MISTLETOE
By: Muhammad Misbahuddin
Henry Pratama, seorang simbolis muda yang masih
berjuang di dunia pendidikan. Ia tidak pernah lelah untuk terus menuntut ilmu.
Ia juga dipekerjakan oleh salah satu badan intelijen rahasia di Indonesia untuk
menyelidiki beberapa kasus kriminal yang mengandung unsur kode atau simbol-simbol
tertentu.
Pagi ini ia sedang berada di sebuah rumah sakit. Ia
sedang duduk di sebuah kamar pasien. Ia bersama seseorang yang sedang terbaring
sakit. Seseorang yang ia cintai setelah ibunya sendiri yang sudah sebulan lalu
meninggal dunia. Katie, kekasihnya yang menderita kanker darah itu kini
terbaring di rumah sakit. Keadaan Katie yang buruk membuat Henry rela pulang ke
Indonesia dan meninggalkan studinya di Australia.
Henry duduk di samping tempat tidur pasien yang di
atasnya terbaring Katie sambil kedua tangannya menggenggam sebelah tangan
Katie. Tiba-tiba ia terkejut oleh dering ponselnya sendiri.
Henry mengambil ponselnya dari saku celananya. Layar
ponselnya berkedip dan menunjukkan nama Mr. Cornel.
“Halo.” kata Henry menjawab telepon dari Mr. Cornel.
“Good Morning.” sapa Mr. Cornel dari telepon.
“Good Morning, Mister.”
“Kamu sekarang ada di mana?” tanya Mr. Cornel dengan
aksen Indonesia yang buruk.
“Saya sedang berada di rumah sakit, Mister. Ada apa?
Apa ada kasus lagi?”
“Ya. Di Semanggi ada sebuah kasus pembunuhan.
Sebaiknya kamu cepat meluncur ke lapangan.” jelas Mr. Cornel.
“Baik. Saya segera meluncur.” Henry kemudian memutus
sambungan teleponnya.
Mr. Cornel adalah presiden di badan intelijen rahasia
tempat Henry bekerja. Dengan kata lain, Mr. Cornel adalah bos Henry.
Henry segera meluncur ke lokasi kejadian yang
diinformasikan Mr. Cornel. Ia mengemudikan mobil dengan cepat, dan dalam
hitungan menit ia sudah sampai di tempat kejadian perkara.
Di sebuah parkiran restoran di daerah Semanggi,
tergeletak mayat seorang lelaki lengkap dengan pakaian yang masih menempel di
tubuhnya. Beberapa polisi dan petugas keamanan terlihat sedang berada di
sekitar mayat, polisi yang lainnya berdiri di samping mobil patroli sambil
memegang walkie-talkie yang langsung
tersambung ke kantor pusat kepolisian.
Henry menembus kerumunan masyarakat yang mengerubungi
di sekitar mayat. Ia melihat keadaan mayat yang begitu mengenaskan. Terdapat
luka tembak di bagian dada korban.
“Henry. Kami sudah menungu kedatanganmu.” kata Pak
Denis yang tiba-tiba saja datang.
“Bagaimana kejadiannya, Pak?” tanya Henry sambil terus
melihat mayat yang tergeletak di atas aspal parkiran.
“Menurut saksi mata di sini, ia ditembak oleh
seseorang berjaket hitam dan bercelana hitam. Kami belum bisa memastikan siapa
pelaku pembunuhan ini, tapi mungkin kau bisa membantu kami dengan
mengidentifikasi luka goresan di tangan korban.” jelas Pak Denis.
“Sebelum saya memeriksa luka goresannya, saya ingin
bertanya kepada Bapak. Bagaiman bisa korban mati dengan bentuk yang tidak biasa
seperti ini, Pak?”
“Kami belum bisa mengidentifikasikannya mengingat
kejadian ini terjadi baru beberapa menit yang lalu.”
“Baiklah.” kata Henry sambil menghembuskan nafas.
Henry lalu berjalan menuju bagian tangan korban. Ia
melihat tangan kiri dan kanan korban yang saling bersinggungan. Ibu jari dan
telunjuknya saling ditempelkan ke jari yang sama di tangan sebelahnya sehingga
membentuk segitiga di atas kepalanya. Di tengah segitiga yang dibuat oleh jari
korban terdapat cincin yang terbuat dari emas yang dilumuri dengan bercak
darah.
Henry melihat ada sebuah peniti berukuran agak besar
di dekat telapak tangan kiri korban. Jarum peniti itu berlumuran darah di
bagian ujungnya. Henry penasaran dengan peniti yang berdarah itu. Ia
memperhatikan peniti itu yang letaknya dekat dengan telapak tangan korban.
Henry menyentuh sedikit telapak tangan kiri korban, dan ia melihat seperti
goresan.
Ia pun akhirnya mengangkat sedikit telapak tangan kiri
korban. Di punggung tangan kiri korban terdapat luka gores yang membentuk huruf
‘V’ dan tanda tanya yang aneh.
“Pak Denis, apa aku boleh meminta selembar kertas dan
meminjam sebuah bolpoin?” pinta Henry kepada Pak Denis yang saat itu sedang
berkomunikasi melalui walkie-talkie.
Pak Denis lalu mengelurkan buku berukuran kecil dan
sebuah bolpoin dari saku jaketnya. “Ini.”
“Terima kasih.”
Henry lalu menggoreskan sesuatu di sebuah halaman di
buku milik Pak Denis. Ia serius dengan apa yang ia lakukan sekarang. Henry lalu
merobek halaman yang tadi ia gunakan.
“Ini, Pak. Terima kasih. Saya hanya butuh selembar.”
kata Henry sambil menyerahkan buku dan bolpoin ke Pak Denis, sementara tangan
sebelahnya menunjukkan kertas yang tadi disobeknya sudah terlipat dengan rapih.
“Sama-sama.” kata Pak Denis sambil memasukkan buku dan
bolpoinnya ke dalam saku jaketnya. “Jadi bagaimana menurutmu?”
“Saya belum bisa mengatakan apa maksud dari luka gores
yang ada di tangan korban, Pak. Tapi secepatnya akan saya informasikan ke
Bapak.” kata Henry sambil memasukkan kertas di tangannya yang dilipat rapih.
“Ya, saya harap begitu.”
“Baik, Pak. Saya permisi.”
“Ya.”
Henry lalu meninggalkan TKP. Sambil berjalan menuju
tempat mobilnya diparkir, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa
tombol, lalu menempelkan ponselnya di telinga sebelah kanannya.
“Dian..?” kata Henry setelah orang yang dihubunginya
mengangkat telepon.
“Ya?” jawab Dian dari telepon.
“Bisa kau temui aku di rumah sakit tempat Katie
dirawat? Ada yang ingin aku diskusikan bersamamu?”
“Sesuatu yang penting?”
“Ya. Sangat penting.” jawab Henry dengan sedikit
penekanan.
