya ke telinganya.
“Halo..” Mia berbicara dengan nada
datar.
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara
yang terdengar. Sepi.
“Halo..” Mia mengulangi lagi
kata-katanya.
Kali ini ada yang menjawab. “Halo,
Mia. Siap untuk permainan?”
“Ini siapa? Kok tau nomor gue?”
“Siapa gue, di mana gue, dan kenapa
gue tau nomor lo itu nggak penting. Lo belom jawab pertanyaan gue.” kata
seseorang di telepon. Suaranya sangat berat. “Lo siap untuk permainan?”
“Permainan apaan?” tanya Mia.
Suaranya mulai terdengar ketakutan.
“Siape sih, Met?” tanya Tribuana
yang mulai kesal mendengar perbincangan Mia dengan seseorang yang meneleponnya.
“Sssstt…..” kata Mia sambil tangan
sebelahnya menutupi mulut Trubuana.
“Permainan rancangan gue. Lo akan
jadi pemain di sini. Tapi, ada beberapa peraturan di dalam permainan gue.”
seseorang di telepon itu menjawab.
“Peraturan?” kata Mia
bertanya-tanya.
“Ya, peraturan. Semua permainan
pasti ada peraturannya.”
“Apa peraturannya?”
“Ada beberapa peraturan yang harus
lo tau. Diantaranya, permainan ini beda sama permainan yang biasa lo mainin di
HP lo. Kalo di HP lo, lo punya nyawa yang bisa lo dapet di mana aja. Tapi di
permainan gue, lo hanya punya satu nyawa. Permainan ini ada tiga
grup. Masing-masing grup ada 5 orang. Setiap grup punya tugasnya
masing-masing. Lo harus ngelawan grup laen dengan cara lo sendiri. Sama kayak
permainan lain, setiap pemain nggak boleh melakukan kecurangan dalam bentuk
apapun. Ini permainan nyawa, Mia. Ada saatnya lo harus ngebunuh, atau lo
akan dibunuh. Setiap kecurangan, sanksinya bakal beda-beda.”
“Maksunya apaan? Permainannya kayak
gimana?”
“Lo bakal tau, Mia. Ada 5 syarat
yang harus lo tepatin. Gue akan kasih syarat itu satu per satu selama
permainan. Syarat pertama dalam permainan gue, permainan boleh dimulai saat
angka 5 atau kelipatannya muncul. Syarat itu udah lo tepatin dengan dateng jam 10
tepat dan tanggal 10. Satu lagi Mia, kalo ada syarat yang nggak terlaksana, lo
akan terima akibatnya.”
Telepon langsung diputus oleh si
penelepon.
“Halo, halo. Sialan dimatiin.”
“Siape sih, Met?” Tribuana kembali
mengulangi pertanyaanya.
“Nggak tau. Dia ngasih syarat sama
peraturan buat permainannya. Tapi gue nggak tau permainan apaan.” kata Mia
menjelaskan.
“Permainan?” kata Tribuana
bertanya-tanya. Wajahnya seperti sedang berpikir. Tiba-tiba ia bicara lagi.
“Jangan-jangan….”
Mia yang juga sedang berpikir
langsung menatap wajah Tribuana. “Ilangnya Suniaji itu permainannya.” sela Mia
memotong kata-kata Tribuana. “Jangan-jangan semua kejadian dari hari Jum’at
kemaren itu permainannya, dan kita ini pemainnya. Ya ampun, kita musti kasih
tau yang laen.”
Mia dan Tribuana langsung berlari ke
arah kerumunan orang-orang di depan pintu gerbag SMA N 5 Jakarta.
Di depan gerbang, Yossy masih
melihat seorang laki-laki yang berlari dari arah jembatan. Ia benar-benar
mengenali laki-laki itu. Laki-laki itu teman sekelasnya. Tapi kenapa dia tega
membunuh temannya sendiri? Laki-laki itu mulai mendekat, dan Yossy mulai merasa
takut.
Yossy mendengar seseorang yang
memanggil-manggil namanya. Ia mendengar suara itu. Suara seorang wanita yang
agak melengking. Ia kembali mendengar suara itu. Ia merasa bingung dan takut.
Akhirnya ia memejamkan matanya. Ia merasakan ada yang mendorong tubuhnya dari
arah depan.
Yossy langsung membuka mata. Ia
melihat wajah Anita di depan matanya. Ia bingung. Nafasnya tidak teratur.
Dahinya basah berkeringat seperti orang yang habis lari marathon. Ia langsung
bangun dari duduknya.
“Heh, bangun. Kita mo masuk ke
sekolahan nih.” kata Anita dengan nada agak tinggi.
“Masuknye gimane, Riz?” tanya Dian
sambil melihat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta yang lumayan tinggi.
“Pada pake celana ‘kan? Manjat aje.”
kata Fariz santai.
“Ah, gila lo. Tinggi banget
pagernye!” protes Aisyah.
“Lo punya ide ngaak buat masuk?”
tanya Fariz.
Aisyah diam. Ia bingung harus
berkata apa.
