Suatu malam di sebuah ruangan di SMA N 5 Jakarta, beberapa orang
berkumpul membentuk lingkaran. Mereka semua memakai jubah hitam. Di
tengah-tengah lingkaran, seseorang berdiri sambil mengucapkan sebuah kalimat
dengan bahasa asing.
Dari luar lingkaran, seseorang yang juga memakai jubah hitam membawakan
nampan yang di atasnya terdapat sebuah tengkorak. Dia berjalan memasuki
lingkaran.
Orang berjubah hitam yang berdiri di tengah mengambil tengkorak
tersebut dan meletakknya di lantai tepat di tengah-tengah lingkaran.
Orang-orang yang berdiri membentuk lingkaran itu lalu berpegangan
tangan. Mereka berdiri di atas lantai yang digambar sebuah bintang dengan
lingkaran yang menyinggung kelima sudutnya.
“Kepada iblis yang menguasai samudera. Kepada setan yang menguasai
lautan.” kata orang yang berdiri di tengah lingkaran.
Mereka yang membentuk lingkaran berbisik seperti mengucapkan mantra.
Terdengar seperti bahasa ular.
“Kami memohon kepadamu. Izinkanlah kami memakai kekuatanmu.” lanjut
seseorang di tengah lingkaran sambil mengangkat tangannya.
Orang-orang di lingkaran mempererat pegangan tangan mereka. Mereka
terus membacakan matra yang terus keluar dari mulut mereka.
Orang berjubah yang berdiri di tengah lingkaran kini tak lagi
mengangkat tangannya. Ia kini memegang kalung yang ia pakai dengan kedua
tangannya. Kalung itu berbentuk seperti simbol Baphomet.
Lingkaran kemudian berhenti mengucapkan mantra. Mereka melepaskan
pegangan tangan. Kepala mereka kini mengarah ke depan, melihat orang berjubah
yang berdiri di tengah-tengah. Wajah mereka seperti menunggu sebuah berita yang
amat besar.
Orang di tengah lingkaran melepaskan genggaman dari kalungnya. Ia
kemudian membuka penutup kepalanya perlahan. Matanya menatap lurus memandang
orang-orang di sekelilingnya. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang amat sangat.
Perlahan ia mulai membuka mulutnya.
“Kita masih ada.” kata orang berjubah di tengah lingkaran.
Suasana hening selama beberapa detik. Orang berjubah di tengah
lingkaran berjalan perlahan ke pinggir lingkaran sambil menundukkan kepalanya.
“Tapi kita tidak boleh terlihat.”
Orang-orang yang membentuk lingkaran terdiam tidak berkata-kata. Mereka
telah mendengar sebuah berita dari Grand Master.
Mereka lalu membubarkan diri dari lingkaran. Ritual yang mereka lakukan
telah selesai.
Salah seorang berjubah hitam yang tadi berdiri di lingkaran mendekati Grand
Master yang masih berdiri di atas lantai bergambar bintang.
“Mari, Master. Kita harus meninggalkan tempat ini. Upacara telah
selesai.” kata orang berjubah yang tadi berdiri di lingkaran.
“Tinggalkan aku di sini. Masih ada yang ingin aku lakukan.” kata
laki-laki di depannya.
Orang berjubah tadi lalu meninggalkannya.
Grand Master itu kini sendiri di ruangan itu. Dia berjalan ke
tengah-tengah bintang. Ia berdiri sejenak sambil memandang ke sekeliling
ruangan. Kemudian ia menggenggam kalung yang ia kenakan. Kepalanya tertunduk.
Ia kemudian berlutut.
“Setelah 13 tahun yang telah kami lewati...” laki-laki itu terisak dan
akhirnya meneteskan air matanya, “akhirnya saat seperti ini datang.”
TUJUH TAHUN KEMUDIAN
Di sebuah kelas di lantai dua SMA N 5 Jakarta, beberapa siswa berkumpul
di sebuah meja. Mereka mengerubungi seseorang yang duduk di sebuah kursi.
“Lo serius?” tanya Angel. Seorang siswi bertubuh tinggi dan
berkerudung.
“Coba aja lo liat di Google Maps, terus lo cari Bundaran Hotel
Indonesia. Di situ pasti lo bisa liat ada mata, jelas banget.” kata Ravie. Ia
sedikit menekankan kata ‘jelas’ dalam pengucapannya.
Ravie adalah siswa di kelas XI IPS 4. Ia dikenal dengan koleksi
novel-novel misteri yang sering ia bawa ke sekolah. Teman-temannya juga
mengetahui kalau Ravie adalah pecinta cerita misteri.
“Lo pasti suka baca buku sejarah ya?” tanya Timotius.
“Enggak. Gue nggak suka sejarah. Gue lebih suka baca novel. Soalnya
novel lebih ngungkapin apa yang dunia nggak tau.”
“Kalo dunia nggak tau, kenapa penulis novelnya bisa tau?” tanya Bams.
“Itu dia yang sering jadi pertanyaan orang-orang. Tapi pertanyaan itu
nggak jadi masalah buat gue. Soalnya pemikiran gue sama kayak George
Washington. Dia pernah bilang, ‘Cara terbaik menyembunyikan sebuah rahasia
adalah dengan meletakkannya di tempat umum’.”
“Terus jawabannya?” Bams kembali bertanya.
“Ya jangan tanya gue. Lo tanya langsung aja ke penulisnya.”
“Terus apa lagi yang lo tau?” tanya Timotius.
“Masih banyak. Tapi nanti aja. Gue mau shalat Jum’at dulu. Lagian kan
lo lo pada juga ada keputrian sama kebaktian.” jawab Ravie.
“Oke. Kita lanjutin nanti lagi.” kata Timotius.
Umat Islam pada siang ini melaksanakan ibadah Shalat Jum’at, termasuk
warga SMA N 5 Jakarta. Mereka melakukannya di masjid An Nur yang dibangun di
sebelah barat gedung SMA N 5 Jakarta.
Kaum muslimah melakukan pendidikan kerohanian Islam di ruangan yang
sudah ditentukan. Penganut agama lain juga melakukan hal yang sama di ruangan
lain.
Shalat Jum’at selesai dilaksanakan. Ibu Melati, seorang guru kesiswaan
sedang berjalan di koridor lantai tiga. Ia melihat sebuah noda darah di lantai
koridor. Seperti sebuah mayat yang berlumuran darah yang diseret. Noda darah
itu berhenti di depan Laboratorium Bahasa.
Ibu Melati langsung menuju ke ruang kepala sekolah dan melaporkan apa
yang ia lihat.
“Pak, maaf mengganggu. Ada sesuatu yang...” Ibu Melati tidak meneruskan
kata-katanya.
“Kenapa , Bu?” tanya Bapak Supandji, Kepala Sekolah di SMA N 5 Jakarta.
“Itu pak, anu. Ada darah di lantai tiga.”
“Darah apa?”
“Darah, Pak. Di depan Lab Bahasa. Banyak banget, Pak. Saya sampe
kaget.”
“Ah, masa? Saya lihat dulu.”
Pak Supandji lalu naik ke lantai tiga untuk melihat darah yang
diceritakan Ibu Melati. Ia menuju ke Laboratorium Bahasa yang belum pernah
digunakan. Di depan ruangan itu sudah dikerumuni siswa-siswi yang penasaran
dengan bercak darah yang mereka lihat.
Pak Supandji terkejut melihat apa yang ada di depan matanya. Ia lalu
mencoba membuka pintu Laboratorium Bahasa, tetapi terkunci.
“Panggil Mang Adang. Suruh dia buka ruangan ini.” kata Pak Supandji.
Ibu Melati langsung memanggil Mang Adang. Mang Adang pun membukakan
pintu ruang Laboratorium Bahasa yang terkunci.
Pak Supandji mendorong pintu Laboratorium Bahasa. Ruangan kemudian
terbuka. Siswa-siswi yang melihat ke dalam ruangan terkejut dengan apa yang
mereka lihat. Pak Supandji terdiam, kakinya terasa seperti tak beralaskan
tanah. Ibu Melati terkejut sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
“Astaghfirullah...” kata Mang Adang. Logat Betawinya masih kental.
Seorang siswa tergeletak lemas bersimbah darah di sekujur tubuhnya.
Jaket abu-abunya masih terpasang di tubuhnya. Di bagian lehernya terlihat
seperti luka sayat. Lehernya terus mengeluarkan darah.
“Tolong hubungi ICA secepatnya.” kata Pak Supandji.
ICA kepanjangan dari Indonesian Central Agency, adalah sebuah badan
intelijen yang terdapat di Indonesia. Agensi mengatasi beberapa kasus kriminal
dan menyelidiki aktifitas tersembunyi yang dilakukan masyarakat.
Berita tentang ditemukannya mayat seorang siswa langsung menyebar ke
seantero sekolah. Para siswa-siswi langsung menyampaikan berita dari bibir ke
bibir, dari telinga ke telinga.
Ravie dengan cepat mengetahui berita kematian siswa tersebut. Ia segera
menghubungi kakaknya, Henry Pratama, pakar simbol yang bekerja di ICA. Ia menguhubungi
kakaknya melalui ponselnya.
“Kak Henry, ada pembunuhan serius di sekolah aku.” kata Ravie.
“Iya. Kakak udah tau. Baru aja atasan kakak ngubungin kakak.” kata
Henry dari telepon. “Kakak segera ke lapangan.”
“Oke kak.” kata Ravie. Ia lalu memutus sambungan telepon.
Dalam waktu beberapa menit, ICA sudah berada di SMA N 5 Jakarta. ICA
mengirimkan dua orang agen yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus di SMA N 5
Jakarta. Mereka berdua membawa masing-masing satu tas jinjing berukuran agak
besar.
Kedua agen itu memasuki TKP dan meletakkan tas yang mereka bawa.
Seorang agen membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah senter kecil yang
mengeluarkan sinar ultraviolet. Agen yang satunya lagi mengenakan sarung tangan
silikon yang diambilnya dari tas.
Agen yang memegang senter menyelidiki daerah di sekeliling mayat. Agen
yang satunya memeriksa tubuh mayat.
Agen yang menyelidiki mayat memeriksa semua kantung yang ada di pakaian
korban. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku baju seragam mayat. Ia menemukan
bungkusan plastik di dalam kantung. Ia membersihkan darah yang menempel di
plastik itu. Ternyata plastik itu berisikan sebuah kertas. Kertas itu
bertuliskan LVIIIm.
“Agen M. Saya menemukan ini.” kata Agen HP.
“Coba aku lihat.” kata Agen M. Ia kemudian mengambil barang yang ada di
tangan Agen HP.
Agen M mengamati barang yang ia pegang. Ia melihat secarik kertas
dengan angka romawi yang dibungkus plastik.
“Agen HP, jadikan ini sebagai barang bukti.” kata Agen M.
“Baiklah.” jawab Agen HP. Barang itu kemudian dimasukkan ke dalam
bungkusan plastik berwarna biru, lalu menutupnya.
Kedua agen tersebut lalu merapihkan peralatan mereka. Mereka lalu
berdiri dan mendekati Pak Supandji.
“Kami sudah selesai, Pak. Kami akan menghubungi bapak jika kami sudah
berhasil menyelidiki kasus ini.”
“Saya tunggu kabar selanjutnya.” kata Pak Supandji.
Kedua agen dari ICA tersebut kemudian meninggal TKP.
“Udah, udah, bubar semuanya.” kata Mang Adang seraya mengibaskan tangannya
seperti mngusir kucing yang mencuri ikan.
Setelah kedua agen dari ICA pergi, Mang Adang dan beberapa petugas
medis yang juga dari ICA memulai untuk memindahkan mayat ke dalam mobil
Ambulance untuk selanjutnya diotopsi di rumah sakit terdekat.
Angel menghampiri Ravie dan memberitahukan kepada Ravie tentang barang
yang ditemukan di kantung korban.
“Jadi gini, Pi. Tadi kan gue ikut liat tuh gimana ICA nyelidikinnya,
terus mereka nemuin kayak bungkusan gitu. Di dalemnya ada kertasnya. Kalo nggak
salah ada tulisannya LVIIIm, tapi huruf ‘m’ nya kecil.” jelas Angel.
