Cerpen Karya: Dini Nur Latifah, SMAN 1 Surakarta
Sepi. Nania memandangi sekolahnya yang berdiri kokoh di depannya. Langit sedikit mendung pagi ini. Jam enam kurang dua puluh menit Nania tiba di sekolah. Jika saja ayahnya tidak sedang berada di luar kota dan ibunya dapat naik mobil maka ia tak perlu nebeng kakaknya yang harus berangkat pagi untuk mengikuti kuliah kerja lapangan hari ini. Naniapun menglah berangkat sekolah lebih pagi karena selain kakaknya tak ada lagi yang bisa mengantarnya ke sekolah.
Nania tak beranjak dari tempatnya berdiri. Di sampingnya sekitar seratus meter dari tempatnya berdiri terdapat pohon beringin tua yang tumbuh menjulang tinggi di halaman sekolah. Nania sekarang baru menyadari bahwa sekolahnya memang angker. Sekolah yang didirikan sebelum Indonesia merdeka ini memang bekas sekolah dan markas militer Belanda. Tak heran kalau suasana Belanda masih melekat pada arsitektur bangunannya.
Nania masih tak beranjak, dipandanginya bangunan tua sekolah dari kanan ke kiri. Menara tua yang terdapat di samping aula sekolah mengingatkannya pada Hogwarst, sekolah sihir Harry Potter. Pintu sekolah sudah dibuka, namun Nania enggan memasukinya. Tiba-tiba ia merasa takut memasuki sekolahnya padahal sudah lebih dari satu tahun ia bersekolah di sana. Perasaan takutnya kali ini melebihi perasaan takutnya pada senior yang suka menbentak-bentaknya pada saat pertama masa orientasi siswa.
Awan kelabu masih menggantung dan angin berhembus menerbangkan daun-daun beringin kering yang berserakan. Nania merapatkan jaketnya dan riba-tiba ia mendengar suara lonceng berdentang. Nania mendongakkan kepala mencari sumber suara, tanpa sadar ia telah memasuki pintu sekolah mengikuti sumber suara. Suara lonceng itu berasal dari menara sekolah. Nania tiba di pintu menara, tapi aneh pintunya dikunci gerendel. Rantai kunci yang berkarat dan daun pintu yang tertutup debu tebal menandakan bahwa menara itu sudah lama tidak dibuka. Lalu siapa yang dapat masuk membunyikan lonceng di menara ? Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahu Nania. Ia kaget dan langsung menjerit.
”Aaaaaaaaaaaaa!”
”Nan, ini aku Raymond.”
Nania membalikan badan, ”Raymond! Kamu tahu nggak, kamu hampir bikin jantungku copot.” ” Sorry Nan, bukan maksudku ngagetin kamu. Aku kan Cuma pengen nyapa kamu. Tumben pagi-pagi begini kamu udah datang ?”
”kamu juga ngapain pagi-pagi begini sudah datang. Mau nakutin orang ?”
” Idih, tiap hari aku kan datang pagi. Nggak seperti kamu datangnya lima menit sebelum bel masuk. ”
” nggak usah nyindir deh ”
” Sorry deh, yuk masuk kelas! Ngapain kamu pagi-pagi sudah ke sini. Kamu nggak tahu ya kalau menara ini wingit? Kamu tahu nggak wingit itu apa? Wingit itu angker, jadi nggak usah lagi dekat-dekat tempat ini. Katanya banyak hantunya, hiii” Raymond lalu menarik tangan Nania dan mengajaknya ke kelas.
Sambil menaiki tangga menuju ke kelasnya, Raymond menceritakan kisah-kisah misteri tentang sekolah tuanya pada Nania.
” Ah yang bener kamu Ray? Kamu jangan bohong sama aku. Jangan-jangan kamu cuma nakut-nakutin aku doang.”
” Eh dibilangin nggak percaya. Kamu tahu nggak kenapa toilet cewek dekat tangga depan renovasinya makan waktu lama? Itu karena pekerjanya pada sakit gara-gara di ganggu penunggu yang tinggal di situ.”
” Raymond udah deh jangan nakut-nakutin aku. Nanti aku nggak berani lagi ke toilet sendirian .”
” malah bagus dong, kan aku bisa nemenin.”
” Dasar otak ngeres!” Nania memukulkan tas sekolahnya pada Raymond. Raymond berlari menuju kelas dan Nania mengejarnya.