Henry langsung menutup teleponnya dan masuk ke dalam
mobil. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan langsung meluncur ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Henry langsung membuka
kertas yang tadi dilipatnya denga rapih. Ia meletakkan kertas itu di meja. Ada
beberapa goresan tinta bolpoin di kertas itu. Ia menggambar sebuah segitiga dengan
lingkaran di tengahnya. Ia memberi garis keterangan dengan tulisan “CINCIN
EMAS”. Di bawah gambar segitiga itu terdapat sebuah goresan lain. Sebuah hutuf ‘V’
dan tanda tanya tanpa titik yang berbentuk garis zigzag di bagian bawahnya.
Henry berpikir serius sambil terus memandangi simbol
yang ia buatnya sendiri di kertas selembar. Ia menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi yang ia duduki. Ia memandangi langit-langit rumah sakit sambil
memikirkan simbol aneh yang ia temukan di tubuh sebuah mayat.
“Simbol yang sangat aneh.” gumam Henry.
Tiba-tiba timbul pertanyaan lain yang membuatnya
langsung menegakkan tubuhnya. Pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan saat di
tempat kejadian perkara tadi.
“Astaga. Mengapa aku tidak menyanyakan hal itu pada
Pak Denis?” tanya Henry kepada dirinya sendiri. “Bagaimana bisa aku melupakan
hal sepenting itu?”
Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah samping.
“Hal penting apa?”
Henry langsung menoleh ke arah kiri. “Katie?”
“Hal penting apa?” Katie kembali bertanya sambil ia
berusaha untuk duduk di tempat tidurnya.
“Seperti biasa. Badan intelijen.” jelas Henry.
Katie sudah mengetahui jika kekasihnya itu
dipekerjakan oleh badan intelijen rahasia yang ada di Indonesia. Henry pernah
menceritakannya saat Katie menanyakan kepada Henry mengapa ia sering pergi
dengan terburu-buru setelah menerima telepon. Henry mengatakan kepada Katie
untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun.
“Apa lagi kali ini?”
“Sebuah pembunuhan di depan sebuah restoran.
Kejadiannya baru tadi pagi.” jelas Henry. Ia diam sejenak. “Maaf aku
meninggalkanmu saat kau tertidur. Mr. Cornel tiba-tiba saja menghubungiku.”
“Aku baik-baik saja.” kata Katie sambil tersenyum
kecil. “Lalu, hal penting apa yang kau lupakan?”
“Aku tidak menanyakan siapa korban yang dibunuh.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan mnimbulkan suara
yang agak berisik. Henry dan Katie langsung menoleh. Di ambang pintu sudah
berdiri seorang wanita bertubuh tinggi dan bekerudung.
“Maaf aku mengagetkan kalian.” kata Dian sambil
tersenyum.
Dian lalu melangkah masuk dan menutup pintu. Ia
mendekati Katie dan Henry. Karakternya sangat khas ketika ia berpakaian, Ia
selalu memakai sepatu sneakers dan
celana jeans panjang. Sementara
atasannya selalu dibalut dengan jaket abu-abu.
Dian dan Henry sudah sangat dekat sejak mereka duduk
di bangku kuliah saat Henry belum pindah sekolah ke Australia. Mereka sudah seperti saudara walaupun mereka
berbeda agama.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Dian kepada Katie.
“Masih hidup.” jawab Katie singkat.
Mereka bertiga lalu tertawa bersama.
“Hei, apa yang bisa aku bantu?”
“Kau tau simbol ini?” tanya Henry sambil menyerahkan
kertas yang sejak tadi dipandanginya.
Dian menyambut kertas yang digenggam Henry. Ia
memperhatikan dengan serius. Tangan kirinya memegang bibirnya seperti seorang
detektif yang sedang berusaha memecahkan sebuah kasus yang rumit.
“Simbolnya sulit dibaca. Tapi simbol ini seperi simbol
Relikui Kematian yang ada di film Harry Potter. Hanya saja tidak ada garis yang
membagi segitiganya.” kata Dian.
“Tadinya aku pikir juga begitu.” kata Henry sambil
menyambar kertas yang ada di tangan Dian.
Suasana hening selama beberapa detik. Mereka berdua
saling berpikir tentang simbol yang mereka lihat. Jika diperhatikan, simbolnya
memang mirip dengan Relikui Kematian, hanya saja tidak ada garis yang membagi
dua segitiga itu, dan cincin di tengah segitiga berukuran kecil, sehingga tidak
menyinggung ketiga sisi segitiga.
Katie sedikit mencerna kata-kata yang diucapkan Henry
dan Dian. Ia mendengar mereka menyebutkan soal segitiga. Ia lalu mulai
berbicara di tengah keheningan yang sesaat itu.
“Apakah kalian tadi membicarakan tentang segitiga?”
tanya Katie tiba-tiba.
“Ya.” jawab Dian singkat.
“Bukankah di dalam pelajaran Matematika dan Fisika
simbol segitiga dibaca dengan sebutan Delta?”
“Delta?” gumam Dian bertanya-tanya sendiri.
“Aku benar ‘kan?” tanya Katie kepada Henry dan Dian.
“Delta.” gumam Henry sambil mengangguk perlahan. “Tapi
apa maksud cincin emas di tengah segitiga?”
Mereka kembali hening. Beberapa detik berlalu, tetapi
belum ada yang berbicara. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dian
berdiri menopang tubuhnya di kasur sambil tangannya dilipat di depan dadanya.
Katie terduduk di atas kasur sambil melihat simbol yang dibuat Henry di atas
selembar kertas
Dian mengulang kata-kata yang diucapkan Katie. Ia
terus mengulang kata ‘Delta’ di pikirannya. Sebuah segitiga dan cincin emas di
tengahnya. Delta dan cincin emas.
“Aku tau.” kata Dian tiba-tiba dengan suara yang
sedikit tinggi.
“Astaga, Dian. Bisakah kau tidak begitu tiba-tiba?”
protes Henry.
“Maaf.” kata Dian sambil tersenyum. “Simbol itu,
bukankah itu nama sebuah perumahan di daerah Cikarang?”
“Perumahan?”
“Ya. Apa kau pernah mendengar perumahan Delta Mas?”
Henry berfikir sejenak. Katie memandangi Dian yang
bisa berfikir sampai ke nama sebuah tempat. Dian terlihat seperti sedang
menunggu jawaban.
“Yesus.” kata Henry dengan suara agak tinggi.
“Kau mengagetkanku.” kata Katie.
“Maaf.” kata Henry sambil tersenyum kecil. “Apa kau
membawa notebook?”
“Ya.” jawan Dian singkat
“Aku pinjam.”
Dian langsung mengeluarkan notebooknya dari dalam tas selempangnya. Sebuah benda berbentuk persegi
panjang berwarna hitam langsung diletakkannya di atas meja.
