Rabu, 22 Februari 2012

Mistletoe


MISTLETOE
By: Muhammad Misbahuddin

Henry Pratama, seorang simbolis muda yang masih berjuang di dunia pendidikan. Ia tidak pernah lelah untuk terus menuntut ilmu. Ia juga dipekerjakan oleh salah satu badan intelijen rahasia di Indonesia untuk menyelidiki beberapa kasus kriminal yang mengandung unsur kode atau simbol-simbol tertentu.
Pagi ini ia sedang berada di sebuah rumah sakit. Ia sedang duduk di sebuah kamar pasien. Ia bersama seseorang yang sedang terbaring sakit. Seseorang yang ia cintai setelah ibunya sendiri yang sudah sebulan lalu meninggal dunia. Katie, kekasihnya yang menderita kanker darah itu kini terbaring di rumah sakit. Keadaan Katie yang buruk membuat Henry rela pulang ke Indonesia dan meninggalkan studinya di Australia.
Henry duduk di samping tempat tidur pasien yang di atasnya terbaring Katie sambil kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Katie. Tiba-tiba ia terkejut oleh dering ponselnya sendiri.
Henry mengambil ponselnya dari saku celananya. Layar ponselnya berkedip dan menunjukkan nama Mr. Cornel.
“Halo.” kata Henry menjawab telepon dari Mr. Cornel.
“Good Morning.” sapa Mr. Cornel dari telepon.
“Good Morning, Mister.”
“Kamu sekarang ada di mana?” tanya Mr. Cornel dengan aksen Indonesia yang buruk.
“Saya sedang berada di rumah sakit, Mister. Ada apa? Apa ada kasus lagi?”
“Ya. Di Semanggi ada sebuah kasus pembunuhan. Sebaiknya kamu cepat meluncur ke lapangan.” jelas Mr. Cornel.
“Baik. Saya segera meluncur.” Henry kemudian memutus sambungan teleponnya.
Mr. Cornel adalah presiden di badan intelijen rahasia tempat Henry bekerja. Dengan kata lain, Mr. Cornel adalah bos Henry.
Henry segera meluncur ke lokasi kejadian yang diinformasikan Mr. Cornel. Ia mengemudikan mobil dengan cepat, dan dalam hitungan menit ia sudah sampai di tempat kejadian perkara.
Di sebuah parkiran restoran di daerah Semanggi, tergeletak mayat seorang lelaki lengkap dengan pakaian yang masih menempel di tubuhnya. Beberapa polisi dan petugas keamanan terlihat sedang berada di sekitar mayat, polisi yang lainnya berdiri di samping mobil patroli sambil memegang walkie-talkie yang langsung tersambung ke kantor pusat kepolisian.
Henry menembus kerumunan masyarakat yang mengerubungi di sekitar mayat. Ia melihat keadaan mayat yang begitu mengenaskan. Terdapat luka tembak di bagian dada korban.
“Henry. Kami sudah menungu kedatanganmu.” kata Pak Denis yang tiba-tiba saja datang.
“Bagaimana kejadiannya, Pak?” tanya Henry sambil terus melihat mayat yang tergeletak di atas aspal parkiran.
“Menurut saksi mata di sini, ia ditembak oleh seseorang berjaket hitam dan bercelana hitam. Kami belum bisa memastikan siapa pelaku pembunuhan ini, tapi mungkin kau bisa membantu kami dengan mengidentifikasi luka goresan di tangan korban.” jelas Pak Denis.
“Sebelum saya memeriksa luka goresannya, saya ingin bertanya kepada Bapak. Bagaiman bisa korban mati dengan bentuk yang tidak biasa seperti ini, Pak?”
“Kami belum bisa mengidentifikasikannya mengingat kejadian ini terjadi baru beberapa menit yang lalu.”
“Baiklah.” kata Henry sambil menghembuskan nafas.
Henry lalu berjalan menuju bagian tangan korban. Ia melihat tangan kiri dan kanan korban yang saling bersinggungan. Ibu jari dan telunjuknya saling ditempelkan ke jari yang sama di tangan sebelahnya sehingga membentuk segitiga di atas kepalanya. Di tengah segitiga yang dibuat oleh jari korban terdapat cincin yang terbuat dari emas yang dilumuri dengan bercak darah.
Henry melihat ada sebuah peniti berukuran agak besar di dekat telapak tangan kiri korban. Jarum peniti itu berlumuran darah di bagian ujungnya. Henry penasaran dengan peniti yang berdarah itu. Ia memperhatikan peniti itu yang letaknya dekat dengan telapak tangan korban. Henry menyentuh sedikit telapak tangan kiri korban, dan ia melihat seperti goresan.