Langit masih mendung ketika pelajaran akhirnya dimulai. Nania tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk memandangi menara sekolah dari jendela. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa yang membunyikan lonceng yang tergantung di puncak menara tua itu dan satu lagi pertanyaan yang mengganjal hatinya kenapa hanya bangunan menara yang belum di renovasi di sekolahnya.
Saat istirahat tiba Nania menceritakan peristiwa pagi tadi pada teman-teman satu gengnya.” mungkin saja ada orang iseng masuk menara terus ngebunyiin lonceng.” Kata Riana.
” Hantu sekolah kali.” Ina menimpali.
” Bukan,bukan itu, semuanya salah.” Agvi menyahut.
”Terus apa?” Tanya Riana dan Ina serempak.
” mungkin kamu salah dengar kali Nan.” jawab Agvi santai.
” Agvi, please deh! Kita lagi serius” Balas Ina.
” Kalau menurutku pendapat Riana kemungkinan ada benarnya. Mungkin saja ada orang iseng dan lagi nggak punya kerjaan membunyikan lonceng tua di menara.” tambahnya lagi.
” Nggak mungkin deh ada orang masuk ke menara tadi pagi. Pintunya aja masih di kunci gerendel waktu aku sampai kesana ” Nania menimpali.
” Nan menurutku cukup kita berlima saja yang tahu soal ini. Aku takut kalau hal ini menyebar akan menyebabkan anak-anak lain ketakutan. Lagi pula seperti katamu tadi nggak mungkin ada orang yang masuk ke menara tadi pagi. Kan sudah lama menara menjadi tempat terlarang. Anggap saja pagi tadi kamu mimpi dari pada kamu ketakutan sendiri mikirin hal-hal yang belum pasti,” Amanda yang sedari tadi diam saja kali ini membuka suara.
”soal cerita Raymond, kamu nggak usah mikirin. Kan dia nggak punya bukti. Lagi pula dia sukanya bikin sensasi doang,” Tambah Amanda.
” Aku mikirnya juga begitu. Nggak usah di bahas lagi deh. Yuk kita ke kantin! Aku traktir deh,” Nania menyudahi percakapan yang seru itu.
Hari ke dua Nania di antar Kakaknya, jam enam kurang lima belas menit Nania sudah sampai sekolah. Di dengarnya kembali lonceng berdentang di menara. Bulu kuduknya meremang dan keringat dingin mulai keluar. Langit masih sedikit gelap dan angin berhembus semilir membuat suasana semakin mencekam. Nania mengumpulkan seluruh keberaniannya dan akhirnya sampailah Nania di pintu menara. Aneh, pintunya tak di kunci dan masuklah Nania ke dalam menara.
Pintu menara berdebam karena tertiup angin ketika Nania memasuki menara. Nania sedikit kaget. Di dalam menara gelap dan berdebu. Pengap sekali sampai-sampai Nania berkeringat. Sarang laba-laba menggantung dimana-mana membuat menara seolah-olah seperti sarang drakula. Nania meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu.mungkin saja lampu kuno di menara masih bisa berfungsi. Di tengah kegelapan, Nania tiba-tiba terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. Cepat-cepat Nania bangkit untuk membetulkan tali sepatunya dan kembali mencari saklar lampu. Nania meraba-raba dinding di sekitarnya dan tanpa sengaja ia tersandung sesuatu. Nania kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhuyung lalu menghantam dinding di depannya. Ajaib, lampu kuno itu menyala. Nania terheran-heran lalu di lihatnya dinding yang di hantamnya ternyata di situ saklar lampunya. Nania menghembuskan napas lega.
Nania memandang berkeliling lantai dasar menara. Ada banyak tumpukan koran dengan ejaan lama dan beberapa kursi dan meja yang sudah tak beraturan susunannya. Semuanya di lapisi debu. Nania membersihkan sarang laba-laba yang menepel di baju dan rambutnya. Angin dingin melewati tengkuk Nania membuat bulu kuduknya kembali meremang dan detak jantung bertambah cepat. Spontan Nania segera berlari menuju pintu menara.
” Sial pintunya pake macet lagi,” Nania mengumpat sambil berusaha membuka pintu menara.
” Yang di luar menara tolong dong! Ada orang di dalam sini. Tolong keluarin aku!” Nania menggedor-gedor pintu menara sekuat tenaga. Tak ada yang menjawab teriakan Nania.