Henry lalu membuka notebook
itu dan mengaktifkannya. Sinar biru menyala di dekat tombol daya. Layar mulai
menunjukkan tampilan Log On. Henry
memilih sebuah user yang bernama Dian
Chaerani. Tanpa menggunakan kata kunci, dan user
itu lalu terbuka. Henry membuka menu Network
Connections.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Dian.
“Google Maps.” jawab Henry singkat dengan nada datar.
“Aku tidak membawa modem.”
“Kamar ini bagian dari hot spot.”
Henry masih serius dengan notebook yang ada di depan wajahnya. Beberapa kali ia melakukan
‘klik’ di sana-sini, akhirnya notebook
itu pun tersambung ke internet melalui layanan internet tanpa kabel.
Henry membuka aplikasi internet Safari, dan menulis di
kotak alamat. http://www.google.com/. Situs langsung terbuka dalam hitungan detik. Ia
memilih menu bertuliskan ‘Maps’. Lalu
sebuah peta digital muncul di layar. Ia menuliskan kata ‘Cikarang’ di kolom
pencarian. Peta lalu bergeser ke wilayah Cikarang. Gambar lalu diubah ke
tampilan satelit. Jalan-jalan dan rumah-rumah langsung terlihat jelas di layar.
Henry menggeser peta ke arah bawah dengan perlahan.
Daerah perumahan Delta Mas mulai terlihat di peta. Henry terus menggeser peta
ke arah bawah. Peta di layar menunjukkan sebuah daerah yang agak sepi dari
bangunan. Hanya terlihat sebuah jalan bebas hambatan yang seperti garis putih
di layar. Henry masih menelusuri peta.
Jalan mulai menikung dan bercabang menjadi tiga.
Ketiga cabang itu kemudian menikung dan membentuk cabang lagi di tikungannya.
Jalan-jalan itu kemudian memusat di sebuah titik yang berada di tengah-tengah.
Dian melotot melihat apa yang ia lihat di layar. Ia
tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Pola jalan yang berbentuk seperti
sebuah bangunan di Amerika yang pernah dihancurkan pada tanggal 11 September
2001.
“Apa?” gumam Dian.
“Aku pernah diberi tau oleh temanku. Sebuah konspirasi
dunia yang ternyata juga ada di Indonesia.” kata Henry.
“Apa itu Pentagon?” tanya Katie.
“Bukan. Itu hanyalah jalan-jalan yang berbentuk
pentagon. Entah kenapa jalan-jalan itu dibangun membentuk seperti itu.” jelas
Henry.
Mereka bertiga memandangi layar notebook yang menampilkan gambar peta di daerah Perumahan Delta
Mas. Peta itu menunjukkan sebuah jalan di daerah Cikarang yang membentuk segi
lima sama sisi. Bentuknya mirip dengan dengan bangunan Pentagon yang berada di
Amerika.
“Bangunan Pentagon di Amerika pernah dihancurkan. Pada
tanggal 11 September 2001. Bersamaan dengan waktu penghancuran gedung WTC yang
ditabrak oleh pesawat. Konspirasi mengatakan bahwa tragedi 11 September sudah
direncanakan sebelum kedua bangunan itu dibangun. Kalian bisa melihatnya di
uang 5 Dollar Amerika, 10 Dollar Amerika, 20 Dollar Amerika, 50 Dollar Amerika,
dan 100 Dollar Amerika.” jelas Henry.
“Sepertinya kau sering membaca buku sejarah ya.” kata
Dian sambil melihat kagum ke arah Henry.
“Mungkin lebih tepatnya Novel Sejarah. Karena novel
selalu mengungkapkan sejarah lebih lengkap dari pada yang kita ketahui. Bahkan
novel sejarah lebih terbuka dalam mengungkapkan sejarah dari pada buku
Pelajaran Sejarah yang kita pelajari sewaktu sekolah.” jawab Henry.
Pernyataan Henry memang bisa dibenarkan tentang novel
sejarah. Karena pada faktanya sebuah novel lebih lugas dalam menceritakan
sejarah. Bahkan novel juga menceritakan sejarah yang selama ini ditutup-tutupi
di buku Pelajaran Sejarah.
Suasana hening selama beberapa detik. Mereka bertiga
masih memandangi layar notebook yang
diletakkan di meja.
“Tunggu-tunggu. Aku masih tidak mengetahui apa maksud
dari huruf ‘V’ dan tanda tanya yang berbentuk aneh ini.” kata Katie memecahkan
keheningan yang berlangsung beberapa saat.
“Itu bukan sekedar huruf ‘V’, tapi itu juga sebuah
angka. Dalam angka Romawi, angka lima dituliskan dengan huruf ‘V’.” jelas
Henry. “Kau bisa melihatnya pada menara jam di Gedung Parlemen yang terdapat di
Inggris.”
“Lalu apa hubungannya dengan jalan tol itu?” tanya
Katie sambil jarinya menyinggung peta yang ditampilkan di layar notebook.
“Penta dalam bahasa Latin berarti lima. Kau bisa lihat
di layar. Ada sebuah bangunan dengan bentuk segi lima.” jelas Dian. Dian sama
pintarnya dengan Henry. Mereka berdua selalu bersaing nilai di kampusnya saat
Henry masih kuliah di Jakarta.
“Lalu bagaiman dengan tanda tanya yang aneh ini?”
Dian mengangkat bahunya. Disusul dengan Henry yang
juga ikut mengangkat bahunya. Simbolnya memang sulit sekali dibaca. Selain
bentuknya yang aneh, mungkin Henry salah membuat bentuk simbol itu.
Tiba-tiba terdengar musik dengan irama yang indah.
Musik pembuka dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Amerika
bernama Justin Bieber yang berjuldul Mistletoe.
Dian langsung merogoh saku celananya. “Maaf. Aku harus
mengangkat telepon dulu.” Dian lalu berjalan ke luar kamar.
Pintu tertutup. Kini tinggal Henry dan Katie yang
berada di dalam kamar rawat inap.
“Mistletoe.” gumam Katie.
“Ya?” Henry lalu menoleh ke arah Katie.
“Mistletoe. Aku selalu ingin melihat mistletoe. Namun
tidak mungkin kita menemukannya di Indonesia.” jelas Katie.
“Kau yakin ingin melihat mistletoe?”
“Ya.”
“Aku akan membawa dirimu ke tempat mistletoe berada.
Kau akan melihatnya saat natal nanti.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang perawat
berpakain rapih memasuki ruangan sambil membawakan sepiring makan siang,
segelas air mineral, dan obat yang harus diminum Katie. Semuanya tertata rapih
di atas senbuah nampan.
“Selamat siang.” sapa perawat wanita berwajah bersih
itu.
“Selamat siang.” balas Henry.
Katie hanya tersenyum.