Ia pun akhirnya mengangkat sedikit telapak tangan kiri korban. Di punggung tangan kiri korban terdapat luka gores yang membentuk huruf ‘V’ dan tanda tanya yang aneh.
“Pak Denis, apa aku boleh meminta selembar kertas dan meminjam sebuah bolpoin?” pinta Henry kepada Pak Denis yang saat itu sedang berkomunikasi melalui walkie-talkie.
Pak Denis lalu mengelurkan buku berukuran kecil dan sebuah bolpoin dari saku jaketnya. “Ini.”
“Terima kasih.”
Henry lalu menggoreskan sesuatu di sebuah halaman di buku milik Pak Denis. Ia serius dengan apa yang ia lakukan sekarang. Henry lalu merobek halaman yang tadi ia gunakan.
“Ini, Pak. Terima kasih. Saya hanya butuh selembar.” kata Henry sambil menyerahkan buku dan bolpoin ke Pak Denis, sementara tangan sebelahnya menunjukkan kertas yang tadi disobeknya sudah terlipat dengan rapih.
“Sama-sama.” kata Pak Denis sambil memasukkan buku dan bolpoinnya ke dalam saku jaketnya. “Jadi bagaimana menurutmu?”
“Saya belum bisa mengatakan apa maksud dari luka gores yang ada di tangan korban, Pak. Tapi secepatnya akan saya informasikan ke Bapak.” kata Henry sambil memasukkan kertas di tangannya yang dilipat rapih.
“Ya, saya harap begitu.”
“Baik, Pak. Saya permisi.”
“Ya.”
Henry lalu meninggalkan TKP. Sambil berjalan menuju tempat mobilnya diparkir, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponselnya di telinga sebelah kanannya.
“Dian..?” kata Henry setelah orang yang dihubunginya mengangkat telepon.
“Ya?” jawab Dian dari telepon.
“Bisa kau temui aku di rumah sakit tempat Katie dirawat? Ada yang ingin aku diskusikan bersamamu?”
“Sesuatu yang penting?”
“Ya. Sangat penting.” jawab Henry dengan sedikit penekanan.
Henry langsung menutup teleponnya dan masuk ke dalam mobil. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan langsung meluncur ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Henry langsung membuka kertas yang tadi dilipatnya denga rapih. Ia meletakkan kertas itu di meja. Ada beberapa goresan tinta bolpoin di kertas itu. Ia menggambar sebuah segitiga dengan lingkaran di tengahnya. Ia memberi garis keterangan dengan tulisan “CINCIN EMAS”. Di bawah gambar segitiga itu terdapat sebuah goresan lain. Sebuah hutuf ‘V’ dan tanda tanya tanpa titik yang berbentuk garis zigzag di bagian bawahnya.
Henry berpikir serius sambil terus memandangi simbol yang ia buatnya sendiri di kertas selembar. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang ia duduki. Ia memandangi langit-langit rumah sakit sambil memikirkan simbol aneh yang ia temukan di tubuh sebuah mayat.
“Simbol yang sangat aneh.” gumam Henry.
Tiba-tiba timbul pertanyaan lain yang membuatnya langsung menegakkan tubuhnya. Pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan saat di tempat kejadian perkara tadi.
“Astaga. Mengapa aku tidak menyanyakan hal itu pada Pak Denis?” tanya Henry kepada dirinya sendiri. “Bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu?”
Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah samping.
“Hal penting apa?”
Henry langsung menoleh ke arah kiri. “Katie?”
“Hal penting apa?” Katie kembali bertanya sambil ia berusaha untuk duduk di tempat tidurnya.
“Seperti biasa. Badan intelijen.”  jelas Henry.
Katie sudah mengetahui jika kekasihnya itu dipekerjakan oleh badan intelijen rahasia yang ada di Indonesia. Henry pernah menceritakannya saat Katie menanyakan kepada Henry mengapa ia sering pergi dengan terburu-buru setelah menerima telepon. Henry mengatakan kepada Katie untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun.
“Apa lagi kali ini?”
“Sebuah pembunuhan di depan sebuah restoran. Kejadiannya baru tadi pagi.” jelas Henry. Ia diam sejenak. “Maaf aku meninggalkanmu saat kau tertidur. Mr. Cornel tiba-tiba saja menghubungiku.”
“Aku baik-baik saja.” kata Katie sambil tersenyum kecil. “Lalu, hal penting apa yang kau lupakan?”
“Aku tidak menanyakan siapa korban yang dibunuh.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan mnimbulkan suara yang agak berisik. Henry dan Katie langsung menoleh. Di ambang pintu sudah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi dan bekerudung.
“Maaf aku mengagetkan kalian.” kata Dian sambil tersenyum.