Nania terus menggedor-gedor pintu menara dan memutar gagang pintunya, namun tak ada hasilnya. Nania berhenti sejenak karena kecapekan. Baju seragamnya basah oleh keringat. Tiba-tiba lampu mati dan suasana menjadi gelap. Nania mendengar suara benda jatuh dari lantai di atasnya dan terus menggelinding ke bawah. Sontak saja Nania kaget dan menjadi histeris lalu kembali menggedor-gedor pintu menara. Berhasil, kali ini pintu terbuka, Nania segera keluar. Di luar menara sudah berdiri kokoh tangga menuju ke kelasnya. Nania segera duduk di tangga untuk menenangkan dirinya, tak sengaja matanya menatap pintu menara. Aneh pintu itu tertutup rapat dan di kunci gerendel persis seperti terlihat setiap hari.
Nania menjadi semakin histeris dan lalu berlari menuju gerbang sekolah. Di koridor tanpa sengaja Nania menabrak Raymond. Raymond kebingungan melihat tingkah Nania.
” Nan kamu kenapa? Pagi-pagi udah lari-lari, mau ikut kompetisi?”
”Ray” Nania mengatur napasnya.
” itu Ray,” Nania masih berusaha mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.
” itu kenapa? ”
” Di menara Ray,” Nania masih terengah-engah.
” kenapa dengan menara?”
” Di menara Ray! Di menara!” bukannya semakin tenang Nania malah menjadi semakin histeris.
” iya kenapa memangnya?”
” Di menara…….di menara”
Gubrak! Nania jatuh tak sadarkan diri sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya.
” Nan, sadar ”
” Eh ada yang pingsan nih. Tolongin dong! ”Raymond meminta pertolongan.
Nania di bawa ke UKS. Walaupun sudah sadar Nania masih shock. Dia belum mau menceritakan apa yang menimpanya. Dan ketika ditanya lagi mengenai apa yang terjadi denganya, Nania mendadak tak sadarkan diri lagi. Kondisi Nania ini membuat petugas UKS menyuruh Raymond mengantarkan Nania pulang. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Nania diam saja. Raymond yang memegang setir mobil juga diam saja. Dia takut kalau-kalau Nania pingsan lagi jika di tanya tentang apa yang menimpanya. Tapi tiba-tiba Nania membuka suara.
” Ray ”
” Ya. Kenapa Nan? ”
” kamu betul Ray ”
” Soal apa? ”
” Menara ”
Raymond mendadak menghentikan mobilnya dan menepi.
” Kamu jangan bilang siapa-siapa Ray. Aku kalau ada yang denger nanti aku di sangka mau bikin sensasi doang.”
” Pasti. Ini rahasia kita berdua.”
Sudah seminggu Nania tidak masuk sekolah. Rasa takut membuat badannya ikut sakit karena terus memikirkan kejadian itu. Hari ini mungkin hari sial Nania karena harus berangkat pagi-pagi ke sekolahnya karena kakak yang biasa mengantarnya harus berangkat pagi-pagi juga ke kampus untuk mengurus acara di kampusnya hari ini. Nania berharap tak akan mendengar bunyi lonceng lagi hari ini. Sekolah masih sepi ketika ia datang. Di masukinya pintu sekolah dengan hati gundah. Tiba-tiba ia melihat sosok seorang murid laki-laki di lobi sekolah. Tak salah itu Daniel, siswa paling keren di sekolah Nania.
” Daniel? ”
” ya. Ada apa?” Daniel menoleh.
” Tumben pagi-pagi kamu sudah datang.”
” lagi pingin aja.” Daniel lalu berjalan ke koridor.
” Daniel kamu mau kemana?”
Daniel menghentikan langkahnya. ” kamu mau ikut ?”
” ke mana?” tanya Nania.
” ke menara ” Daniel tersenyum.
Hati Nania berdesir. Menara? Nggak salah? Tempat itukan berhantu.
” kenapa Nan? Tenang aja selama seminggu kamu nggak masuk, menara sudah di rapiin kok. Sekarang bisa difungsiin kembali.” Daniel kembali berjalan. Nania mengikutinya dari belakang.
Benar kata Daniel, menara telah menjelma menjadi tempat yang baru. Tak ada lagi debu yang menempel di daun pintunya. Kunci gerendelnya pun sudah tidak menggantung di situ.