“Sudah saatnya makan siang, Nona Katie. Setelah makan,
jangan lupa diminum obatnya.” kata perawat itu. Di seragamnya yang serba putih,
terdapat nametag yang menempel di
bagian dada sebelah kanan. Di sana tertulis Lisa S.
“Terima kasih, Suster Lisa.” kata Henry.
“Sama-sama, Tuan...”
“Henry.”
“Tuan Henry. Saya tinggal dahulu, saya ingin kembali
bekerja.” kata Suster Lisa.
Suster Lisa lalu keluar kamar dan menutup kembali
pintu kamar.
Katie mengambil makanannya yang diletakkan di atas
meja. Ia menyendok makanannya dan mulai melahapnya. Kemudian ia mengambil air
di dalam gelas dan meneguknya.
“Suster yang ramah.” gumam Henry.
“Ya.” balas Katie.
“Silas.”
“Apa?”
“Tidak. Nama suster tadi, tertulis Lisa S. Seperti
sebuah anagram yang membentuk kata Silas.” kata Henry. “Kau tau nama tokoh
dalam novel karya Dan Brown yang organisasi kaltolik Opus Dei?”
“Si albino itu? Yang membunuh pemimpin Biarawan Sion
bernama Jacques Sauniere?” tanya Katie. Ternya dia masih hafal nama-nama tokoh
di dalam novel itu.
“Ya. Ternyata kau masih hafal benar nama-nama tokoh
dalam cerita The Da Vinci Code.” kata Henry. “Biar aku yang menyuapi.”
Henry lalu mengambil piring dari tangan Katie dan
mulai menyuapi Katie perlahan-lahan. Katie melahap makanannya dengan nikmat.
“Aku tidak tau kalau kau menyukai cerita Dan Brown.”
kata Henry.
“Tentu saja aku suka. Bukankah kau yang memberikan
buku itu kepadaku di hari ulang tahunku?” kata Katie sambil mengunyah
makanannya.
“Ya aku ingat. Aku pikir kau tidak akan menyukainya.”
“Yah, walaupun ceritanya bertentangan dengan ajaran
yang berada dalam Alkitab, aku menyukai jalan ceritanya yang begitu misterius.”
“Baguslah kalau begitu. Berarti aku tidak salah
memberikanmu buku.” kata Henry sambil kembali menyendok makanan yang ada di
piring. “Kau sudah melihat filmnya?”
“Ya. Tapi aku rasa lebih bagus novelnya daripada
filmya.”
“Menurutku sama saja.”
Kemudian Katie terbatuk-batuk. Henry segera mengambil
segelas air yang diletakkan di atas meja, kemudian meminumkannya ke Katie.
Katie langsung meneguk air di dalam gelas
banyak-banyak. Ia bernafas sejenak, lalu meminum kembali air itu. Ia kemudian
bernafas kembali dengan lega.
“Sebaiknya kau habiskan dulu makananmu sebelum
bicara.” kata Henry.
“Ya. Sepertinya aku mendapat hadiahnya.” kata Katie.
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
Henry lalu menyendokkan suapan terakhir dan Katie
langsung menyantapnya. Kini giliran obatnya yang harus diminum.
Pintu kamar terbuka. Dian masuk sambil berlari kecil
ke arah Henry. Tangan kirinya masih menggenggam ponselnya. Layarnya menyalah
sebentar, lalumeredup dan mati.
“Temanku yang melakukan studi di kepolisian mengatakan
bahwa ada pembunuhan di sebuah sekolah.’ kata Dian.
Tiba-tiba ponsel Henry berdering. Henry segera
mengangkatnya.
“Halo… Ya… Baiklah… Baiklah, Mister. Saya segera ke
lapangan.” kata Henry berbicara dengan ponselnya. Wajahnya sangat serius.
“Kasus lagi?” tanya Katie sambil meletakkan gelas di
atas meja.
“Ya. Baru terjadi sekitar tiga lima menit yang lalu.
Seorang siswa dibunuh di dalam ruang media di SMA N 5 Jakarta.” jelas Henry.
“Bosmu cepat sekali mendapatkan informasi. Baru saja
aku ingin mengatakan lokasi kejadiannya.” kata Dian dengan nada sedikit kecewa.
“Jadi kau pergi lagi?” tanya Katie.
“Ya. Maafkan aku. Aku tidak akan lama. Aku segera
kembali setelah selesai bertugas.” kata Henry.
“Hati-hati.” kata Katie sambil tersenyum manis.
“Baiklah, aku pergi dulu.” kata Henry. Ia mengecup
kening Katie, lalu mengambil jaketnya dan segera berangkat ke lokasi
pembunuhan.
Henry langsung menuju mobilnya yang diparkir di
halaman depan rumah sakit dan langsung meluncur ke SMA N 5 Jakarta besama Dian.
Henry baru kali ini menangani pembunuhan di sebuah sekolah, apalagi hari ini
adalah hari kerja. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada banyak siswa-siswi
yang akan mengerubungi tempat kejadian perkara. Hal ini bisa menjadi hambatan
untuk Henry dalam mengerjakan tugasnya sebagai penyelidik.
Henry dan Dian berada di dalam mobil. Henry yang
menyetir mobilnya. Mobilnya melaju cepat di jalan besar. Dian masih sibuk
dengan ponselnya sejak dari rumah sakit.
“Ya ya… Baiklah… Terima kasih banyak.” kata Dian lalu
memutus sambungan telepon. “Akan sedikit macet di dekat SMA N 5 nanti. Kau
harus mencari jalan pintas.”
“Akan aku usahakan.” sahut Henry.
Henry menaikkan kecepatan laju mobilnya.
Sekitar 20 menit berlalu. Kini mobil yang dikendarai
Henry melaju di kawasan Serdang, Kemayoran. Henry mengambil jalan pintas. Ia
menikung ke kiri ke Jalan Mawar. Henry terus menelusuri jalan yang agak panjang
itu.
“Apa kau tau daerah ini?” tanya Dian.
“Tidak. Tidak terlalu.” jawab Henry singkat.
Mobil lalu berbelok ke kanan di ujung jalan dan terus
melaju. Di arah depan di kejauhan, terlihat papan penunjuk jalan yang
bertuliskan Sunter dengan arah ke kiri. Mobil lalu menikung ke kiri di
persimpangan Howitzer.
Persimpangan itu diberi nama Howitzer karena salah
satu dari keempat jalan di persimpangan itu bernama Jalan Howitzer. Howitzer
adalah sebuah artileri medan. Nama Howitzer berasal dari kata dalam bahasa
Ceko, yaitu Houfnice. Diturunkan dari bahasa Jerman, Haubitze, dan bahasa
Belanda, Houwitser. Howitzer adalah meriam dari abad ke-15 yang digunakan oleh
suku Hussites dalam perang Hussite. Howitzer berbeda dari jenis meriam artileri
lainnya dalam hal trayektori penembakannya.