“Terus ada apa lagi?” tanya Ravie.
“Kayaknya sih nggak ada lagi. Abis itu langsung pergi agennya.”
Ravie terdiam. Wajahnya terlihat seperti memikirkan sesuatu. Sesuatu
yang baru saja dijelaskan Angle sama sekali belum pernah didengarnya. Yang ia
ketahui hanya LVIII adalah sebuah angka Romawi yang artinya 58. Ia tidak
mengetahui maksud dari huruf ‘m’ di belakangnya.
“Oke. Makasih ya.” kata Ravie.
“Sama-sama.” jawab Angel. Angel kemudian meninggalkan Ravie dan masuk
ke kelas.
Ravie masih berdiri di depan kelasnya. Ia masih bingung memikirkan
maksud dari LVIIIm. Ia masih bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa ada angka 58
dalam kasus pembunuhan ini? Dan apa maksud dari huruf ‘m’ di akhir angka?
Bams berjalan di depan Ravie. Ia sedang asik dengan ponselnya. Bahkan
ia tidak memperhatikan jalan di depannya.
“Eh, Bams...” kata Ravie memanggil Bams.
“Apaan?” jawab Bams.
“Udah tau info tentang pembunuhan tadi?”
“Sedikit. Emang kenapa?”
“Tau nggak yang ada di kantong mayatnya?”
“Kertas maksud lo?”
“Iya. Di situ ada tulisan LVIIIm. Lo tau nggak maksudnya apaan?”
“Tau.”
“Jelasin dong, Bams.”
“Sebenernya namanya Caput LVIIIm. Lambang itu sering dipake di upacara
ritual penyembahan setan. Kalo menurut buku yang gue baca, LVIIIm artinya Maria
Magdalena. LVIII kalo di Romawi artinya 58. Kalo dipisahin 5 + 8 = 13. Angka 13
sering disebut-sebut angka setan. Kalo orang awam bilangnya angka sial. Huruf
‘m’ kecil di belakangnya artinya angka 13. Soalnya di urutan abjad huruf latin,
huruf M itu ada di urutan 13. Kalo diartiin, LVIIIm itu artinya 1313. Kalo
dijadiin huruf, jadinya MM. MM itu singkatan dari Maria Magdalena.” jelas Bams.
“Lo kok tau?”
“Internet.” kata Bams dengan nada bercanda.
“Gue kira lo pengikut penyembah setan.” kata Ravie sambil tersenyum.
“Enggak lah.” sahut Bams dengan wajah aneh.
“Maria Magdalena yang ada di Injil kan? Dia bukannya pelacur ya?”
“Kalo menurut gue dia bukan pelacur. Dia cuma perempuan biasa.”
“Terus kenapa ada yang bilang kalo dia pelacur?”
“Emang ngebingungin sih. Soalnya ada yang ngaitin sama cerita di Injil
Yohanes pasal 8. Di situ diceritain kalo ada seorang wanita yang ketauan lagi
zina. Ada juga yang ngaitin sama Injil Lukas. Di situ dijelasin ada perempuan
berdosa yang nggak disebutin namanya yang ngebasahin kaki Yesus pake aer
matanya, terus diseka sama rambutnya. Terus kaki Yesus dicium sama diminyakin
pake minyak wangi.”
“Terus?”
“Ada juga yang bilang kalo Maria Magdalena sama Maria dari Betania itu
orang yang sama. Padahal kalo gue bilang nggak ada hubungannya. Soalnya Maria
dari Betania itu kan saudarinya Marta sama Lazarus. Tapi nama mereka sering
disebut Santa Maria Magdalena di gereja Ritus Barat. Kalo di Ritus Timur
nganggep mereka beda.”
“Terus Maria Magdalena sebenernya siapa?”
“Di Injil dijelasin kalo dia itu salah satu dari perempuan-perempuan
yang menyertai Yesus sama para rasul sejak perjalanan pengabaran Injil di
Galilea. Jadi ada dua belas murid yang sama Yesus, ada juga beberapa perempuan
yang disembuhin dari roh jahat. Salah satu perempuan itu Maria yang disebut
Magdalena. Maria Magdalena juga berdiri di kaki salib waktu penyaliban.
Dijelasin di Injil Markus, Matius, sama Yohanes. Dia juga jadi saksi waktu
pemakaman Yesus. Di hari Minggu Paskah, dia orang pertama yang tau kalo makam
Yesus kosong. Dia juga orang pertama yang ngeliat Yesus bangkit.”
“Lo Islam kan?” tanya Ravie dengan wajah penasaran.
“Iya.”
“Kok lo tau banyak isi Injil?”
“Kan ada Wikipedia.” jawab Bams sambil tersenyum dan mengangkat
alisnya.
“Gue kira lo pindah agama.” kata Ravie sambil sedikit tertawa.
“Gila aja lo.”
“Tapi kok di TKP ada kertas yang tulisannya LVIIIm di kantong baju
korban ya?”
“Hah? Emang iya?”
“Iya. Tadi Angel yang ngasih tau gue.”
“Serius?”
“Iya. Emang kenapa sih?”
“Ehh, enggak. nggak kenapa-kenapa.” jawab Bams dengan wajah aneh.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. mereke berdua memasuki kelas. Pelajaran
dilanjutkan selama sembilan puluh menit.
Kelas XI IPS 4 sekarang sedang mempelajari materi Sosiologi. Ibu
Merlina sedang mnejelaskan materi di depan kelas. Wajahnya khas sekali dengan
bibirnya yang jarang tersenyum. Siswa-siswi yang diajarnya pun akan merasa
segan untuk tersenyum, apalagi berbicara walaupun dengan cara berbisik.
Pada saat perlajaran berlangsung, Bams meminta izin untuk pergi ke
kamar mandi. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk sekedar buang air kecil.
Pada saat keluar dari kamar mandi, seseorang tiba-tiba saja menjerat
lehernya dari belakang. Bams langsung memberontak. Ia langsung menarik tali
yang menjerat lehernya supaya talinya menjauh. Ia berusaha menoleh ke arah
belakang untuk mengetahui siapa yang menyerangnya, tetapi lehernya tidak bisa
digerakkan. Bams terus menarik talinya, tetapi orang di belakangnya terus saja
mengencangkan talinya. Bams masih berusaha menarik tali yang menjerat lehernya.
Tetapi tubuhnya semakin lemas. Ia mulai kehilangan rasa di bagian kakinya. Bams
berusaha untuk berteriak, tetapi suaranya tidak bisa keluar. Kakinya lemas dan
akhirnya ia terjatuh. Tangannya masih memegangi tali di lehernya. Ia masih
berusaha menarik tali di lehernya. Tetapi tangannya mulai dingin. Ia mulai
kehilangan rasa di kedua tangannya. Tangannya lemas dan tidak bisa digerakkan.
Orang di belakang Bams masih memegang tali yang menjerat Bams. Ia terus
menarik talinya ke arah tubuhnya. Tali itu menutup saluran tenggorokan Bams dan
menghentikan produksi oksigen ke otak. Tubuh Bams langsung melemas dan tak
bergerak. Matanya terpejam dan wajahnya pucat. Orang di belakang Bams lalu
melepaskan tali di leher Bams dan meninggalkan tubuh Bams tergeletak di toilet.
Di kelas XI IPS 4, Ibu Merlina masih menerangkan materinya. Tetapi
materinya terhenti tiba-tiba karena salah seorang siswi dari kelas lain
mengetuk pitu kelas dengan keras.
Seisi kelas langsung menoleh memperhatikan orang yang berdiri di ambang
pintu kelas.
“Maaf, Bu. Saya liat Bams. Dia di toilet. Mukanya pucet. Saya udah coba
bangunin, tapi dia nggak ada respon, Bu.”
“Bams? Bams temen kalian yang tadi ke toilet ya?” bertanya kepada seisi
kelas.
“Iya, Bu.” jawab Angel yang duduk tepat di depan meja guru.
“Ya ampun. Kenapa dia?” menoleh ke siswi yang berdiri di pintu.
“Nggak tau, Bu. Saya nemuin dia udah kegeletak di lantai toilet.” jawab
siswi dari kelas lain.
“Ketua kelas kalian mana?”
“Bams ketua kelas, Bu.”
“Astaga.” kata Ibu Merlina sambil berjalan cepat ke arah pintu kelas.
Ibu Merlina lalu berjalan cepat ke luar ruang kelas. Ia lalu menikung
ke kiri, ke arah toilet. Ia memasuki toilet dan terkejut dengan apa yang
dilihatnya. Ia melihat seorang siswa terbaring lemas di atas lantai toilet
dengan posisi tubuh menghadap ke arah bawah.
Ibu Merlina menyentuh tangan Bams yang pucat. Ia terkejut sekali karena
tangan Bams dingin sekali.
“Bams?” kata Ibu Merlina sambil menggoyang-goyangkan tubuh Bams.
Tubuh Bams tidak bergerak sama sekali.
Ibu Merlina lalu menyentuh leher Bams. Tapi ia tidak merasakan denyut
nadi.
Angel dan Ravie tiba-tiba datang memasuki toilet. Ravie melihat posisi
tubuh Bams yang tergeletak menghadap ke bawah. Angle terkejut sambil menutup
mulutnya.
“Ya ampun.” kata Angel.
“Ehh, John The Baptist.” gumam Ravie.
“Maksud lo?”
“Eh, enggak.”
“Kalian, ayo buru dong bantuin Ibu. Ini temen kalian nggak sadar.” kata
Ibu Merlina dengan nada marah.
Ravie, Angel, dan siswi dari kelas lain tersebut kemudian membantu
mengangkat tubuh Bams dan membawanya ke ruang UKS.
Di ruang UKS, Bams dibaringkan di atas tempat tidur. Ravie membuka
kotak P3K dan mengambil sebotol alkohol. Angel lalu memberikan Ravie secarik
kapas. Ravie kemudian membasahi kapas tersebut dengan alkohol yang ia pegang.
“Lo tanggap juga ternyata.” kata Ravie.
“Gue pernah ngalamin. Waktu itu hari Jum’at juga. Gue pingsan, terus
gue dibawa ke sini. Terus temen gue ngelakuin hal yang sama.” jelas Angel.
“Pengalaman. Guru terbae.” gumam Ravie.
Kemudian Ravie mendekatkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke
hidung Bams. Ravie mengibaskan kapas itu di dekat hidung Bams. Beberapa kali ia
melakukan hal yang sama, tetapi tidak ada respon dari Bams. Ravie tidak
merasakan suhu hangat di dekat hidung Bams. Ia mendekatkan jarinya ke hidung
Bams.
“Ih, nggak napas.” kata Ravie.
“Serius?” tanya Angel tidak percaya.
Angel kemudian melakukan hal yang sama seperti Ravie. Ia tidak
merasakan hangat di dekat hidung Bams.
“Ya ampun. Beneran nggak napas.” kata Angel terkejut.
“Dibawa ke rumah sakit aja, Bu.” kata Ravie.
Bams kemudian dibawa ke rumah sakit. Mobil ambulance datang setelah
beberapa menit dihubungi.
Pelajaran dilanjutkan kembali. Ibu Merlina kembali menerangkan
pelajaran di kelas. Ibu Merlina sedang menuliskan materinya di papan tulis.
Tiba-tiba pengeras suara berbunyi bel.
“Mohon maaf kepada Bapak/Ibu guru yang sedang mengajar di kelas.” suara
seorang guru wanita sedang berbicara di pengeras suara.
“Berita duka cita. Telah meninggal dunia seorang siswa dari kelas XI IPS
4 yang bernama Reordan Bams karena menderita gagal nafas. Almarhum meninggal
pada hari ini pukul 13.24 siang tadi. Kepada seluruh ketua kelas harap ke ruang
wakil untuk menerima amplop yang nantinya akan diisi uang untuk santunan.
Terima kasih.”