” Masuk Nan.” Daniel mempersilakan Nania masuk. Nania mengikuti Daniel masuk ke dalam menara.
” Aneh kok bisa rapi gini.” Nania bingung.
” Dalam seminggu semuanya bisa terjadi.” Daniel tersenyum lalu menaiki tangga menuju puncak menara.
Nania mengikutinya. Hatinya berdesir ketika menaiki tangga besi tua itu. Sampai di puncak menara, Nania melihat Daniel membunyikan lonceng.
Kok di bunyiin Dan?”
” Aku lagi kangen aja sama sekolah zaman dulu. zaman ketika sekolah ini dalam masa jayanya” jawab Daniel.
” Kamu tiap hari ke sini?” Tanya Nania.
” Kenapa memangnya?” Daniel balik bertanya.
” Ah nggak apa-apa. Menurutku aneh aja kamu suka di sini. Biasanya kamu kan ada di perpustakaan atau di kerubuti cewek-cewek cheerleaders.” jawab Nania.
” Kadang kita perlu kembali ke masa lalu.” balas Daniel dingin. Nania bingung dengan jawaban Daniel. Belum sempat Nania menanyakan maksud kata-kata Daniel, bel listrik berbunyi tanda pelajaran akan di mulai.
” Dan, udah bel nih. Kamu nggak masuk kelas?”
” Kamu masuk aja duluan.”
”kok?”
” Sudah kubilang kadang kita perlu kembali ke masa lalu.”
” Kalau begitu aku ke kelas dulu ya?” Nania meninggalkan Daniel sendirian di menara. Angin dingin berhembus melalui tengkuk Nania ketia meninggalkan menara, membuatnya merinding.
Hari berikutnya Nania diantar ayahnya. Kakaknya semalam tidak pulang karena sibuk mengurus acara kampusnya. Tapi, pagi ini ayah ada rapat di kantor jadi mau tidak mau Nania harus ikut berangkat pagi-pagi lagi. Nasib!
Pagi ini, langit kembali mendung dan Nania sudah sampai di sekolah. Sepi, itulah yang di rasakan Nania menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Di langkahkan kakinya memasuki pintu sekolah. Sepi, belum ada orang. Teringat pertemuannya kemarin dengan Daniel, Nania memutuskan untuk pergi ke menara, siapa tahu Daniel sudah ada di sana. Lumayan pagi-pagi begini bisa ngobrol dengan orang secakep Daniel pikirnya. Nania melewati koridor menuju menara sekolah yang terletak di samping aula sekolah. Nania kaget setengah mati ketika tiba di depan pintu menara. Pintu itu terkunci rapat. Daun pintunya tebal di lapisi debu dan rantai kuncinya karatan. Bulu kuduk Nania tiba-tiba meremang dan sebuah tangan mendarat di bahunya. Nania kaget dan menjerit histeris.
” Nan, ini Raymond. Kamu kenapa lagi?”
” Raymond, tahu nggak, kamu udah bikin aku ketakutan.”
” Sorry, bukan maksudku begitu. Kamu ngapain di sini ?”
” Mau ketemu Daniel. Memang kenapa?”
” Nggak salah Nan? Daniel kan sekarang masih ada di Singapura. Dia lagi ikut training buat olimpiade Fisika nanti. Memangnya waktu kamu nggak masuk sekolah nggak ada yang ngasih tahu kamu?”
” Jadi kemarin yang ngajak aku naik ke menara siapa dong?”
” Hantu Nan!” jawab Raymond sambil menarik tangan Nania meninggalkan tempat itu.
” Sudah ku bilang kamu jangan dekat-dekat menara lagi, menara itu angker. Kata tetanggaku yang mantan penjaga sekolah ini katanya menara itu sudah sekitar lima puluh tahunan pintunya nggak dibuka” Raymond menjelaskan. Tanpa sengaja Raymond menabrak Pak Udin, petugas perpustakaan sekolahnya ketika melintasi perpustakaan.
” Maaf pak, saya nggak sengaja. Saya bantuin beresin barang bawaannya.” Raymond membantu Pak Udin membereskan buku-buku tua dan koran-koran tua yang jatuh dari tangan Pak Udin.
Nggak apa-apa mas, lain kali kalau jalan lihat-lihat. kok pagi-pagi jalannya sudah tergesa-gesa begitu kayak dikejar orang saja” kata Pak Udin tanpa merasa marah.