Dian lalu melangkah masuk dan menutup pintu. Ia mendekati Katie dan Henry. Karakternya sangat khas ketika ia berpakaian, Ia selalu memakai sepatu sneakers dan celana jeans panjang. Sementara atasannya selalu dibalut dengan jaket abu-abu.
Dian dan Henry sudah sangat dekat sejak mereka duduk di bangku kuliah saat Henry belum pindah sekolah ke Australia.  Mereka sudah seperti saudara walaupun mereka berbeda agama.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Dian kepada Katie.
“Masih hidup.” jawab Katie singkat.
Mereka bertiga lalu tertawa bersama.
“Hei, apa yang bisa aku bantu?”
“Kau tau simbol ini?” tanya Henry sambil menyerahkan kertas yang sejak tadi dipandanginya.
Dian menyambut kertas yang digenggam Henry. Ia memperhatikan dengan serius. Tangan kirinya memegang bibirnya seperti seorang detektif yang sedang berusaha memecahkan sebuah kasus yang rumit.
“Simbolnya sulit dibaca. Tapi simbol ini seperi simbol Relikui Kematian yang ada di film Harry Potter. Hanya saja tidak ada garis yang membagi segitiganya.” kata Dian.
“Tadinya aku pikir juga begitu.” kata Henry sambil menyambar kertas yang ada di tangan Dian.
Suasana hening selama beberapa detik. Mereka berdua saling berpikir tentang simbol yang mereka lihat. Jika diperhatikan, simbolnya memang mirip dengan Relikui Kematian, hanya saja tidak ada garis yang membagi dua segitiga itu, dan cincin di tengah segitiga berukuran kecil, sehingga tidak menyinggung ketiga sisi segitiga.
Katie sedikit mencerna kata-kata yang diucapkan Henry dan Dian. Ia mendengar mereka menyebutkan soal segitiga. Ia lalu mulai berbicara di tengah keheningan yang sesaat itu.
“Apakah kalian tadi membicarakan tentang segitiga?” tanya Katie tiba-tiba.
“Ya.” jawab Dian singkat.
“Bukankah di dalam pelajaran Matematika dan Fisika simbol segitiga dibaca dengan sebutan Delta?”
“Delta?” gumam Dian bertanya-tanya sendiri.
“Aku benar ‘kan?” tanya Katie kepada Henry dan Dian.
“Delta.” gumam Henry sambil mengangguk perlahan. “Tapi apa maksud cincin emas di tengah segitiga?”
Mereka kembali hening. Beberapa detik berlalu, tetapi belum ada yang berbicara. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dian berdiri menopang tubuhnya di kasur sambil tangannya dilipat di depan dadanya. Katie terduduk di atas kasur sambil melihat simbol yang dibuat Henry di atas selembar kertas
Dian mengulang kata-kata yang diucapkan Katie. Ia terus mengulang kata ‘Delta’ di pikirannya. Sebuah segitiga dan cincin emas di tengahnya. Delta dan cincin emas.
“Aku tau.” kata Dian tiba-tiba dengan suara yang sedikit tinggi.
“Astaga, Dian. Bisakah kau tidak begitu tiba-tiba?” protes Henry.
“Maaf.” kata Dian sambil tersenyum. “Simbol itu, bukankah itu nama sebuah perumahan di daerah Cikarang?”
“Perumahan?”
“Ya. Apa kau pernah mendengar perumahan Delta Mas?”
Henry berfikir sejenak. Katie memandangi Dian yang bisa berfikir sampai ke nama sebuah tempat. Dian terlihat seperti sedang menunggu jawaban.
“Yesus.” kata Henry dengan suara agak tinggi.
“Kau mengagetkanku.” kata Katie.
“Maaf.” kata Henry sambil tersenyum kecil. “Apa kau membawa notebook?”
“Ya.” jawan Dian singkat
“Aku pinjam.”
Dian langsung mengeluarkan notebooknya dari dalam tas selempangnya. Sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna hitam langsung diletakkannya di atas meja.
Henry lalu membuka notebook itu dan mengaktifkannya. Sinar biru menyala di dekat tombol daya. Layar mulai menunjukkan tampilan Log On. Henry memilih sebuah user yang bernama Dian Chaerani. Tanpa menggunakan kata kunci, dan user itu lalu terbuka. Henry membuka menu Network Connections.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Dian.
“Google Maps.” jawab Henry singkat dengan nada datar.
“Aku tidak membawa modem.”
“Kamar ini bagian dari hot spot.”
Henry masih serius dengan notebook yang ada di depan wajahnya. Beberapa kali ia melakukan ‘klik’ di sana-sini, akhirnya notebook itu pun tersambung ke internet melalui layanan internet tanpa kabel.