Suasana XI IPS 4 saat ini langsung berganti duka. SMA N 5 Jakarta hari
ini terpaksa dipulangkan lebih awal. Beberapa siswa-siswi teman Bams menangis
haru. Bahkan Ravie teman dekatnya hanya bisa terdiam duduk sambil memegangi tas
Bams.
Ravie termenung sambil memegangi tas Bams. Ia duduk sendiri di pinggir
lapangan sekolah di dekat tiang bendera. Tiba-tiba sebuah telapak tangan
menyentuh bahu Ravie.
Angel menepuk bahu Ravie. Ia kemudian ikut duduk di samping Ravie yang
sejak tadi masih memegangi tas Bams. Matanya masih membengkak karena menangis
mengenang Bams.
“Mau lo apain tasnya?” tanya Angel. Suaranya masih terdengar parau.
“Rencananya mau gue kembaliin ke orang tuanya.” jawab Ravie.
“Kapan?”
“Mungkin nanti.”
Ravie memegangi tas Bams. Ia meraba bagian depan tas Bams yang
menggembung. Seperti ada sesuatu yang keras di dalam tas Bams. Bentuknya
seperti sebuah kotak. Karena penasaran, Ravie kemudian membuka resleting bagian
depan tas Bams. Di dalam tasnya ternyata terdapat sebuah kotak berwarna hitam.
Terlihat seperti sebuah kotak perhiasan yang biasanya disertai dalam pembelian
kalung.
Ravie mengambil kotak tersebut. Ia menggerakkan kotak itu. Di dalam
kotak itu seperti ada sesuatu yang berat. Ia kemudian membuka kotak itu. Di
dalam kotak itu terdapat sebuah kalung berbentuk bintang terbalik yang
dilingkari. Di kotak itu terdapat sebuah kertas yang ditempel. Kertas itu
bertuliskan sebuah kalimat dengan bahasa Latin yang berbunyi ‘Novus Ordo
Seclorum’.
“Novus Ordo Seclorum.” kata Ravie membaca keliamat yang terdapat di
kotak tersebut.
“Maksudnya?” tanya Angel.
“Kalo ditranslet ke Indonesia artinya Dunia Baru yang Sekuler.
Kata-kata itu sering diucapin sama pemuja iblis di Amerika.”
“Kenapa ada di tasnya Bams?”
“Jangan-jangan Bams...” Ravie tidak meneruskan kata-katanya. “Astaga!
Yohanes.”
“Maksud lo?”
“Yohanes. Lo liat nggak tadi pas di toilet tangannya Bams mirip
tangannya Yohanes. Dia nunjuk sesuatu.”
“Siapa Yohanes?”
“Di sejarah, dia disebut John The Baptist. Soalnya dia suka ngebaptis
orang. Dia anak dari sepupu
Maria, ibu Yesus. Kalo di Katolik, Yohanes disimbolin dengan petapa yang
pakeannya dari bulu domba yang lagi kotbah. Dia lagi bersanding sama seekor
domba dan tanggal peringatannya 24 Juni sama 29 Agustus.”
“Terus hubungannya sama Bams?”
“Di sejarah, Yohanes pernah ngbaptis Yesus.
Nggak lama setelah dia ngebaptis Yesus, dia dipenjara soalnya dia ngecam
pernikahan Raja Herodes Antipas sama Herodias, isteri sodara sepupunya. Waktu
pesta di istana, Herodes lagi bersukaria sama tarian Salome, putri Herodias,
terus Herodes janji bakal ngasi apa aja yang diminta. Salome minta sama
Herodias buat menggal kepala Yohanes. Akhirnya Herodes ngasi perintah buat
menggal kepala Yohanes. Kisahnya dijelasin di Injil Sinoptik, Matius, Markus,
sama Lukas.”
“Maksud lo?”
“Kepala Yohanes yang udah dipenggal sering
dihubung-hubungin sama upacara pemujaan setan Di upacara pemujaan setan, sering
ada tengkorak yang dipake di upacara itu, biasanya ditaro di atas nampan.
Tengkorak itu dari kepalanya Yohanes.”
“Terus hubungannya sama kalung Bams?”
“Lo tau nggak ini simbol apa?”
Angel hanya menggeleng.
“Simbol ini namanya Baphomet. Simbol ini sering
dipake di upacara pemujaan setan. Biasanya digambarin dengan kepala kambing
bertanduk. Tapi lebih sering digambarin dengan bintang kebalik yang dilingkarin.”
“Tapi kenapa tadi di toilet lo bilang John The
Baptist?”
“Lo liat nggak tadi tangan kanannya Bams?
Jarinya nunjuk ke atas. Persis kayak lukisan Yohanes yang dibuat sama Leonardo
DaVinci. Itu nggak biasa banget.”
Angel hanya terdiam mendengar penjelasan dari
Ravie. Dia masih tidak percaya dengan apa yang telah diberitahukan Ravie
kepadanya.
Ravie kembali melihat kertas yang menempel di
kotak tempat ia menemukan kalung bersimbol bintang. Kertasnya seperti ditempel
secara asal. Ia mencoba melepas kertas itu. Ternyata kertas itu hanya ditempel
di bagian atasnya saja dengan pita perekat dua bagian. Dengan mudah, ia melepas
kertas itu.
Ravie membalik kertas itu. Di bagian belakang
kertas itu ternyata masih ada tulisan. Seperti tulisan tangan namun sangat
rapih. Sebuah kalimat dengan gaya tulisan yang biasanya terdapat di piagam penghargaan.
Kalimat itu berbunyi ‘Diberikan Kepada Setiap Generasi Selanjutnya’.
“Ya ampun. Ternyata Bams pengikut mereka.” kata
Ravie dengan nada tidak percaya.
Angel yang melihat kalimat itu hanya bisa
terdiam tidak percaya.
Ravie dan Angel saling pandang selama beberapa
saat. Kemudian mereka langsung bangkit dari duduknya dan berlari menuju tangga
sebelah barat. Mereka berlari menaiki tangga menuju ke lantai dua. Langkah mereka
cepat, sepertinya pikiran mereka berdua sama.
Di lantai dua, mereka langsung menikung ke
kanan dan langsung memasuki toilet tempat tubuh Bams ditemukan. Mereka berdua
menghentikan langkah mereka di tempat tubuh Bams tergeletak. Mereka lalu
melihat ke arah atas secara bersamaan, dan terkejut dengan apa yang mereka
lihat. Di langit-langit toilet tempat Bams tergeletak terdapat sebuah simbol
yang hampir tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.
Simbol itu dilukis dengan cat hijau yang hampir
sama dengan warna yang terdapat di sekitarnya. Simbol itu berbentuk segitiga
sama sisi dengan sebuah mata yang terdapat di tengahnya.
“All-Seeing-Eye.” gumam Angel.
“Lo tau simbol itu?” tanya Ravie.
“Gue pernah diceritain sama nyokap gue. Waktu
itu nyokap gue pulang dari Amerika, dan dia bawa uang One Dollar Amerika. Di
uang itu ada simbol All-Seeing-Eye.” jelas Angel.
Ravie berfikir sejenak. Wajahnya terlihat
seperti orang yang penasaran. Ia memandang ke sekeliling toilet. “Ada yang
janggal. Kayaknya kematian Bams bukan karena gagal nafas. Dia pasti dibunuh.”
“Maksud lo?”
“Lo liat nggak tadi ada bekas jeratan di
lehernya Bams?”
Angel menggeleng.
“Itu pasti bukan bekas biasa.” kata Ravie. Ia
menghentikan. Ia berjalan ke sekitar tempat Bams ditemukan tergeletak. “Pasti
ada yang ngerencanain ini semua.” kata Ravie sambil terus melangkah perlahan.
Kemudian ia merendahkan tubuhnya, lalu jari-jari tangannya menyentuh lanti
toilet. Ravie menoleh ke arah Angel dengan wajah datar. “Bams pasti dibunuh.”
Tiba-tiba Mang Adang sudah berdiri di pintu
toilet. “Heh, pada pulang.”
“Iya, Mang.” kata Angel.
Ravie dan Angel kemudian keluar dari toilet dan
meniggalkan sekolah. Mereka berjalan melintasi lapangan SMA N 5 Jakarta yang
sunyi.
Ravie dan Angel menuju parkiran motor. Mereka
berhenti sejenak setelah menjauh dari Mang Adang.
“Lo mau ikut gue nggak ke rumah Bams?” tanya
Ravie.
“Ya udah. Gue ikut.” jawab Angel.
Mereka lalu meninggalkan lokasi SMA N 5 Jakarta
dengan menggunakan sepeda motor milik Ravie.
Sepeda motor Ravie melaju cepat di jalan raya.
Mereka dalam perjalanan menuju kawasan Sunter. Mereka melewati beberapa
tikungan yang agak tajam. Setelah hampir mendekati Sunter Mall, mereka berhenti
di depan sebuah rumah dengan pagar yang tertutup rapat.
Ravie mematikan mesin sepeda motornya. Ia
menurunkan standar sepeda motornya, lalu mendekati pagar rumah Bams. Ia menekan
tombol bel. Suara bel terdengar dari dalam rumah. Beberapa kali ia menekan bel,
tetapi tidak ada satu orang pun yang keluar dari dalam rumah.
Angel yang berdiri bersandar di sepeda motor
Ravie hanya bisa menunggu sambil melihat kendaraan yang melintas di jalan raya
di belakangya.
Ravie kembali menekan bel. Dengan sabar ia
menunggu seseorang keluar dari dalam rumah Bams. Setelah mekan bel untuk ke
sekian kalinya, akhirnya seorang wanita keluar dari dalam rumah. Wanita itu
membukakan pagar dan mempersilahkan Ravie dan Angel masuk.
Ravie dan Angel duduk di halaman depan rumah
Bams yang suasananya sunyi. Wanita yang tadi mempersilahkan mereka masuk
ternyata adalah Ibunda Bams.
“Maaf, Tante, ganggu siang-siang gini. Kamic
cuma mau ngembaliin tasnya Bams.” kata Ravie. Ia lalu menyerahkan tas Bams
kepada Ibunda Bams.
“Terima kasih, ya.” kata Ibunda Bams sambil
sedikit menyunggingkan senyumnya. “Tante bener-bener nggak nyangka kalo dia
bakal pergi secepet ini.”
“Iya, Tante. Kami dan temen-temen juga nggak
nyangka banget.” sahut Angel.
“Padahal dia anaknya baik banget. Kalo dia maen
pulangnya malem, dia suka bawain Tante makanan.” kata Ibunda Bams. Nada
suaranya terdengar seperti menahan tangis, tetapi wajahnya masih tetap
tersenyum.
“Iya, Tante. Dia juga pinter. Dia sering sering
bantuin saya di sekolah kalo nggak ngerti pelajaran.” kata Angel.
“Sebelumnya maaf, Tante. Saya mau nanya
sesuatu, mungkin agak privasi.” kata Ravie. “Tante nggak keberatan kan?”
“Iya. Nggak apa-apa. Tanya aja.” kata Ibunda
Bams.
“Maaf ya, Tante. Bams pernah ikut kayak
organisasi gitu nggak selain yang di sekolah?”
“Kayaknya sih nggak pernah.”
“Terus, Tante, mungkin Bams atau siapa gitu dari
keluarga Tante, ada nggak yang pernah berhubungan sama …” Ravie berhenti
sejenak memikirkan kata yang tepat. “… hal-hal yang berbau mistik?”
“Kalo dari keluarga Tante sih nggak ada. Tapi
kakek dari Papahnya Bams, dia pernah punya aktivitas aneh, tiap malem dia duduk
di kamarnya yang cuma pake lilin, terus pake jubah item. Tante nggak tau
kakeknya Bams ngapain. Tapi kakeknya udah meninggal.”
“Kakeknya Bams punya benda-benda aneh kayak
semacem koin, gelang, atau kalung nggak, Tante?”
“Kayaknya Tante pernah liat. Kakeknya Bams
pernah pake kalung, bentuknya lingkaran. Tapi Tante nggak tau sekarang
kalungnya di mana. Emang kenapa?”
“Ehm, enggak kenapa-kenapa, Tante. Cuma mau
nanya doang.” kata Ravie.