Entah kenapa jalan itu dinamai dengan nama senjata.
Bahkan cabang jalan di sepanjang Jalan Howitzer juaga dinamai dengan nama
senjata, seperti Pistol dan Bazoka.
Mobil sekarang melaju di Jalan Sumur Batu dan mengarah
ke wilayah Sunter. Mobil melewati sebuah bengkel dan sebuah warung fotocopy dengan cat berwarna kuning
bergambar sebuah produk kartu seluler.
Mobil lalu menikung ke kiri dan memasuki jalan dengan
reklame yang bertuliskan SMA Negeri 5 Jakarta. Kemudian mobil yang dikendarai
Henry melewati pagar hijau SMA N 5 Jakarta dan memasuki lapangan yang luas.
Mobil lalu diparkirkan di sisi lapangan di sekat pagar.
Henry mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil.
Dian mengikuti Henry keluar dari mobil. Henry mengambil jaketnya di dalam
mobil, lalu menutup pintu mobil.
Henry melihat ke sekeliling sekolah. Lapangan SMA N 5
Jakarta dipenuhi dengan siswa-siswi yang masih memakai seragam putih abu-abu.
Seorang guru wanita berkerudung putih menghampiri Dian dan Henry yang berdiri
di belakang mobil.
“Tuan Henry?” tanya guru wanita di depan Henry.
“Ya.” jawab Henry singkat.
“Dan ini?”
“Ini rekan kerja saya, Ibu Novita. Dian bisa membantu
saya menyelidiki kasus ini.” jelas Henry sambil melirik nametag yang terpasang di seragam guru wanita di depannya. Nametag itu bertuliskan Ella Novita MTh.
“Baiklah. Mari ikuti saya.” kata Ibu Novita.
Ibu Novita lalu mengantar Henry dan Dian ke tempat
kejadian perkara. Henry memakai jaketnya sambil berjalan ke koridor.
Mereka berjalan ke koridor SMA N 5 Jakarta yang sesak
dengan siswa-siswi yang membawa tas besar berisi buku-buku pelajaran. Mereka
berkerumun di depan pintu gerbang tangga bagian timur, penasaran dengan kasus
pembunuhan yang terjadi kepada teman mereka sendiri.
Ibu Novita membantu Henry dan Dian melewati kerumunan
itu. Henry dan Dian menerobos kerumunan siswa-sisiwi itu dengan susah payah.
Banyak ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut siswa-siswi itu saat Henry dan
Dian melewati mereka.
“Siapa mereka iu?” tanya seorang siswa.
“Detektifnya mungkin.” jawab siswa lain.
“Ya ampun. Cowok itu ganteng banget.” kata seorang
siswi.
“Mana, mana?” seorang siswi bertanya-tanya.
“Itu yang pakai jaket hitam.”
Henry bergidik mendengar perkataan mereka. Henry hanya
tersenyum kecil sambil terus melangkah menerobos kerumunan siswa-siswi.
Ibu Novita lalu menaiki tangga, diikuti Henry
dibelakangnya disusul Dian.
Mereka kini sampai di lantai dua. Ibu Novita menikung
ke kiri dan membuka pintu sebuah ruangan yang dijaga oleh beberapa polisi di
depannya. Di atas pintu terdapat papan yang menggantung dengan tulisan Ruang
Audio Visual. Siswa-siswi SMA N 5 Jakarta biasa menyebutnya dengan Ruang AV
(baca: avi).
“Silahkan masuk, Tuan Henry dan Nona Dian.” kata Ibu
Novita sambil berdiri di depan pintu.
Henry masuk ke Ruang Audio Visual. Ruangan itu diberi
karpet berwarna biru. Agak bebau di ruangan itu, menandakan air conditioner yang belum lama
dimatikan. Ruangannya seperti ruang kelas biasa, hanya saja lebih tertutup dan
lebih bersih. Di bagian depan terdapat papan tulis besar dan layar untuk
proyektor. Meja panjang diletakkan di depan papan tulis. Di langit-langit depan
teradapat proyektor yang menggantung. Kursi-kursinya tertata rapih di atas
lantai yang berbeda ketinggiannya.
Di tengah ruangan, tergletak seorang siswa berjaket
abu-abu gelap dengan posisi tubuh menghadap ke bawah. Tangannya menempel di karpet seperti sedang
menuliskan sesuatu dengan jarinya. Lehernya lebam seperti telah dijerat
sesuatu. Di karpet terdapat banyak kertas yang berserakan. Salah satu kertas di
dekat tangan siswa itu terdapat huruf yang ditulis dengan darah. Kertas itu
bertuliskan huruf ‘dr’.
Henry mengeluarkan kamera digital dari sakunya dan
mengambil gambar mayat korban di depannya. Henry memotret dari segala sisi.
Sekitar tujuh gambar yang diambil Henry dari objek mayat di depannya.
Henry kemudian mendekati kertas yang bertuliskan ‘dr’.
Ia memperhatikannya dan mengambil gambarnya. Henry kemudian berdiri dan
berbicara kepada Ibu Novita.
“Saya sudah mengambil sekitar delapan gambar dari
korban. Saya akan mengidentifikasikannya dan akan saya kabari ibu secepatnya.”
jelas Henry.
“Laporannya segera saya tunggu.” kata Ibu Novita
dengan wajah yang serius.
Tiba-tiba seorang polisi memasuki ruangan. Itu Pak
Denis.
“Henry. Akhirnya kau datang.” kata Pak Denis.
“Saya sudah sejak tadi di sini, Pak. Saya sudah
selesai bertugas.” kata Henry.
“Bagaimana dengan kasus pembunuhan di Semanggi?”
“Masih dalam penelitian, Pak. Akan saya laporkan ke bapak
jika saya sudah selesai diselidiki.” jelas Henry dengan sedikit tersenyum. “Ibu
Novita, apa ada tangga lain selain tangga yang tadi kami lewati?”
“Ya, ada. Saya bisa mengantarkan Anda.” jawab Ibu
Novita.
“Pak Denis, kami permisi.”
“Ya. Silahkan.” sahut Pak Denis.
“Mari, saya antar.” kata Ibu Novita menawarkan Henry
dan Dian.
Henry dan Dian kemudian mengikuti Ibu Novita. Mereka
berjalan di koridor lantai dua yang agak redup. Di sela-sela perjalanan menuju
tangga, Henry menanyakan sesuatu kepada Ibu Novita.
“Maaf, Ibu Novita. Jika aku boleh mengetahui, siapa
nama siswa Anda yang menjadi korban?” tanya Henry.
“Namanya Hendri. Dia siswa yang pandai di sekolah ini.
Belum lagi ia sangat disukai teman-temannya karena terlalu baik.” jelas Ibu
Novita.
“Namanya hampir sama seperti namamu.” kata Dian.