” kita bukan dikejar orang Pak, tapi di kejar…..” belum sempat Nania menyelesaikan kalimatnya. Raymond menginjak kakinya dan menyambung kalimatnya.
” Kami dikejar deadline majalah sekolah Pak” sambung Raymond cepat.
” Oh, ya sudah kalau begitu Bapak mau nyimpen buku-buku ini dulu. Kalian kerjakan saja tugasnya.” Pak Udin meninggalkan mereka berdua.
” Huh hampir saja” Raymond menghela napas.
” Yuk kita ke kelas saja ” ajak Raymond.
” Tunggu Ray! Bawaan pak udin ada yang ketinggalan.” Nania memungut kertas tua seukuran surat kabar di bawahnya.
” Apaan Nan?” tanya Raymond.
” Aku nggak tahu. Kayaknya koran jaman dulu deh. Tapi, aku nggak tahu isinya apa soalnya di tulis dalam bahasa belanda. Kamukan jago bahasa Belanda, terjemahin dong.” pinta Nania.
” Coba lihat? ” Raymond lalu membaca tulisan dalam kertas tersebut. Setelah membaca tulisan itu wajah Raymond menjadi pucat.
” Kenapa Ray? ” tanya Nania.
” Ini koran yang terbit lima puluh empat tahun yang lalu. Katanya dulu ada murid yang mati terbunuh di menara sekolah kita. Mayatnya jatuh menggelinding dari puncak menara sampai ke dasar menara. Mengerikan sekali ” jawab Raymond.
” Di sini juga ditulis kalau murid itu terbunuh tepat saat ia selesai membunyikan lonceng menara.” sambungnya lagi.
” jadi?”
Entah kenapa sebulan kemudian Kepala Sekolah Nania mendadak merenovasi menara menjadi semacam ruang latihan bagi siswa-siswa yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Semua menyaksikan penurunan lonceng tua besar di puncak menara. Lonceng itu dibersihkan lalu dibawa ke museum kota mengingat nilai sejarah yang di kandungnya. Sekarang menara telah selesai direnovasi. Pengalaman misteri Nania di menara sudah dilupakannya dan hanya saja Raymond yang tahu.
Setelah peristiwa yang mengerikan yang terjadi pada Nania, Raymond sekarang selalu berangkat sekolah bersama Nania, jadi ayah dan kakak tak perlu mengantar lagi. Pagi ini langit sedikit mendung dan mereka telah tiba di sekolah. Nania dan Raymond memasuki halaman sekolah dari pintu gerbang samping yang tidak terkunci.
” Eh jatuh, jatuh ” Nania tak sengaja menjatuhkan buku yang dipegangnya.
” kamu latah ya Nan? Tanya Raymond.
” please Ray, kamu jangan bilang sama orang lain. Kalau yang lain tahu pasti aku bakal dikerjain.” Nania memohon.
OK, tapi ada syaratnya.”
” apa Ray?”
” jatuhin bukunya!”
” Eh jatuhin bukunya, bukunya jatuh, jatuh eh lepas.” Nania refleks melemparkan buku yang dipegangnya sementara Raymond tertawa terbahak-bahak.
” Raymond awas kamu!” Nania memungut bukunya dan memukulkannya pada Raymond.
” Aduh sakit Nan.”
” Ampun Nan”
Di tengah asyiknya mereka bercanda. Tiba-tiba mereka mendengar lonceng berdentang dari puncak menara. Mereka terdiam berpandangan. Langit mendung, angin berhembus menggugurkan daun-daun pohon beringin tua yang sudah layu. Lonceng masih berdentang. Raymond dan Nania ikut menyaksikan penurunan lonceng itu hanya bisa berdiri memandangi puncak menara di bawah rimbunnya beringin tua. Bulu kuduk Nania dan Raymond meremang, keringat dingin menetes keluar. Lonceng masih berdentang dan mereka baru ingat kalau hari ini sekolah libur karena berkabung atas kematian seorang murid yang mati terbunuh di sekolah lima puluh empat tahun yang lalu.
Penulis : Juara 1 penulis cerpen remaja tingkat provinsi jawa tengah tahun 2004 yang di selenggarakan oleh Balai Bahasa Semarang.
Sumber: http://gurupembaharu.com/home/?p=8092
0 comments:
Posting Komentar