Setelah beberapa menit berbincang-bincang
dengan Ibunda Bams, Ravie dan Angel akhirnya pamit. Ravie mengantarkan Angel
terlebih dahulu pulang ke rumahnya. Rumah Angel berada di kawasan Kemayoran.
Tepatnya di dekat sebuah pusat perbelanjaan yang sepertinya gagal dalam proses
bisnisnya.
Ravie pulang ke rumahnya setelah mengantarkan
Angel. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan tentang kata-kata yang
diucapka oleh Ibunda Bams. Kalimat-kalimatnya masih terngiang di telinga Ravie.
Hingga Ravie sampai di rumahnya, ia masih
memikirkan tentang Bams. Mungkinkah Bams adalah pengikut sekte penyembah setan?
Apakah benar kalung yang ia temukan di dalam tas milik Bams benar-benar milik
Bams? Lalu apa maksud kata-kata ‘Novus Ordo Seclorum’ yang terdapat di kotak
kalung dan simbol All-Seeing-Eye yang berada di langit-langit toilet? Apakah
kalung itu warisan dari kakek Bams? Semua pertanyaan itu berkutat kepala Ravie.
Sore ini Angel sangat lelah. Ia biasanya
melepas lelah dengan menghadap laptopnya sambil duduk di atas lantai. Ia sudah
berganti pakaian. Angel mengetikkan sebuah alamat web di kotak alamat aplikasi browser di laptopnya.
Halaman awal mensn pencari Google telah
terbuka. Ia mengetikkan sebuah kata di kolom pencari Google.
Upacara Pemujaan Setan
Angel lalu menekan tombol enter. Mesin pencari
Google lalu berganti halaman ke hasil pencarian. Beberapa hasil muncul di layar
laptopnya. Angel memilih salah satu alamat dari hasil pencarian.
Layar laptop menunjukkan halaman blog milik
seseorang yang di dalamnya terdapat video orang-orang yang sedang melakukan
upacara pemujaan setan. Angel menekan
tombol Play, dan video mulai
dimainkan.
Video dimulai dengan beberapa orang yang sedang
berkumpul di sebuah ruangan yang berlampu merah. Di dinding ruangan itu
terdapat tulisan-tulisan dengan huruf yang aneh. Di salah satu dinding,
terdapat sebuah mata yang digambar dengan tinta hitam. Mereka semua menggunakan
pakaian serba hitam. Salah seorang di antara mereka mengenakan jubah hitam
bertudung.
Si orang berjubah hitam menginginkan seorang
korban. Salah satu orang yang berpakaian biasa serba hitam pergi dari ruangan
itu untuk membawa seseorang yang akan dikorbankan.
Korban dibawa masuk ke dalam ruangan itu.
Korbannya adalah seorang anak kecil. Wajah anak kecil itu terlihat seperti
orang yang tidak tau apa-apa. Ia menggunakan jubah panjang berwarna merah.
Di luar ruangan, dua orang wanita sedang
berjalan bersamaan. Seorang wanita memakai gamis biru dan jilbab biru, seorang
lagi memakai gaun serba hitam. Mereka membuka sebuah pintu di gang yang mereka
lalui. Pintu itu membawa mereka ke ruangan yang terdapat banyak tulisan aneh di
dinding-dindingnya. Di ruangan itu terdapat jalan menuju ruangan lain.
Wanita berjilbab biru itu memasuki ruangan itu.
Ia melihat seseorang berjubah hitam sedang melakukan upacara ritual. Ia
langsung berteriak kepada orang berjubah hitam di depannya.
Orang berjubah hitam itu langsung membalikkan
tubuhnya. Wajahnya dipenuhi dengan dandanan serba gotik. Di sekeliling matanya
dipenuhi bayangan hitam.
Wanita berjilbab biru tersebut langsung
menjerit meminta untuk menghentikan upacara yang dilakukan. Tetapi orang
berjubah hitam itu malah marah dan menarik jilbab wanita tersebut.
Wanita yang tadinya berjilbab merasa kehilangan
kesabaran. Dia mengeluarkan seluruh kekuatan yang ia miliki. Ternyata si wanita
memiliki kekuatan gaib. Wanita itu langsung melempar orang berjubah hitam itu
tanpa menyentuhnya.
Orang berjubah hitam itu langsung terpental
menyentuh tembok.
“Ya ampun. Kirain apaan. Nggak jelas banget.”
kata Angel dengan nada malas.
Angel berfikir b ahwa video yang ditontonnya sangat aneh dan tidak masuk akal. Ia
akhirnya menutup aplikasi browsernya dan menonaktifkan laptopnya.
Di rumahnnya, Ravie sibuk dengan jari-jarinya
yang terus menari di atas touch pad mouse
di laptopnya. Layar laptopnya menunjukkan halaman mesin pencari Google. Ia
mengetikkan sebuah kata di kolom pencarian.
Caput LVIIIm
Mesin pencari Google langsung menunjukkan hasil
pencarian. Beberapa hasil ditunjukkan dalam satu halaman, tetapi semuanya
menggunakan Bahasa Inggris. Butuh waktu untuk mencerna kata-kata itu dan
mengartikannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Tidak ada hasil yang dipilih oleh Ravie. Ia
memutuskan untuk menonaktifkan laptopnya.
Ravie masih duduk di kursinya. Ia teringat
dengan kalung berbentuk bintang terbalik yang ditemukannya di dalam tas Bams.
Ia langsung mengambil tasnya dan membuka resleting utama tasnya. Ia
mengeluarkans sebuah kotak hitam. Ia membuka kotak hitam tersebut, di dalamnya
terdapat kalung milik Bams.
Ravie mengambil kalung itu dan memandanginya.
“Kalung ini ada di tasnya Bams.” gumam Ravie.
Ia berfikir sejenak dengan perkataan Bams
sebelum ia meninggal dunia siang tadi. Ia mengingat-ingat bagaimana Bams
mengucapkan kata demi kata tentang Caput LVIIIm.
Ravie langsung teringat bagaimana ekspresi
wajah Bams ketika mengetahui bahwa di dalam kantung korban pembunuhan seorang
siswa yang terjadi di sekolahnya siang tadi terdapat kertas bertuliskan LVIIIm.
Ravie juga teringat ketika Bams mengatakan bahwa ia bukanlah pengikut dari
golongan pemuja setan dengan ekspresi wajah yang aneh.
“Pasti ada yang disembunyiin dari Bams.” kata
Ravie. “Gue harus nyari tau semuanya.”
TIGA HARI KEMUDIAN
Ravie sedang duduk di kelasnya. Wajahnya
terlihat sedang berfikir. Tangannya terus saja menggoreskan pensilnya di buku
yang berada di atas mejanya. Di buku itu kini sudah terdapat gambar bintang
terbalik yang dilingkari dan sebuah huruf LVIIIm yang ditulis dengan huruf
tebal dan besar.
“Pi…” kata Timotius yang tiba-tiba saja datang.
“Hhmm…” gumam Ravie.
“Duduk sendiri?”
“Kan Bams udah nggak ada.”
Timotius melihat buku yang sudah digores dengan
pensil oleh Ravie. “Lo gambar apaan sih, Pi? Serem banget.”
Ravie langsung menoleh ke arah Timotius. “Lo
tau simbol ini?”
“Tau lah. Itu kan Baphomet. Jangan-jangan lo
pemuja setan ye?”
“Enak aja. Jadi gini, kemaren tuh…”
Tiba-tiba bel berbunyi. Hari ini hari Senin.
SMA N 5 Jakarta melaksanakan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih yang
biasanya dilaksanakan dua minggu sekali.
“Turun yuk, burusn. Ada upacara hari ini.” kata
Timotius.
Ravie dan Timotius langsung berjalan cepat ke
luar kelas sambil membawa topi mereka masing-masing.
Persiapan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih membutuhkan waktu yang cukup
lama. Selain siswa-siswi yang malas untuk melaksanakannya, beberapa dari mereka
juga sibuk meminjam atribut upacara dari petugas upacara karena mereka tidak
membawanya.
Setelah sekitar tujuh belas menit berlalu,
barisan dari setiap kelas akhirnya siap untuk melaksanakan upacara.
Upacara dimulai. Pemimpin upacara memasuki
tempat uapcara dan menyiapkan barisan. Protokol kemudian mempersilahkan Pembina
Upacara untuk memasuki tempat upacara. Bendera Merah Putih kemudia dikibarkan
oleh tiga orang petugas upacara.
Beberapa tahap upacara bendera sudah dilewati.
Kini saatnya Pembina Upacara untuk menyampaikan pidatonya.
Ravie benci sekali saat-saat ketika Pembina
Upacara menyampaikan pidatonya, apalagi kali ini yang berpidato adalah Pak
Supandji, sudah pasti pidatonya tidak kurang dari lima belas menit.
Ravie melihat ke sekeliling gedung SMA N 5
Jakarta. Ia melihat banyak tiang yang berdiri kokoh di sepanjang bangunan.
Karena merasa bosan, Ravie akhirnya menghitung seluruh tiang yang berada di
lantai tiga. Ia menghitung mulai dari ujung bangunan hingga ujung yang satunya
lagi.
Ravie mulai menghitung. Ia memandang ke
sekeliling sekolahnya. Ia menjaga supaya tubuhnya tetap diam agar
gerak-gerikbya tidak menjadi perhatian.
Setelah beberapa detik, ia akhirnya selesai
menghitung. Di lantai tiga terdapat 34 buah tiang. Ia mengalikannya dengan
banyak lantai yang terdapat di sekolahnya.
34 x 3 = 102
Ravie ingat bahwa di depan kelas XI IPA 2 ada
sebuah tiang yang tidak terlihat jika dilihat dari lapangan. Tiang yang berada
di depan ruang Kepala Sekolah tenyata adalah dua tiang yang ditempel menjadi
satu. Itu berarti ada 6 tiang yang tidak terhitung olehnya. Berarti hasil
perhitungannya berubah.
102 + 6 = 108
Ravie lalu menguraikan perhitungannya di dalam pikirannya.
108 10
– 8 = 2
10
: 2 = 5
5. Itu kan nama sekolah
ini. Kayaknya bukan sebuah kebetulan kalo ternyata tiang-tiang di sini adalah
nama sekolah ini.
108 10
+ 8 = 18
18? Bukan angka yang
aneh. Tapi, tunggu dulu. Kalo diuarai, angka 18 sama aja kelipatan 3 dari 6.
Berarti 6 + 6 + 6 = 18. Kalo tanda + diilangin, jadinya 666. Itu bukannya angka
setan?
Ravie terus memikirkan angka-angka yang terus
berputar-putar di pikirannya.
Jumlah tiangnya 108,
itu berarti ada 36 tiang di setiap lantainya. Angka 36 kalo diakarin sama
dengan 6. Berarti setiap lantai mewakili angka 6. Di sekolah ini ada 3 lantai.
Berarti dari lantai 1 ada angka 6, dari lantai 2 ada angka 6, dari lantai 3 ada
angka 6. Kalo digabungin berarti 666. Astaga angka itu lagi.
Tiba-tiba Protokol memerintahkan seluruh
barisan unutk bubar. Upacara sudah selesai. Seluruh barisan dari setiap kelas
langsung bubar dan kembali ke kelasnya masing-masing.
Ravie berjalan kembali ke kelasnya. Ia berjalan
agak cepat menuju kelasnya. Setelah
sampai di kelasnya, ia langsung duduk di kursinya dan mengeluarkan sebuah buku
dan pensil dari dalam tasnya.
Ravie langsung menggoreskan pensilnya di atas
kertas bukunya. Ia menuliskan perhitungannya di lapangan tadi. Hasilnya tetap
sama. Perhitungannya tetap memunculkan angka 666.
Ravie langsung meletakkan pensilnya di atas
meja dan menyandarkan bahunya. Ia masih tidak percaya jika sekolahnya sendiri
menyimpan simbol setan di dalam bangunannya.
Di saat Ravie sedang serius memikirkan sesuatu
yang sangat tidak dapat dipercaya, lagi-lagi temannya muncul secara tiba-tiba.