Semua diam. Tidak ada yang bericara.
Suasana semkain gelap dan sunyi dengan diamnya mereka.
“Ya udah, kita manjat.” kata Fariz,
kemudian mulai memanjat pintu gerbang SMA N 5 Jakarta dan melompat ke dalam
sekolah.
Yang lainnya mengikuti Fariz
memanjat pintu. Untung saja mereka semua memakai sepatu, jadi peluang untuk
tergelincir sangat kecil.
Mia tiba-tiba datang sambil berlari,
disusul Tribuana di belakanganya. “Eh eh, huh, gawat banget, gawat banget.”
kata Mia sambil terengah-engah.
“Kenape?” tanya Fariz dari balik
pintu gerbang sekolah. Wajahnya sulit terlihat karena gelap.
“Gawat banget nih….” kata Mia.
“Ya udeh lo masuk dulu, entar
ceritanye di dalem aje.”
Mereka se,ua lalu memanjat pintu
gerbang sekolah dn akhirnya berada di dalam lingkungan sekolah.
Sekolah terlihat menyeramkan. Gelap,
sepi, dan besar. Mungkin para penghuninya sedang bermain-main di lorong-lorong
yang gelap. Lampu toilet wanita di lantai dua, tepatnya di samping ruang Mulok
menyala, begitupun di samping runag PKn. Suasana semakin seram dengan
suara-suara binatang malam yang saling bersahutan.
Fariz membuka tas punggungnya dan
mengeluarkan senter. Ia menekan sakelar di senternya, dan sinar terang berwarna
putih menyorot ke luar. Fariz menyorot Mia dengan senternya.
“Ke pos dulu, taro tas.” kata Fariz.
Semuanya langsung menuju pos yang
letaknya hanya sekitar 7 meter dan berhadapan dengan pintu gerbang.
Anita membuka tasnya dan merogohkan
tangannya, berusaha mencari senter di tengah kegelapan. Akhirnya ia
menemukannya. Ia menyalahkan senternya, sinarnya berwarna agak keunguan, namun
cukup terang untuk menyinari sekolah yang sangat gelap.
Mia duduk di lantai pos. Ia masih
memegang ponselnya sejak tadi.
“Tadi kenape?” tanya Fariz.
“Tadi ada yang nelpon gue. Private
number. Dia ngomong ga jelas.”
“Terus?”
“Dia bilang soal permainan. Tapi gue
nggak tau permainan apaan. Katanya permainan nyawa. Dia juga bilang kalo
perminannya itu rancangan dia. Dia juga ngasi tau peraturan-praturan di
permainan itu. Pokoknya gue nggak tau apa yang dia omongin.” jelas Mia.
“Terus gawatnya?”
“Gue takut dia itu orang di balik
ini semua. Bukan nggak mungkin kan kalo orang yang tadi nelpon gue itu ternyata
orang yang nyembunyiin Aji dan dia tau kita lagi mau nyari Aji di sini?”
“Cowok?” tanya Friz. Wajahnya
penasaran.
“Iya. Suaranya kaya o mom.”
Fariz terdiam. Ia bingung.
Anita mendengar suara dari arah
pintu gerbang. Ia langsung menoleh ke arah pintu dan menyorot senternya. Ia
melihat ada riga orang di luar pintu. Itu Shofura, Nurul, dan Zahra. “Manjat
aje.” teriak Anita dari pos.
“Ya udah. Kita tunggu aja dulu satu
orang lagi, baru kita nyari Aji. Soal orang yang tadi neror cuekin aja. Tujuan
kita ke sini kan buat nyari Aji.” kata Fariz.
Mereka yang di sana setuju. Mereka
menunggu satu orang lagi datang, tapi tidak ada yang datang.
25 menit berlalu. Tidak ada yang
datang. Mereka mulai merasa bosan. Anita dan Dian sejak tadi memainkan sinar
senter yang mereka bawa. Aisyah menopang kepalanya dengan tangan kanannya
sambil menahan kantuk. Mia dan Tribuana duduk di lantai tanpa ada sesuatu yang
dikerjakan.
Anita menengar sesuatu. Seperti ada
yang bergetar.
“Eh, hp siape tu?” tanya Anita.
“Hp gue.” jawab Mia, lalu mengambil
ponselnya yang diletakkan di meja pos.
Mia melihat layar ponsel. Seseorang
sedang menghubunginya. Lagi-lagi privat number. Mungkin orang yang tadi member
terror.
“Halo?” Mia menjawab telepon itu.
“Halo, Mia.” jawab seseorang di
telepon.
Mia lalu mencolek Fariz seraya
bibirnya mengatakan ‘Yang tadi nelpon.’
“Permainan dimulai. Ada satu hal
yang harus lo inget di sini, Mia. Jangan pernah percaya sama temen lo sendiri.”
kata seseorang di telepon dengan suara yang berat.
Telepon lalu terputus. Mia bisa
mendengar suara bip saat teleponnya diputus oleh orang misterius itu.
Mia terdiam tidak berkata-kata.
0 comments:
Posting Komentar