“Apakah dia mnegikuti sebuah organisasi, perkumpulan,
atau semacamnya?” Henry kembali bertanya.
“Setahuku dia hanya mengikuti organisasi Pasukan
Pengibar Bendera. Tapi beberapa hari yang lalu aku melihatnya di ekstra
kurikuler futsal.” jawab Ibu Novita.
“Apa ada yang aneh akhir-akhir ini dengannya?”
“Dia sering membawa sebuah medallion jam.”
“Medalion jam? Bisakah ibu menunjukkannya?”
“Aku tidak memilikinya. Pasti ada di tasnya.”
“Kalau begitu kita bertemu di suatu tempat. Aku harap
ibu bisa melakukannya untuk kami.”
“Baiklah.”
Dian kemudian mengeluarkan bolpoin dari tas kecilnya
dan memberikannya kepada Henry.
Henry menuliskan sebuah alamat dan nomor ponselnya di
telapak tangan Ibu Novita. Henry juga menuliskan waktu pertemuannya.
“Kami harap ibu bisa merahasiakan pertemuan ini.” kata
Henry.
“Akan saya usahakan.” sahut Ibu Novita.
“Jangan sampai ada yang tau tentang Medalion Jam yang
ibu katakana tadi.”
“Baiklah.” kata Ibu Novita sambil mengangguk.
Ibu Novita kemudian mengantar Henry dan Dian ke tangga
barat.
Henry dan Dian meninggalkan SMA N 5 Jakarta dan
kembali ke rumah sakit. Henry biasanya menyelesaikan kasus di markas badan
intelijen tempatnya dipekerjakan, tetapi kali ini ada sedikit pengecualian
karena kekasihnya sedang sakit dan Henry tidak bisa meninggalkannya.
Henry dan Dian berjalan menuju mobil yang diparkir di
sisi lapangan. Dian berusaha mengimbangi langkah Henry yang cukup cepat dan
besar. Mereka berjalan melewatilapangan dan berhenti di sisi kanan mobil.
“Rumah sakit?” tanya Dian yang tiba-tiba saja sudah
berada di depan Henry.
“Apa maksudmu?” Henry kembali bertanya.
“Kau menggunakan rumah sakit sebagai tempat
pertemuan?”
“Ya. Apa ada masalah?”
“Aku rasa itu bukan tempat yang tepat.” pikir Dian
“Jangan kahawatir. Biar aku yang tangani ini semua.”
kata Henry sambil menepuk bahu Dian.
“Terserah kau saja lah.”
Mereka berdua lalu masuk ke mobil. Mesin mobil
dihidupkan dan mobil mulai bergerak melintasi lapangan SMA N 5 Jakarta. Mobil
pun melewati pintu gerbang dan akhirmya meninggalkan SMA N 5 Jakarta. Mereka
dalam perjalanan kembali ke rumah sakit.
Henry dan Dian berada di kamar Katie. Henry sejak tadi
sibuk dengan foto-foto yang diambilnya. Kamera di tangannya terus saja
menampilkan gambar-gambar yang sudah muncul berkali-kali. Henry sudah berulang
kali menekan tombol next dan previous.
“Sudah kau temukan petunjuknya?” tanya Dian sambil
meletakkan kepalanya dia atas tempat tidur.
“Sebaiknya kau tenang. Katie sedang tertidur.” jawab
Henry singkat.
“Bagaimana aku bisa tenang jika ka uterus menekan
tombol yang sama di kamera itu?”
“Aku sedang mencari petunjuk.”
“Sebaiknya kau lihat kertas bernoda darah tadi.”
Henry langsung mengganti gambar ke gambar kertas yang
ai ambil tai di tempat kejadian perkara.
“Lalu?” tanya Henry.
“Bukankah itu berarti ‘Dokter’?” Katie kembali
bertanya.
“Lalu apa maksudnya?”
“Bukankah kau ahlinya?”
Henry memandangi Dian dengan wajah datar. “Kau tidak
membantu.”
Henry mendekat ke meja dan mengaktifkan notebook. Dia menjalankan aplikasi penjelajah
internet dan mulai mengetikkan sebuah alamat.
“Hei, sekarang bukan waktu yang tepat untuk
berseluncur di internet.” kata Dian seraya mengangkat kepalanya.
“Aku ingin kembali menikmati pemandangan.” jawab
Henry.
Henry mengetikkan alamat http://www.google.com/ di kolom alamat. Halaman sudah terbuka, lalu Henry
menu Maps, dan sebuah peta digital
langsung tampil di layar.
Henry kembali ke Cikarang, tempat dari petunjuk kasus
pertama. Ia menggeser peta ke bawah, dan simbol pentagon pun muncul di layar.
Ia kemudian menggeser peta ke arah kanan, lalu ke arah bawah. Ia terus
menelusuri peta digital di depan matanya.
“Dian, lihat ini.” kata Henry tiba-tiba.
Dian langsung mendekat ke Henry dan menatap layar notebook. Ia melihat sebuah daerah yang
ditutupi dengan warna hijau.
“Apa?” tanya Dian nada bingung. Ia tidak melihat
apapun yang menarik di depanmatanya.
“Perhatikan dengan benar.” kata Henry dengan nada
protes.
Dian kembali memanangi peta di depannya. Ia memperhatikan
lahan hijau di peta itu. Beberapa jalan berbentuk lurus panjang dan membentukan
lekukan. Bentuknya seperti sebuah segitiga. Ia memperhatikan puncak segtitga
itu, puncaknya berbentuk seperti persegi panjang. Jika diperhatikan dengan
jelas, bentuknya seperti peralatan di laboratorium kimia.
“Itu labu elemeyer.” kata Dian.
“Ya.” sahut Henry. “Menurutmu apa hubungannya dengan
simbol ini dan huruf ‘dr’ yang dibuat siswa SMA tadi?”
Dian berfikir sejenak, dan akhirnya ia menemukan
petunjuknya. “Simbol kedokteran.”
“Ya, benar.”
Tiba-tiba saja ponsel Henry berdering. Henry segera
mengangkatnya.
“Halo… Ya… Masuk saja ke kamar 32… Sama-sama.” Henry
lalu memutus sambungan telepon.
“Lalu apa maksud ini semua?” tanya Dian.
“Itu pasti tempat tinggal si pembunuh.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suaranya sedikit bising
sehingga Katie terbangun. Ibu Novita memasuki ruangan. Ia masih memakai seragam
gurunya. Wajahnya terlihat khawatir.
Ibu Novita mendekati Henry dan Dian yang sedang berada
di dekat meja. “Saya bawa barangnya.” Ibu Novita lalu mengeluarkan sebuah benda
mirip medallion dari sakunya.
“Terima kasih, Ibu Novita.” kata Henry sambil
tangannya menerima medallion.