“Pi, gurunye mane?” tanya Laras. Laras adalah
teman sekelas Ravie. Ia adalah salah satu temannya yang berjilbab.
“Eh, lagi rapat mungkin.” jawab Ravie.
“Itu apaan sih, Pi? Angkanye serem banget.”
“Enggak, bukan apa-apa. Sessuatu yang nggak
penting.”
“Nggak penting apaan? Itu angka setan kan?”
“Lo tau angka ini?”
“Ya ampun, ini sih norak banget kalo ada yang
nggak tau.”
Ravie terdiam sejenak. “Lo percaya nggak kalo
angka ini ternyata tersembunyi di bangunan sekolah kita.”
“SMA 5 maksud lo?”
“Iya lah, emang sekarang lo sekolah di mana?”
“Percaya-percaya aja. Soalnya setiap bangunan
pasti ada rahasianya. Termasuk yang gaib kayak gitu tuh.” kata Laras sambil
jarinya menyinggung buku yang dicoret-coret oleh Ravie.
“Emang bangunan apa yang ada misterinya?”
“Monas.” jawab Laras. “Coba deh lo bandingin
bangunan Monas sama simbol Freemason, pasti bentuknye mirip. Terus lo bandingin
Monas sama Bintang David, bentuknya tuh mirip banget. Tugunya yang bentuknya
kayak lilin itu segitiga tegaknya, cawannya yang lebar di bawahnya itu segiriga
kebaliknya.”
“Ternyata lo tau juga tentang misteri bangunan
Monas.”
“Tau lah. Temen gue pernah ngasi tau.”
“Terus menurut lo gimana sama hasil perhitungan
gue ini?”
Laras berfikir sejenak. “Mungkin yang ngebangun
sekolah ini orang-orang Freemason.”
“Tunggu deh, dari tadi lo bilang Freemason
terus. Maksud lo apaan?”
“Jadi lo nggak tau Freemason?”
“Kurang tau lebih tepatnya.”
Laras menarik nafas lalu mengeluarkannya lagi.
“Jadi, menurut informasi yang gue dapet dari temen gue, Freemason itu kelompok
persaudaraan rahasia yang ada di seluruh dunia. Walopun disebut rahasia, tapi
dunia udah tau keberadaannya. Freemason itu kelompok yang nggak bertuhan. Jadi
mereka nggak menyembah Tuhan, mereka menyembah selaen Tuhan. Dengan kata lain,
mereka itu pemuja setan. Nama mereka Freemason soalnya mereka itu sebenernya
tukang batu yang hidup secara bebas. Free artinya bebas, mason artinya tukang
batu. Karena mereka ada di setiap negara yang beda tempat, mereka jadi sulit
buat berhubungan satu sama lain yang ada di beda daerah. Mereka kan tukang
batu, jadi mereka berhubungannya lewat bangunan. Mereka ngebangun bangunan di
sana sini di setiap negara, terus mereka sisipin simbol-simbol atau angka-angka
yang khas sama kelompok mereka, termasuk simbol setan. Jadi selama bangunan
yang ada unsur mistiknya masih ada di dunia ini, Freemason bakal terus
berjaya.”
“Jadi menurut lo Freemason yang ngebangun
sekolah ini?”
“Kurang lebih begitu. Dan gue rasa Freemasonry
di dunia ini nggak akan berakhir. Soalnya kalo nggak ada mereka, semua bangunan
indah di dunia ini nggak akan ada sekarang.” jelas Laras.
“Bangunan indah?”
“Iya. Menara Eifel, Monumen Nasional, Gedung
Capitol di Amerika Serikat, itu semua kan dibangun sama Freemason.”
“Temen lo yang ngasih tau lo?”
“Iya. Ada tuh anaknya di IPS 2.”
“Dia Freemason?” tanya Ravie dengan suara yang
dikecilkan.
“Bukan lah. Dia itu suka baca buku, termasuk
buku-buku tentang rahasia dunia. Tapi gue nggak tau juga sih, mungkin dia
Freemason.”
“Emang kenapa?”
“Dia suka gambar simbol-simbol setan gitu di
tangannya. Terakhir gue liat dia gambar simbol bintang di kakinya. Katanya itu
namanya Baphomet, terus dia bilang katanya itu buat perlindungan. Tapi dia
sering bercanda sih.”
Mereka berdua terdiam beberapa saat. Laras memperhatikan
buku yang telah dicoret-coret oleh Ravie. Coretannya penuh dengan angka-angka
dan perhitungan. Laras melihat ada sesuatu yang terlewatkan oleh Ravie.
“Ada yang kelewat, Pi.” kata Laras.
“Apaan?”
“Itu, itung-itungan lo.”
“Kurang gimana maksud lo?”
“Itu. Di sini kan lo mindahin angka 2, terus
dipake buat ngebagi angka sepuluh. Lo juga bisa mindahin angka 8 buat
ditambahin sama 5.”
“Coba deh lo tulis.”
“Jadi gini nih…” Laras lalu mengambil pensil
yang diletakkan di atas meja lalu menambahkan coretan di buku Ravie.
10 – 8 = 2
10 : 2 = 5
5 + 8 = 13
“13 angka setan juga, kan?”
Ravie melihat buku yang sudah ditambahkan
coretan baru oleh Laras. “Oh iya.” kata Ravie dengan wajah terkejut.
“Nggak usah lebay juga lah.”
“Ternyata lo merhattin juga ya.”
“Weits, siapa dulu nih…” kata Laras sambil
menyombonhkan diri.
Bel kemudian berbunyi. SMA N 5 Jakarta memulai
pelajaran pertama mereka. Ravie tidak bisa focus terhadap mata pelajaran yang
dipelajarinya. Akhirnya ia keluar dari kelas dan memutuskan untuk pergi ke
toilet.
Di toilet, ia malah bingung ingin melakukan
apa. Di sisi lain ia tidak ingin berada di kelas, di sisi lain ia tidak punya
tujuan di toilet. Ia teringat akan kakaknya yang menengani kasus pembunuhan di
sekolahnya tiga hari lalu. Ravie kemudian menghubungi kakaknya.
Ravie mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Ia menekan beberapa tombol, lalu meletakkan ponselnya di telinganya. Nada
sambung berbunyi beberapa kali. Ravi mulai ragu jika kakaknya akan mengangkat
teleponnya. Pasalnya kakaknya tidak mungkin sedang dalam keadaan terbebas dari
segala pekerjaannya. ICA adalah salah satu perusahaan yang jam kerja
karyawannya sangat padat.
Nada sambung masih berbunyi, tetapi belum ada
jawaban dari kakaknya.
“Halo…” kata Henry dari telepon.
“Halo, kak. Ravie ganggu nggak?” Ravie balas
bertanya.
“Enggak. Maap tadi kakak ngangkatnya lama.
Kakak lagi di toilet, handphonenya
kakak tinggal di meja.”
“Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma mau nanya kasus
pembunuhan di sekolah aku tiga hari yang lalu. Aku mau nanya sama kakak di
rumah lupa terus. Lagian kakak juga jarang pulang ke rumah.”
Henry memang jarang sekali pulang ke rumah.
Jika ada yang berkomentar tentangnya, ia pasti selalu mengatakan ‘ini kan
tuntutan pekerjaan’.
“Ini kan tuntutan pekerjaan. Kasus tiga hari
lalu di sekolah kamu udah kakak tanganin. Itu kasus pembunuhan berencana. Di
sekolah kamu itu ternyata ada pengikut pemuja setan. Tapi kakak belum tau siapa
orangnya, soalnya kakak nggak tau siapa aja yang ada di sekolah kamu.”
“Orangnya kayak gimana kak?” tanya Ravie.
Henry tau maksud pertanyaan Ravie adalah bukan
menanyakan ciri-ciri dari si pembunuh. “Pokoknya dia orang yang serba tau di sekolah
kamu. Dia juga tau ruangan mana yang nggak pernah dipake di sekolah kamu,
makanya dia nyembunyiin mayat korban di situ, soalnya dia tau pasti ruangan itu
bakal dikunci terus.”
“Tapi kenapa dia bisa masukin mayatnya ke
ruangan itu?”
“Itu dia yang masih kakak bingung. Kakak rasa
dia punya kunci lain ruangan itu.”
“Kakak tau dari mana di sekolah aku ada
pengikut pemuja setan?”
“Kertas yang kakak temuin di kantong baju
seragam korban. Tulisannya LVIIIm. Itu salah satu identitas para pemuja setan.
Bentuknya bisa berupa benda-benda yang dianggap sepele.”
“Sepele? Maksudnya?”
“Kamu masih inget kasus pembunuhan temen kamu
tahun lalu nggak, waktu kamu kelas sepuluh?”
“Kasus pembunuhan Hendri. Masih inget, Kak. Waktu
itu Hendri ditemuin di Audio Visual kan?”
“Iya. Waktu itu kakak nyelidikin kasusnya
berdua sama Mba Dian. Sebelum pulang dari sekolah kamu, kakak sempet minta
tolong sama Ibu Ella Novita buat nyari tau identitas Hendri. Ibu Novita sempet
bilang ke kakak, kalo beberapa hari sebelum Hendri meninggal, dia sering bawa
medallion jam. Kakak minta sama Ibu Novita buat nyari medallion jam itu.”
“Emang kenapa sama medallionnya, Kak?”
“Di medallion itu ada angka 58 di bawah angka
12. Letaknya persis banget kayak merk jam. Tapi temen kamu itu berhianat dari
kelompok persaudaraan yang diikutinnya.”
“Maksudnya berkhianat?”
“Medallion jamnya, kacanya udah retak.
Seseorang yang ikut kelompok persaudaraan pasti akan terus ngejaga
identitasnya. Tapi temen kamu malah negrusakin. Kakak juga bingung sama temen
kamu, siapa namanya? Kakak lupa.”
“Zul Hendri.”
“Iya, Hendri. Kakak bingung sama Hendri. Di
jaman modern gini masih ada aja yang percaya animisme. Hendri itu Islam kan?”
“Iya.”
“Nah, apalagi dia Islam. Dia pasti punya
Tuhan.”
“Kakak percaya Tuhan?” tanya Ravie sambil
tersenyum.
“Hei, biar pun kakak beda agama sama kamu,
kakak masih percaya Tuhan.”
“Oh, aku kira kakak atheis.” kata Ravie lalu
tertawa kecil.
“Kamu nggak belajar?”
“Nanti dulu, Kak. Masih ada yang mau aku
tanya?”
“Ya udah. Apa lagi?”
“ Tiga hari lalu, di hari yang sama waktu kasus
pembunuhan di Laboratorium Bahasa, temen aku Bams meninggal. Dia ditemuin udah
kegeletak di toilet. Kabar dari sekolah yang didapet dari rumah sakit sih
bilangnya dia gagal nafas. Tapi aku nggak percaya, soalnya ada bekas jeratan di
leher Bams.”
“Jadi ada pembunhan lagi waktu itu? Kenapa
sekolah kamu nggak manggil ICA?”
“Waktu itu kami lagi panik banget, Kak. Jadi
kami semua mikirnya Bam situ cuma pingsan aja. Waktu dicek, Bams ternyata udah
nggak napas.” jelas Ravie. Jiwanya sedikit goyah saat mengingat kematian teman
dekatnya. “Tapi, Kak, kau nemuin sesuatu di tasnya Bams.”
“Sesuatu apa? Sesuatu banget.” tanya Henry di
sela-sela candanya.
“Aku nemuin kotak yang di dalemnya ada kalung
bintang kebalik di tasnya Bams.”
“Kamu serius? Jangan-jangan Bams pengikut
pemuja setan.”
“Aku pikir juga gitu, Kak. Di kotak itu juga
ada kertas yang ditempel. Ada tulisannya. ‘Novus Ordo Seclorum’.”
“Itu kan kalimat yang ada di One Dollar
America. Itu jugacita-cita Freemason. Novus Ordo Seclorum artinya dunia baru
yang sekuler. Freemason punya cita-cita nyatuin semua umat manusia di dunia ini
dalam segala aspek. Termasuk aspek kepercayaan. Mereka mau semua umat beragama
di dunia ini punya agama yang sama, biar nggak terjadi perbedaan antar umat
beragama, dan supaya ada perdamian dunia yang sampai sekarang susah banget
ngewujutinnya.”
“Kakak serius?”
“Lebih dari serius deh.”
“Yang aku tau, kalimat itu sering dipake sama
pengikut pemuja setan.”
“Yang kamu bilang juga bener.”
“Terus, Kak. Di balik kertas itu ada tulisan
lagi. Bunyinya ‘Diberikan Kepada Setiap Generasi Selanjutnya’.”
“Ya ya. Biasanya benda-benda kayak gitu emang
dipindah tanganin ke setiap keturunannya. Emang siapa yang jadi pengikut pemuja
setan?”
“Aku denger dari cerita ibunya Bams sih dulu
kakeknya Bams sering ngelakuin hal-hal aneh setiap tengah malem. Katanya
kakeknya sering pake jubah item terus duduk di tengah kamarnya yang gelap cuma
pake lilin. Ibunya Bams nggak tau kakeknya Bams lagi ngapain, tapi aku yakin
kalo kakeknya Bams lagi muja setan. Ibunya Bams juga bilang kalo kakeknya Bams
punya kalung yang bentuknya lingkaran. Aku yakin kalung yang dimaksud ibunya
Bams itu kalung bintang kebalik yang aku temuin di tasnya Bams.”
“Ada kemungkinan gitu sih. Tapi musti ada penyelidikan
lagi.”
“Aku mau tanya lagi nih, Kak. Menurut kakak,
mungkin nggak kalo SMA 5 dibangun sama orang-orang Freemason?”
“Mungkin aja. Kan banyak bangunan yang dibangun
sama Freemason di Indonesia. Monas, Bunderah HI, Taman Suropati, Museum
Fatahillah, itu semua kan dibangun sama Freemason.” jelas Henry. “Emang
kenapa?”
“Nggak apa-apa, Kak. Cuma nanya. Ya udah ya,
aku belajar dulu.” kata Ravie. Ia langsung memutus sambungan teleponnya.
Ravie langsung keluar dari toilet dan kembali
ke kelasnya. Saat ia memasuki kelasnya, bel berbunyi tanda pelajaran pertama
sudah berakhir. Sepertinya Ravie beruntung karena ia sudah melewatkan
menit-menit terakhir pelajaran pertama yang membosankan.
Menit demi menit berlalu. Bel berbunyi tanda
masuknya waktu istirahat pertama. Kali ini Ravie tidak memutuskan untuk pergi
ke kantin. Ia sibuk membaca novel misteri yang dibawanya. Novelnya berkisah
tentang tokoh detektif yang terkenal di Inggris. Tokoh ini diciptakan oleh
penulis sekaligus raja cerita misteri Arthur Conan Doyle. Novel itu berjudul
Sherlock Holmes dan Laskar Jalanan Baker Street: Misteri Kematian Bintang
Sirkus. Novel itu ditulis oleh dua orang penggemar tokoh Sherlock Holmes yang
bernama Tracy Mack dan Michael Citrin. Ravie duduk di kursinya, membaca dengan
serius cerita kesukaannya.
“Eits, gila. Bacaannye berat.” kata Laras yang
datang bersamaan dengan Timotius dan Angel.
“Biasa aja buat gue.” kata Ravie. Ia melihat
Laras membawa mie instan yang ditempatkan di mangkuk sterofoam. “Eh, tumben jajan. Biasanya bawa bekel.”
Laras tertawa kecil. “Tadi gue telat, jadi
nggak sempet bikin bekel deh.”
Laras kemudian duduk di samping Ravie. Angel
duduk di kursinya sendiri, di depan Ravie duduk. Sementara Timotius duduk di
samping Angel.
“Yang nulis kok Tracy Mack sama Michael Citrin
sih? Bukannye Arthur Conan Doyle?”
“Yang asli emang Arthur Conan Doyle yang nulis.
Tapi yang ini ditulis sama penggemarnya Sherlock Holmes.”
“Tapi ceritanya seruan mana?” tanya Angel.
“Sama-sama seru sih buat gue. Soalnya gue suka
sama ceritanya.”
Laras kemudian terbatuk-batuk. Ia langsung
menarik tangan Angel yang sedang memegang sekantung plastic es teh manis.
“Ya ampun. Pelan-pelan lah makannya.” kata
Timotius.
“Napas ya, Mba. Napas.” tambah Angel.
Mereka lalu tertawa bersama-sama. Wajah Laras
menunjukkan ekspresi aneh. Wajahnya seperti orang yang jijik. “Hiiih, rasanya
aneh.” Laras langsung berdiri dan membuang mie instan yang dibelinya. Ia
membuangnya di tempat sampah yang terdapat di depan kelasnya.
“Untung gue nggak beli.” gumam Angel.
Laras sudah kembali dari luar kelas. Ia masih
menunjukkan wajah jijiknya.
“Emang rasanya gimana?” tanya Ravie.
“Pait banget. Kayak lo minum obat aje.” jawab
Laras.
“Kok bisa?”
“Nggak tau. Ini pasti gara-gara tadi gue
ngatain Mang Adang jelek nih.” kata Laras dengan nada bercanda.
“Wah, karma tuh.” kata Timotius.
Mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Laras yang
sedang berdiri di samping Ravie tiba-tiba merasa seperti melayang. Tubuhnya
terasa ringan. Pengelihatannya menjadi lebih jelas dari sebelumnya. Laras mencoba
untuk bersika biasa saja. Tiba-tiba saja hidungnya mengeluarkan darah dengan
cepat.
“Ya ampun, Ras. Lo mimisan.” kata Angel.
“Yah, tisu dong.” kata Laras sambil menutupi
hidungnya.
Angel langsung mengeluarkan tisu dari sakunya
dan memberikannya kepada Laras.
Laras langsung menutupi hidungnya dengan tisu
yang diberika Angel. Darahnya masih terus mengalir dari hidungnya. Bahkan
darahnya sangat cair, sehingga mengalir sangat cepat. Tisu yang digunakan untuk
menutuoi hidungnya kini dipenuhi dengan darah.
“Nggak berenti-berenti nih, Ras. Banyak banget.
Mending lo ke UKS aja yuk.” kata Ravie.
Ravie, Timotius, dan Angel langsung mengantar
Laras ke UKS. Namun, belum sampai mereka di pintu kelas, tiba-tiba Laras ambruk
dan tidak sadarkan diri. Darahnya masih mengalir cepat lewat hidungnya, bahkan terlihat
seperti pembuluh darah di hidungnya pecah. Ravie yang berada di belakang Laras
langsung melakukan gerakan reflek menangkap Laras sebelum tubuhnya membentur
lantai.
“Eh eh eh, bantuin dong.” kata Ravie dengan
nada tinggi.
Beberapa teman-teman di kelasnya yang melihat
kejadian itu langsung menghampiri mereka dan membantu mengangkat Laras untuk
dibawa ke UKS. Laras dibawa ke UKS oleh beberapa teman sekelasnya. Ravie yang
mengikutinya terus memegangi tisu yang sejak tadi menutupi lubang hidung Laras
yang terus saja mengeluarkan darah cair.
Di UKS, Laras dibaringkan di atas tempat tidur.
Ravie masih menutupi hidung Laras dengan tisu yang sudah dipenuhi oleh darah di
seluruh permukaannya.
“Tim, tolong deh ambilin kapas.” kata Ravie.
Timotius langsung bergerak mengambilkan kapas
di kotak P3K dan memberikannya kepada Ravie.
Ravie langsung menggantikan tisu yang tadinya
dipakai untuk menutup hidung Laras dengan kapas. Darahnya masih saja mengalir
dengan cepat. Laras juga tidak kunjung sadarkan diri.
“Tadi Laras bilang kalo mie yang dia makan
rasanya pait kan?” tanya Ravie.
“Iya.” jawab Timotius.
“Pasti di dalem mie itu ada obatnya.”
“Obat apaan?” tanya Angel.
“Man gue tau. Yang gue yakin, pasti obat itu
yang bikin Laras jadi mimisan begini.”
“Gue biasanya mimisan kalo kecapean. Emang ada
ye obat yang bisa bikin kita kecapean?”
“Ya nggak gitu juga kali.” jawab Timotius.
“Kan gue nggak tau. Gue aja baru tau kalo ada
obat yang efek sampingnya sampe mimisan begini.” kata Angel dengan nada tinggi.
“Sssssttt. Temen lo lagi nggak sadar. Lo berdua
malah berantem.” protes Ravie
“Ya udah ah. Gue balik ke kelas.”
“Dih, ngambek nih ceritanya.” ledek Timotius.
“Gue mau ngasih udara buat Laras. Lo nggak liat
nih temen-temen lo pada di sini semua?” kata Angel sambil menunjuk ke
teman-temannya yang tadi membantu mengangkat Laras ke UKS.
“Ya udah, yang lainnya pada keluar dulu. Biar
ada oksigen buat Laras.”
Angel melaporkan kejadian tersebut kepada wali
kelasnya. Karena darah yang keluar dari hidung Laras tidak kunjung berhenti,
wali kelasnya memutuskan untuk membawa Laras ke rumah sakit.
Ravie kembali ke kelasnya. Jantungnya masih
berdebar-debar karena kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya. Ia
duduk di kelasnya memikirkan tentang kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.
Tahun lalu, temannya yang bernama Hendri meninggal dunia karena dibunuh.
Tubuhnya ditemukan di ruang Audio Visual dengan bekas jeratan di bagian
lehernya.Tiga hari lalu, teman dekatnya sekaligus ketua kelasnya yang bernama
Bams meninggal dunia dengan kasus yang sama. Tubuhnya ditemukan di kamar mandi
dengan bekas jeratan di tempat yang sama.
Tunggu dulu, bekas
jeratannya sama kayak yang ada di mayat Hendri. Berarti Bams sama Hendri
dibunuh dengan cara yang sama. Apa mungkin orang yang ngebunuh Hendri itu orang
yang sama yang ngebunuh Bams?
Ravie masih berfikir tentang siapa yang
membunuh kedua temannya.
Tapi nggak mungkin.
Yang ngebunuh Hendri namanya Daniel Morgan. Dia udah ditangkep di hari Hendri
dibunuh. Bahkan tiga hari kemudian dia dihukum mati. Kak Henry pernah bilang
soal ini. Berarti yang ngebunuh murid yang mayatnya ditemuin di Laboratorium
Bahasa sama yang ngebunuh Bam situ bukan orang yang sama yang ngebunuh Hendri.
Terus siapa? Punya motif apa di balik ini semua?
Bel berbunyi tanda istirahat pertama sudah
selesai. Siswa-siswi SMA N 5 Jakarta kembali masuk ke kelasnya masing-masing. Kelas
XI IPS 4 kembali melakukan aktifitas belajar mengajarnya.
Ravie kembali tidak bisa mengikuti pelajaran
dengan baik. Ia tidak bisa terfokus dengan pelajaran di kelasnya karena terus
memikirkan motif di balik pembunuhan temannya.
Dua jam pelajaran sudah dilewati dengan berat
oleh Ravie. Sekarang saatnya istirahat yang ke dua. Ravie turun ke lantai dasar
dan menuju ke arah kantin. Ia tidak berbelok ke arah kantin, melainkan memasuki
masjid untuk menunaikan ibadah Sholat Dzuhur.
Setelah Ravie melakukan wudhu, ia memasuki
masjid dan melakukan Sholat Dzuhur berjama’ah dengan siswa-siswi SMA N 5
Jakarta lain dan beberapa guru yang juga ikut melaksanakan sholat berjama’ah.
Ia berdiri di shaf, tepat berada di belakang imam.
Setelah selesai melaksanakan sholat, Ravie
melakukan doa seperti yang biasa ia lakukan setelah sholat. Dalam keadaan
duduk, ia memanjatkan doa kepada Allah SWT.
Ravie masih dalam keadaan duduk walaupun sudah
selesai berdoa. Ia senang berada di dalam masjid karena suasananya lebih sejuk
daripada suasana di kelasnya.