“Tadi saya bertanya kepada Pak Denis tentang korban
pertama yang terbunuh pagi hari tadi. Pak Denis mengatakan bahwa korban adalah
seseorang yang menentang adanya kelompok rahasia di Indonesia. Saya tidak tau
apa yang ia maksud, tapi saya yakin ini semua ada hubungannya dengan kelompok
persaudaraan. Pak Denis juga mengatakan bahwa pembunuh ini sudah jadi buronan
sejak dua tahun lalu.” jelas Ibu Novita.
Wajah Ibu Novita terlihat seperti orang yang
ketakutan. Sikapnya seperti ia sedang diawasi oleh seseorang dari kejauhan.
Bicaranya pun seperti orang yang sedang membonhkar rahasia.
“Kelompok persaudaraan?” tanya Henry.
“Maaf. Saya tidak bisa bicara banyak. Saya harus
pergi.” kata Ibu Novita, lalu ia meninggalkan kamar dengan terburu-buru.
“Ada apa dengan ibu itu?” tanya Katie yang kini duduk
di atas kasur.
“Apa maksudnya…” Dian belum melanjutkan kata-katanya.
“Tukang batu. Orang yang membangun Kota Jakarta ini.”
Henry menyela.
“Tukang batu?” tanya Katie.
“Mereka biasa menyebut diri mereka dengan sebutan
Freemason.”
“Bukankah itu organisasi tidak ber-Tuhan?”
“Lalu apa hubungannya dengan Hendri?”
Henry menatap medallion yang ia genggam. Ia menekan
tombol di medallion itu, dan medallion itu terbuka. Medalion itu ternyata
sebuah jam. Kaca penutupnya retak. Jarum jamnya sudah tidak bergerak. Sebuah
angka tertulis di jam itu, seperti sebuah merek.
“58.” gumam Henry.
“Apa maksudmu?” tanya Dian.
“Hendri. Dia pengikut Freemason. Medalion ini adalah
salah satu identitasnya.” jelas Henry.
“Lalu siapa pembunuh yang menjadi buronan polisi itu?”
tanya Katie.
“Dan apa maksudnya ia memberitahukan tempat tinggalnya?”
tanya Dian kemudian.
Henry berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke
tengah-tengah ruangan. Tangannya masih memegang medallion yang tadi diberikan
oleh Ibu Novita. Ia lalu membalik tubuhnya dan mengatakan sesuatu. “Aku rasa
aku tau maksud ini semua.”
Dian dan Katie terdiam mendengar pperkataan Henry.
Mereka masih bingung dengan teka-teki simbol yang dibalut dengan pembunuhan
ini.
Henry mengambil ponselnya yang diletakkan di meja. Ia
menekan beberapa tombol dan menekan tombol panggil.
“Halo, Pak Denis. Adakan pertemuan pers di halaman
Museum Sejarah Jakarta. Ada satu orang lagi yang harus kita selamatkan.” kata
Henry bicara di telepon.
Siang berganti sore. Matahari sudah bersembunyi di
ufuk barat. Langit kini sudah menghitam. Bintang-bintang sudah menampakkan
wujudnya. Pukul 7.30, Henry dan Dian sudah ada di mana-mana. Wartawan dari
beberapa stasiun TV sudah banyak berdatangan. Kamera-kamera sudah dipansang
dengan tripod.
Henry membuka acara itu dengan sebuah salam.
“Selamat sore, saudara-saudari yang ada di sini maupun
yang menyaksikan lewat layat TV. Saya sekarang berada di antara kalian untuk
mengungkapkan dua kasus pembunuhan yang terjadi pagi dan siang hari ini.” Henry
berhenti sejenak.
Henry memandang ke sekeliling. Banyak orang-orang dari
stasiun TV dan warga sipil yang
menontonnya. Terlihat juga kerumunan siswa-siswi SMA N 5 Jakarta yang ikut
menonton. Mereka juga ingin mendengarkan penjelasan atas kematian teman mereka
yang tewas siang tadi.
“Saya telah mengetahui misteri di balik dua pembunuhan
ini. Saya juga tau pasti si pembunuh juga sudah berada di antara kita
sekarang.”
Kerumunan orang-orang itu langsung saling tengok ke
kanan dan ke kiri. Bibir-bibir yang mengeluarkan kata-kata ‘Siapa?’ dan ‘Di
mana?’ mulai terdengar di sekitar kerumunan.
“Tenang semuanya. Saya akan menjelaskan kepada kalian
semua.”
Kerumunan itu langsung menghentikan pertanyaan yang
mereka keluarkan.
“Orang ini, yang sekarang berada di antara kita adalah
seorang pembunuh yang sangat kejam. Orang ini juga bagian dari sebuah kelompok
persaudaraan. Orang ini mempunyai tujuan, yaitu menghabisi siapapun yang tidak
menyukai organisasinya. Termasuk penghianat organisasinya.”
“Sebelum saya mengungkap siapa pembunuhnya, saya ingin
memberitau Anda semua, dan pembunuh yang sekarang ada di antara kita. Pembunuh
ini, pasti berfikir bahwa dia telah selesai membunuh semua orang yang harus ia
bunuh. Tapi dia salah. Masih ada satu orang lagi, dan dia sedang berbicara di
depan kalian semua.”
Kerumunan itu kemudian mengeluarkan suara-suara lagi.
“Ya, ya. Orang itu saya sendiri. Saya tidak setuju
dengan keberadaan kelompok persaudaraan mereka, dan saya sangat menentang
keberadaan mereka.”
Tiba-tiba seseorang berjaket hitam dengan tudung
kepala menodongkan pistolnya ke arah Henry. Jarinya sudah siap dengan
pelatuknya. Sekali saja ditarik pelatuk itu, isi kepala Henry pasti akan
berhamburan seperti bubur.
Suara keras seperti ledakan tia-tiba saja terdengar.
Seseorang berjaket hitam itu tiba-tiba aja jatuh ke arah samping. Telapak
tangannya dipenuhi darah.
Beberapa polisi yang menyamar sebagai warga sipil
langsung datang mengamankan orang itu.
“Daniel Morgan. Seorang Freemason yang melakukan dua
pembunuhan hari ini. Inilah tersangka kita.” kata Henry.
Polisi langsung menangkap Daniel Morgan dan embawanya
ke kantor polisi. Ia mendapat hukuman mati karena perbuatannya yang telah
membunuh 193 orang dalam waktu dua tahun.
Henry dan Dian kembali ke rumah sakit. Di rumah sakit,
Henry kembali menjelaskan kepada Katie dan Dian dengan lebih rinci.
“Kenapa si pembunuh meninggalkan kode yang mengarah
kepada tempat tinggalnya?” tanya Dian.
“Mudah saja. Freemason adalah organisasi yang sangat
hebat dan maju. Mereka pasti memiliki arsip lengkap orang-orang yang berada di
dunia ini. Dalam kasus ini, si pembunuh memiliki daftar nama orang-orang yang
menentang keberadaan organisasi yang diikutinya. Lalu dia membunuh orang-orang
yang berada dalam daftar, dan setelah selesai dia akan menyerahkan diri ke
pihak yang berwajib.”