Aura di dalam masjid memang selalu lebih sejuk
daripada di luar masjid. Itu semua karena atap yang menutupi masjid. Kebanyakan
masjid dihiasi dengan atap yang berbentuk setengah bola atau sering disebut
kubah, dan berbentuk segitiga atau sering disebut pyramid. Bentuk atap seperi
itu memang bersifat memantulkan aura, oleh sebab itu sering dipakai dalam
pembuatan rumah ibadah. Cara kerjanya memang cukup unik. Jika orang-orang yang
berada di bawah atap memiliki pikiran yang baik, maka aura baik akan terpancar
dari orang-orang tersebut. Aura akan melayang ke udara dan akan menyentuh atap,
selanjutnya akan dipantulkan kembali ke bawah oleh atap. Oleh sebab itu suasana
di dalam tempai ibada selalu sejuk dan damai.
Ravie masih duduk di dalam masjid. Ia memandang
ke arah depan. Di depannya terdapat mimbar yang biasa digunakan untuk khatib
berceramah setiap Jum’at. Di mimbar itu terdapat pahatan tulisan Arab yang
berbentuk lingkaran dengan garis melengkung di atasnya. Jika diperhatikan
bentuknya seperti sebuah mata. Di bawahnya terdapat pahatan tulisan Arab yang
berbentuk segitiga. Di sisi kanan dan kiri segitiga itu terdapat sebuah menara
yang dengan atap kubahnya.
Astaga, ternyata di
tempat ini banyak banget simbol setan yang sebenernya udah ada sejak lama. Tapi
kenapa gue baru sadar simbol ini ada di mesjid? Padahal gue tiap hari dating ke
sini.
Saat Ravie sedang serius melihat segitiga yang
terdapat di mimbar, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Ravie segera kembali
menuju ke kelasnya. Bel berbunyi satu kali. Speaker
kemudian mengeluarkan suara aneh seperti sebuah radio yang kehilangan sinyal.
Suara bel pemberitahuan kemudian berbunyi.
“Mohon maaf kepada Bapak/Ibu guru yang sedang
mengajar di kelas.”
Suara seorang wanita terdengar sedang berbicara
di speaker.
“Berita duka cita. Telah meninggal seorang
siswi dari kelas XI IPS 4 yang bernama Laras Sophia Putri dikarenakan pecah
pembuluh darah otak. Almarhum meninggal pada hari ini pada pukul 11 siang
tepat. Kepada seluruh ketua kelas harap ke ruang wakil untuk menerima amplop
untuk santunan. Terima kasih.”
Ravi yang mendengar berita itu hanya bisa
berdiri di depan kelasnya. Ia sangat terkejut mendengar berita kematian Laras.
Baru sekitar beberapa jam yang lalu ia berbincang-bincang dengan Laras sambil
tertawa terbahak-bahak.
Satu tahun yang lalu, temannya satu
organisasinya meninggal dunia karena dibunuh dan mayatnya ditemukan di Ruang
Audio Visual. Tiga hari yang lalu, seorang siswa dari kelas lain meninggal
dunia karena dibunuh dan mayatnya ditemukan di Laboratorium Bahasa dengan
keadaan mengenaskan dan bersimbah darah, dan teman dekatnya sekaligus ketua
kelasnya yang bernama Reordan Bams meninggal dunia karena dibunuh dan mayatnya
ditemukan di toilet. Hari ini, teman sekelasnya yang bernama Laras Sophia Putri
meninggal dunia karena pecah pembuluh otak.
Dalam periode waktu dua tahun, empat orang
pelajar dari SMA N 5 Jakarta telah meninggal dunia. Tiga pelajar yang termasuk
dalam daftar korban meninggal dunia dalam waktu dua hari terakhir.
Angel mendekati Ravie dari arah belakang.
“Pi…?”
Ravie terdiam. Ia tidak menjawab. Ia masih
berdiri di tempatnya sejak berita duka itu disebarkan ke seluruh kelas.
“Pi…?” kata Angel sekali lagi.
Ravie tidak langsung menjawab. Wajahnya seperti
orang yang tidak tau apapun. “Ada yang nggak beres.”
“Maksud lo?”
“Empat orang meninggal dalam waktu dua taun.
Siapa lagi nanti? Ini bener-bener nggak beres.”
“Empat?”
Ravie langsung membalikkan tubuhnya dan
mendekat ke Angel. “Lo inget dua taun lalu, waktu itu lo belom sekelas sama
gue? Temen satu organisasi gue, Zul Hendri, meninggal karena dibunuh. Tiga hari
lalu, anak kelas satu yang lagi ikut kebaktian meninggal karena dibunuh, lo
bahkan ngeliat mayatnya. Terus nggak lama setelah itu, temen kita, Bams, dia
meninggal karena dibunuh. Sekarang Laras. Kejadiannya beruntut kayak gini, ini
pasti udah direncanain.”
“Tuggu tunggu. Tadi lo bilang Bams dibunuh.
Bukannya bams gagal nafas?” tanya Angel bingung.
“Sebenernya ada yang aneh sama kabar dari rumah
sakit. Tapi apa lo nggak liat waktu kita nemuin Bams di toilet? Di lehernya
Bams ada bekas jeratan. Dia pasti dibunuh waktu dia mau keluar dari toilet.”
“Nggak mungkin. Terus siapa yang ngebunuh? Apa
sekarang SMA 5 udah nggak aman?”
“Ya.” Ravie langsung menjawab. “Kayaknya kita
musti lebih waspada sama setiap orang di sekolah ini.”
“Termasuk temen-temen kita?”
Ravie lalu menoleh ke arah teman-temannya yang
sedang ribut di kelas. “Termasuk temen-temen kita.”
Untuk hari ini, SMA N 5 Jakarta tidak
memulangkan siswa-siswinya lebih cepat walaupun ada salah seorang siswi yang
meninggal dunia. Pelajaran dilanjutkan hingga waktu pulang tiba. Ravie
berencana untuk menyelidiki ini semua sepulang sekolah nanti. Ia berniat untuk
mengajak dua orang temannya dalam penyelidikannya. Penyelidikan ini akan
menjadi sangat serius, bahkan akan lebih menantang dalam mengungkap kasus
pembunuhan berantai yang misterius ini.
Sekitar dua jam kemudian, bel berbunyi
menandakan aktifitas belajar mengajar sudah berakhir. Ravie dan dua orang
temannya sudah menunggu di koridor di depan kelasnya hingga sekolah sepi.
Siswa-siswi SMA N 5 Jakarta meninggalkan
lingkungan sekolah. Sekolah kini sepi. Beberapa mobil milik guru pengajar masih
terlihat di lapangan SMA N 5 Jakarta. Ravie dan kedua temannya masih berdiri di
koridor di depan kelasnya.
“Sekarang udah sepi. Kita mau mulai dari mana?”
tanya Timotius.
“Sebelumnya gue mau tanya sama lo berdua. Ini
tentang sekolah kita.” Ravie berhenti sejenak. “Apa yang ada di pikiran lo kalo
gue bilang kalo sekolah ini dibangun sama … penuja setanh?”
Timotius berfikir dalam diamnya. “Nggak masuk
akal.”
“Oke, ini emang nggak masuk akal. Tapi buktinya
nyata. Lo bahkan ngelewatin setiap hari.”
“Buktinya?” taya Angel.
“Tadi waktu upacara, gue iseng ngitung semua
tiang yang ada di sekolah ini. Jumlahnya ada 108 tiang. Di setiap lantai ada 36
tiang. 10 – 8 = 2, terus 10 nya kita bagi sama angka 2. Hasilnya pasti 5. Itu
nama sekolah kita. Apa menurut lo itu cuma kebetulan?”
“Ya ampun, Pi. Itu namanya…”
“Gue belom selesai. Tadi jumlah tiangnya ada
108. 10 + 8 = 18. 18 itu sama aja 6 + 6 + 6. Kalo tanda tambahnya di ilangin,
jadinya angka 666. Itu angka setan.”
“Lo nggak serius kan, Pi?” tanya Timotius.
“Di setiap lantai ada 36 tiang. Akar dari 36
sama dengan 6. Di sini ada tiga lantai, berarti ada tiga angka 6 yang diwakili
sama setiap lantai. Sekali lagi angka 666 ada di bangunan sekolah ini. Terus di
mesjid, coba lo liat mimbarnya. Di mimbarnya ada pahatan yang bentuknya kayak
mata satu, itu simbol Lucifer. Di bawah simbol itu, ada pahatan yang bentuknya
segitiga, mirip sama piramid. Mata satu sama piramid itu simbol setan.”
“Oke, cukup sama semua bukti-bukti yang udah lo
kasi tau ke kita. Sebenernya lo mau ngomong apa ke kita?” tanya Angel.
“Gue yakin semua kasus kematian akhir-akhir ini
pasti ada hubungannya sama kelompok persaudaraan pemuja setan.”
“Terus fungsi kita di sini?”
“Gue mau kalian bantuin gue buat ngngkap ini
semua.”
“Caranya?”
Timotius yang sejak tadi menghadap ke arah
lapangan langsung memotong pembicaraan Angel dan Ravie. “Tunggu deh. Tadi lo
bilang tiang di setiap lantai ada 36.”
“Iya. Lo itung aja semua tiangnya. Termasuk
tiang yang ada di depan kelas XI IPS 3.” sahut Ravie.
“Gimana sama dua tiang yang nempel di depan
Ruang Wakil?”
“Itu diitung dua tiang.”
“Terus dua tiang yang ada di pos?”
“Itu nggak diitung. Soalnya menurut gue pos itu
bukan bagian dari bangunan. Seandainya pos itu nggak ada juga nggak berpengaruh
sama sekolah ini.”
“Kalo gitu tiangnya ada 37.”
“Tiangnya ada 36. Gue udah itung kok.”
“Kayaknya lo salah itung, Pi. Coba deh lo itung
lagi.”
Ravie langsung mendekat ke pembatas koridor dan
mulai menghitung. Ia memulai dari salah satu ujung sekolah ke ujung lainnya. “Tiangnya
… ada 37.”
“Bener kan? Lo cuma salah kaprah doang kali.”
Ravie masih terdiam di tempatnya berdiri. Ia
langsung teringat dengan kata-katanya tiga hari lalu sebelum kasus pembunuhan
pertama terjadi. Cara terbaik
menyembunyikan sebuah rahasia adalah dengan meletakkannya di tempat umum.
Kata-kata itu langsung terngiang di pikirannya. Ia mengulang kembali kata-kata
terakhir yang ia ucapkan tiga hari lalu. Meletakkannya
di tempat umum, meletakkannya di tempat umum, meletakkannya di tempat umum,
meletakkannya di tempat UMUM. UMUM, UMUM.
“Cara terbaik menyembunyikan sebuah rahasia
adalah dengan meletakkannya di tempat umum.” gumam Ravie.
“Maksud lo?” tanya Angel.
“Tempat ‘umum’. Itu yang dimaksud George
Washington. Perhatiin kata-katanya. Umum.” kata Ravie. Ia menekankan kata
‘umum’ terakhir dalam pengucapannya.
“Lo nggak usah sok bikim misteri deh, Pi.” kata
Timotius dengan nada bosan.
“Yang dimaksud George Washington itu tempat
umum. Jumlah tiangnya ada 36. Tiang yang ada di depan Kelas XI IPS 3 itu bukan
tempat umum, termasuk juga tiang yang ada di lantai satu sama tiga. Tiang itu
nggak ketauan sama masyarakat yang ada di sekitar sekolah. Gue yakin lo nggak
bakal tau kalo di depan XI IPS 3 ada tiang sebelum lo ngeliat tiang itu.”
“Terus?” tanya Timotius.
“Kita harus ke Laboratorium Bahasa sekarang.”
kata Ravie.
Ravie langsung berlari. Timotius dan Angel yang
terkejut melihat Ravie tiba-tiba berlari langsung mengikutinya berlari di
belakangnya.
Ravie menaiki tangga menuju ke lantai tiga.
Kedua temannya mengikutinya dari belakang. Ravie langsung menikung ke kiri
setelah sampai di lantai tiga. Ia berhenti di depan Laboratorium Bahasa yang
pintunya tertutup rapat.
“Ada apaan sih, Pi?” tanya Angel dengan nafas
yang terengah-engah.
“Kata kakak gue, pelaku pembunuhannya itu orang
yang tau tentang sekolah ini, dia juga tau ruangan ini nggak pernah dibuka, dia
bahkan punya kunci ruangan ini. Gue tau siapa dia.”
“Siapa yang lo maksud?” tanya Timotius.
Ravie mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Ia mencari kontak seseorang di daftar nama di buku teleponnya. Ravie lalu
menekan tombol panggil.
“Halo, kak. Aku tau siapa pelaku pembunuhan di
sekolah aku. Kakak bisa dating ke sekolah aku sekarang?” Ravie lalu berhenti
bicara, lalu melanjutkan lagi. “Iya, Kak. Aku tunggu.”
Ravie memutus sambungan telepon dan memasukkan
ponselnya kembali ke sakunya. Ia lalu mencoba membuka Laboratorium Bahasa
dengan memutar pegangan pintunya berkali-kali dan menarik-narik pintunya.
Dari kejauhan di ujung koridor, seseorang
berjubah hitam sedang memperhatikan tiga orang siswa-siswi yang masih berada di
area SMA N 5 Jakarta. Ia langsung menghubungi orang lain melalui ponselnya.
“Halo…”
“Halo.”
“Ada tiga orang murid yang masih ada di area
sekolah. Salah satunya nyoba ngebuka tempat pemujaan kita.”
“Apa yang harus saya lakukan ke mereka?”
“Hapus mereka bertiga.”
“Baiklah.”
Sambungan telepon lalu terputus. Seseorang yang
diperintahkan untuk menghapus Ravie, Timotius, dan Angel langsung beraksi
dengan membawa pisau berburu. Kata ‘hapus’ yang digunakan dalam pembicaraan
mereka di telepon adalah kata lain dari singkirkan, atau dengan artian lain
adalah bunuh.
Seseorang berjubah hitam dan membawa pisau berburu
kini menuju lantai tiga. Ia sedang menaiki tangga di sebelah barat.
Ravie masih mencoba membuka pintu Laboratorium
Bahasa yang terkunci. Ia terus memutar-mutar pegangan pintunya dan
menarik-narik pintu itu, berharap pintu itu bisa terbuka dan ia dapat menungkap
misteri pembunuhan teman-temannya.
“Ya udah lah, Pi. Pintunya dikunci. Kita nggak
bakalan bisa masuk ke dalem.” kata Angel.
Tiba-tiba pintu yang sejak tadi terkunci
terbuka begitu saja.
“Bisa dibuka kok.” kata Ravie sambil menatap
Angel dan sedikit menyunggingkan senyum.
Ravie lalu masuk ke dalam Laboratorium Bahasa.
Angel dan Timotius mengikutinya dari belakang. Ruangan itu terasa pengap.
Banyak monitor di ruangan itu yang ditaruh di atas meja dengan sekat dan kaca
pembatas. Ruangan itu seperti ruangan untuk interaksi visual antara guru dan
murid. Debu-debu berterbangan di depan mata Ravie.
Tiba-tiba seseorang berjubah hitam membungkam mulut
Timotius dan menyanderanya dengan pisau yang ditempelkan ke leher Timotius.
“Apa yang kalian mau di ruangan ini?” kata
seseorang berjubah hitam.
“Akhirnya dateng juga.” gumam Ravie. “Kita
nunggu Anda dateng.” jawab Ravie singkat.
“Nunggu saya dateng? Kalo gitu saya udah di
hadapan Anda.” kata orang berjubah hitam itu.
Orang berjubah hitam itu lalu menggerakkan
tangannya ke arah belakang. Suara seperti ranting yang patah terdengar dari
sekeliling leher Timotius.
Angel yang melihat pembunuhan di depan matanya
hanya bisa terdiam dengan kaki yang melemas.
“Angel, lari.” kata Ravie sambil melepas tas
punggungnya.
Angel yang kebingungan bergerak ke sana kemari.
Ia bingung bagaimana caranya menghindari pembunuh di depan matanya.
Ravie dengan berani maji sambil menenteng tas
punggungnya. Ia mengayunkan tasnya dan membenturkannya ke orang berjubah di
depannya. Orang berjubah itu menangkis tas Ravie, tetapi tangannya langsung
kesakitan. Ravie mengayunkan tasnya lagi. Kali ini ia tepat mengenai kepalanya.
Suara keras langsung terdengar ketika tas Ravie menyentuh kepala orang berjubah
hitam di depannya. Orang berjubah itu pun langsung tersungkur sambil memegangi
kepalaya.
“Auh. Pasti itu sakit. Ternyata ada gunanya gue
bawa laptop hari ini.” kata Ravie sambil tersenyum kecil. “Ayo lari. Kita
misah.”
Angel dan Ravie langsung keluar dari
Laboratorium Bahasa. Mereka pergi ke arah yang berbeda. Angel turun menuju ke
lantai dua, sementara Ravie berlari di koridor lantai tiga menuju ke tangga
sebelah timur.
Angel bersembunyi di balik dinding di depan
toilet tempat tubuh Bams ditemukan. Ia lemas, kakinya gemetar. Ia pun akhirnya
merendahkan tubuhnya sambil memegangi dinding toilet.
Seorang wanita cantik tiba-tiba saja keluar
dari dalam toilet. Ia menggunakan gaun berwarna putih dengan bawahan yang
mengembang. Di bagian punggungnya terdapat tali-tali yang berfungsi untuk
membentuk tubuhnya. Rambutnya lurus berwarna hitam kecokelatan dengan panjang
sepunggung.
Angel terkejut melihat wanita yang baru saja
keluar dari toilet di belakangnya. Ia bertambah kaget ketika wanita itu
membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arahnya. Ia memandangi wanita di depannya
dari atas sampai ke bawah. Tubuh wanita itu melayang di udara.
“Si … siapa…” kata Angel terbata-bata.
“Saya Victoria. Kamu harus cepat menghampiri
temanmu yang berada di lantai atas. Orang yang mengejarnya, dia itu sangat
berbahaya.”
“Apa … maksudnya?”
“Orang itu, dia yang membuat ini semua. Dia
yang merencanakan semua pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Semua
pembunuhan ini sudah ada rancangannya, bahkan sebelum kau berada di sekolah
ini. Orang berjubah itu, dia melakukan upacara pemujaan setan dengan anggota
sekte lainnya. Semua pembunuhan yang sudah terjadi ini hanya untuk mengambil
nyawa dari orang-orang yang tidak bersalah. Mereka menginginkan kelompok
persaudaraan mereka tetap ada di dunia ini, jadi mereka memberikan nyawa
manusia kepada setan yang mereka sembah. Orang itu, dia yang menjaga sekolah
ini.”
Tiba-tiba sebuah pistol berada di depan wajah
Angel. Seseorang bertopi hitam dan berbaju rapih menodongkan pistol itu ke arah
Angel.
“Angel…?” kata orang bertopi di depannya.
“Mas Henry.” sahut Angel.
Angel mengenali orang yang menodongkan pistol
ke arahnya. Orang itu adalah Henry Pratama, kakak kandung Ravie.
“Mana Ravie?”
“Ada di atas. Dia diserang sama orang yang pake
jubah item.” jelas Angel.
Henry langsung menarik lengan Angel dan berlari
ke arah tangga. Angel mengimbangi lari Henry yang cepat. Ia menoleh ke arah
belakang. Wanita yang berpakaian seperti gaun bangsa Belanda itu melambaikan
tangannya ke arah Angel. Sepertinya Henry tidak bisa melihat wanita cantik
tadi.
Ravie yang sedang dalam keadaan terpojok hanya
bisa terduduk. Di depannya ada orang berjubah yang tadi dipukulnya menggunakan
tasnya. Ia menodongkan pisau berburu di tangannya ke arah Ravie.
“Kayaknya kamu orang yang berbahaya. Kamu nyoba
nyari tau keberadaan kami dengan nyari tau dari temen-temen kamu. Kamu bahkan
tau kalo kami sengaja menaruh simbol piramid dan All-Seeing-Eye di tempat
ibadah. Kamu juga tau kalo bangunan sekolah ini dibuat dengan jumlah tiang yang
di dalemnya kami sisipin angka yang jadi identitas kami. Seharusnya Bapak
Freemason nggak pernah ngucapin kalimat bodoh itu.” kata orang berjubah
tersebut.
“Jadi Anda udah tau siapa saya. Bukan hal aneh
buat saya, karena saya juga tau siapa Anda. Anda kan yang ngelakuin semua
pembunuhan ini? Anda kan yang ngebunuh murid-murid di sini? Iya kan?” Ravie
menarik nafas sejenak. “Mang Adang?”
Orang berjubah itu tertawa kecil seperti setan.
Ia lalu membuka penutup kepalanya. Ternyata orang di dalam jubah itu adalah
Mang Adang, penjaga sekolah SMA N 5 Jakarta.
“Kamu hebat juga bisa tau siapa saya.” kata
Mang Adang. Logat Betawinya hilang seperti ia asli bukan orang Betawi.
“Bukan hal yang sulit buat saya nebak siapa
Anda.”
“Jadi, ada kata-kata terakhir sebelum saya
menghapus kamu?”
Ravie tersenyum dan mengatakan, “ Selamat
tinggal.”
Suara tembakan terdengar dari ujung koridor.
Mang Adang langsung tersungkur dengan bahu yang terluka. Ravie melihat kakaknya
Henry sedang berdiri jauh di depannya sambil memegang pistol. Henry kemudia
berlari menghampiri Ravie.
Tiba-tiba orang-orang berjubah hitam lain
menaiki tangga dan menghampiri Mang Adang yang terluka. Mereka membuka penutup
kepala mereka dan membantu Mang Adang berdiri. Tidak bisa dipercaya bahwa Pak
Supandji adalah bagian dari sekte gelap ini.
Suara beberapa pistol terdengar dari arah
tangga. Ternyata Henry membawa empat orang temannya yang juga agen ICA. Henry
dan agen ICA lain kemudian menangkap Mang Adang dan anggota sektenya yang lain.
Mereka semua dibawa ke kantor polisi dengan menggunakan mobil dari ICA.
SATU MINGGU KEMUDIAN
Senin pagi ini SMA N 5 Jakarta kembali
melakukan upacara. Dengan pengecualian, akhirnya upacara dilakukan kembali
setelah minggu kemarin dilaksanakan.
Ravie berdiri di depan barisan kelas-kelas. Ia
didampingi oleh Kepala Agen ICA dan beberapa guru yang berdiri di dekat tiang
bendera.
“Terima kasih kepada saudara Ravie, yang telah
mengungkap misteri pembunuhan beberapa murid sepekan lalu, sekaligus mengungkap
pelaku pembunuhan yang telah menewaskan empat teman kita.” kata Ibu Melati.
Mr. Cornel, Kepala Agen ICA, yang berdiri di
samping Ravie kemudian berpindah dan berdiri di hadapan Ravie. Ia memberikan
sebuah piagam penghargaan yang digulung rapih dan diikat dengan pita biru.
Mr. Cornel menyalami Ravie. “Terima kasih atas
dedikasi kamu dalam membantu memecahkan kasus ini.” kata Mr. Cornel dengan
aksen Indonesia yang buruk.
Henry lalu mengambil gambar dengan kamera yang
dibawanya.
Saat istirahat tiba, mading dipenuhi dengan
siswa-siswi yang ingin melihat si pengungkap misteri pembunuhan di SMA N 5
Jakarta. Di mading itu terdapat foto Ravie bersama yang memegang piagam bersama
Henry dan Mr. Cornel. Di atas foto tersebut terdapat kertas yang bertuliskan
‘Ravie Pratama, The Mystery Seeker’.
2 comments:
mmm..ceita ini sangat bagus,inpiratif..
pertanyaan..kenapa "MANG ADANG" jd salah satu anggota "FREEMASON"?? :D
jawabannya adalah.. memang begitulah jalan ceritanya
Posting Komentar