“Bagaimana dengan Hendri? Bukankah kau mengatakan
bahwa ia adalah bagian dari Freemason?” tanya Katie.
“Ya, medallion itu. Itu adalah identitasnya. Hendri
memang bagian dari Freemason, tetapi ia berhianat. Seorang Freemason pasti akan
menjaga baik-baik identitasnya. Tetapi tidak dengan Hendri, bisa kalian lihat
bahwa jam itu sudah tidak bergerak dan kaca penutupnya sudah retak.”
“Wow, pemikiranmu hebat juga.” kata Dian.
“Seperti kata Arthur Conan Doyle dalam novel serial
Sherlock Holmes yang ditulisnya. Sherlock Holmes pernah mengatakan bahwa detil-detil
kecil yang dilupakanlah yang sebenarnya sangat dibutuhkan.” jelas Henry.
“Lalu bagaimana kau bisa tau jika si pembunuh berada
di antara kerumunan orang di halaman Museum Sejarah Jakarta?” tanya Dian
“Seperti kataku tadi, Freemason adalah organisasi yang
hebat. Mereka akan menyadap semua sambungan telepon yang dilakukan, termasuk
sambungan teleponku. Aku menghubungi Pak Denis untuk mengadakan jumpa pers di
halaman Museum Sejarah Jakarta, si pembunuh menyadap sambungan telepon dan
akhirnya ia tau acara jumpa pers tadi.”
“Dan bagaimana dengan simbol-simbol itu?” tanya Katie
“Simbol-simbol itu hanyalah teka-teki di balik
pembunuhan hari ini. Lagi pula sangat tidak mungkin korban bisa membuat simbol
dari itu. Korban pertama ditembak di bagian dada, pasti korban sudah meninggal
sebelum menggores tangannya. Korban ke dua mati decekik, aku mengetahuinya dari
bekas jeratan di lehrnya. Korban tidak akan sempat berfikir untuk menuliskan
kode di kertas. Lagi pula orang yang dicekik pasti tidak bisa bernafas, yang
akan menyebabkan tubuhnya menjadi lemas.”
“Jadi…” Dian belum sempat menyelesaikan perkataannya.
“Si pembunuh lah yang membuat semua kode-kode
misterius itu.”
“Tapi aku masih belum tau arti dari simbol tanda tanya
yang aneh itu.” kata Katie.
“Itu adalah simbol kesehatan. Kau bisa melihatnya di
halaman depan rumah sakit ini. Itu petunjuk tempat tinggal si pembunuh yang
daerahnya berbentuk seperti labu elemeyer.”
“Kau benar-benar orang yang hebat.” kata Dian sambil
menepuk bahu Henry.
“Ayolah, jangan membuatku melayang di uadara.” kata
Henry sambil tersenyum.
Mereka bertiga lalu tertawa bersama.
Dian membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya terlihat
mengantuk karena kelelahan dengan aktifitasnya hari ini. Tangannya
mengusap-usap matanya.
“Hari ini sangat melelahkan.” gumam Dian.
Henry melihat jam tangannya. “Pantas saja. Sudah
hampir jam 12 malam.”
“Apa? Hampir jam 12? Mengapa aku belum mengantuk?”
Katie bertanya-tanya.
“Sepertinya aku harus menunjukkan sesuatu kepadamu.
Dian, tolong bantu aku.” kata Henry.
Henry dan Dian lalu membantu Katie berdiri. Mereka
membawa Katie ke halaman belakang rumah sakit.
Di halaman belakang rumah sakit, terdapat sebuah kursi
panjang dengan sebuah pohon yang cabang-cabangnya sudah tidak berdaun. Di dekat
pohon terdapat lampu taman yang menyala terang. Henry dan Dian mendudukkan
Katie di kursi panjang. Henry duduk di samping Katie, sementara Dian berdiri di
samping kursi.
“Apa maksudmu membawaku ke sini?” tanya Katie.
“Kau lihat pohon itu? Daun kecil di sana adalah
mistletoe.” jawab Henry.
“Jadi sekecil itukan daunnya?”
“Ya. Itu yang sering aku lihat di Australia.”
“Unik sekali.”
Henry melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul
12 tepat tengah malam. “ Selamat Natal, Katie.”
“Selamat Natal.” sahut Katie lalu menyandarkan
kepalanya di bahu Henry.
Untuk sejenak, Dian membiarkanmereka berdua menikmati
saar-saat mesra ini. Waktu terus berjalan dan semakin larut. Angin berhembus.
Dian merapatkan jaketnya.
“Di sini dingin sekali. Sebaiknya kita masuk.” kata
Dian berbisik di telinga Henry.
“Baiklah.” jawab Henry. “Katie, kita harus masuk. Di
sini mulai dingin.”
Tidak ada jawaban dari Katie. Ia masih menyandarkan
kepalanya di bahu Henry.
“Sepertinya dia tertidur.” kata Henry.
“Biar aku yang membangunkannya.” Dian lalu mendekati
Katie. “Katie, bangun Katie.” Untuk sedetik, Dian terkejut. “Astaga, tangannya
dingin sekali.”
“Apa kau serius?”
“Katie, Katie. Kau harus masuk ke dalam.” Dian sekali
lagi membangunkan Katie.
Katie masih tidak menjawab. Tubuhnya juga tidak
bergerak sama sekali. Tangannya terlihat lebih pucat daei sebelumnya.
Dian memeriksa denyut nadi Katie. Alangakah
terkejutnya Dian dengan apa yang terjadi. Ia tidak bisa merasakan denyut nadi
Katie. “Innalillahi wa inna illaihi raji’un.”
“Apa? Ada apa? Apa yang terjadi” tanya Henry. Matanya
mulai berkaca-kaca.
“Dia sudah tiada.”
“Apa? Tidak mungkin.” kata Henry. Kemudian ia
menggenggam tangan Katie yang dingin. “Tidak mungkin. Katie tidak mungkin
pergi.”
Air mata Henry mengalir di pipinya. Dian yang
menyaksikannya hanya bisa tertunduk sambil bersimpuh di atas tanah. Udara
dingin kembali berhembus, menambah haru suasana malam ini.
Permintaan terakhir Katie adalah melihat mistletoe,
dan Henry sudah mengabulkan permintaannya. Tepat seperti janjinya, Henry
memperlihatkan mistletoe kepada Katie sebelum waktu natal tiba. Pada malam ini,
Tuhan memanggil Katie untuk selamanya. Tapi nama Katie akan terus ada di hati
dan pikiran Henry dan Dian.
_TAMAT_
1 comments:
This story is very interesting, nice, wonderful and imaginative. not boring, so want to read it again and again
Posting Komentar