Henry membuka aplikasi internet Safari, dan menulis di kotak alamat. http://www.google.com/. Situs langsung terbuka dalam hitungan detik. Ia memilih menu bertuliskan ‘Maps’. Lalu sebuah peta digital muncul di layar. Ia menuliskan kata ‘Cikarang’ di kolom pencarian. Peta lalu bergeser ke wilayah Cikarang. Gambar lalu diubah ke tampilan satelit. Jalan-jalan dan rumah-rumah langsung terlihat jelas di layar.
Henry menggeser peta ke arah bawah dengan perlahan. Daerah perumahan Delta Mas mulai terlihat di peta. Henry terus menggeser peta ke arah bawah. Peta di layar menunjukkan sebuah daerah yang agak sepi dari bangunan. Hanya terlihat sebuah jalan bebas hambatan yang seperti garis putih di layar. Henry masih menelusuri peta.
Jalan mulai menikung dan bercabang menjadi tiga. Ketiga cabang itu kemudian menikung dan membentuk cabang lagi di tikungannya. Jalan-jalan itu kemudian memusat di sebuah titik yang berada di tengah-tengah.
Dian melotot melihat apa yang ia lihat di layar. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Pola jalan yang berbentuk seperti sebuah bangunan di Amerika yang pernah dihancurkan pada tanggal 11 September 2001.
“Apa?” gumam Dian.
“Aku pernah diberi tau oleh temanku. Sebuah konspirasi dunia yang ternyata juga ada di Indonesia.” kata Henry.
“Apa itu Pentagon?” tanya Katie.
“Bukan. Itu hanyalah jalan-jalan yang berbentuk pentagon. Entah kenapa jalan-jalan itu dibangun membentuk seperti itu.” jelas Henry.
Mereka bertiga memandangi layar notebook yang menampilkan gambar peta di daerah Perumahan Delta Mas. Peta itu menunjukkan sebuah jalan di daerah Cikarang yang membentuk segi lima sama sisi. Bentuknya mirip dengan dengan bangunan Pentagon yang berada di Amerika.
“Bangunan Pentagon di Amerika pernah dihancurkan. Pada tanggal 11 September 2001. Bersamaan dengan waktu penghancuran gedung WTC yang ditabrak oleh pesawat. Konspirasi mengatakan bahwa tragedi 11 September sudah direncanakan sebelum kedua bangunan itu dibangun. Kalian bisa melihatnya di uang 5 Dollar Amerika, 10 Dollar Amerika, 20 Dollar Amerika, 50 Dollar Amerika, dan 100 Dollar Amerika.” jelas Henry.
“Sepertinya kau sering membaca buku sejarah ya.” kata Dian sambil melihat kagum ke arah Henry.
“Mungkin lebih tepatnya Novel Sejarah. Karena novel selalu mengungkapkan sejarah lebih lengkap dari pada yang kita ketahui. Bahkan novel sejarah lebih terbuka dalam mengungkapkan sejarah dari pada buku Pelajaran Sejarah yang kita pelajari sewaktu sekolah.” jawab Henry.
Pernyataan Henry memang bisa dibenarkan tentang novel sejarah. Karena pada faktanya sebuah novel lebih lugas dalam menceritakan sejarah. Bahkan novel juga menceritakan sejarah yang selama ini ditutup-tutupi di buku Pelajaran Sejarah.
Suasana hening selama beberapa detik. Mereka bertiga masih memandangi layar notebook yang diletakkan di meja.
“Tunggu-tunggu. Aku masih tidak mengetahui apa maksud dari huruf ‘V’ dan tanda tanya yang berbentuk aneh ini.” kata Katie memecahkan keheningan yang berlangsung beberapa saat.
“Itu bukan sekedar huruf ‘V’, tapi itu juga sebuah angka. Dalam angka Romawi, angka lima dituliskan dengan huruf ‘V’.” jelas Henry. “Kau bisa melihatnya pada menara jam di Gedung Parlemen yang terdapat di Inggris.”
“Lalu apa hubungannya dengan jalan tol itu?” tanya Katie sambil jarinya menyinggung peta yang ditampilkan di layar notebook.
“Penta dalam bahasa Latin berarti lima. Kau bisa lihat di layar. Ada sebuah bangunan dengan bentuk segi lima.” jelas Dian. Dian sama pintarnya dengan Henry. Mereka berdua selalu bersaing nilai di kampusnya saat Henry masih kuliah di Jakarta.
“Lalu bagaiman dengan tanda tanya yang aneh ini?”
Dian mengangkat bahunya. Disusul dengan Henry yang juga ikut mengangkat bahunya. Simbolnya memang sulit sekali dibaca. Selain bentuknya yang aneh, mungkin Henry salah membuat bentuk simbol itu.
Tiba-tiba terdengar musik dengan irama yang indah. Musik pembuka dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Amerika bernama Justin Bieber yang berjuldul Mistletoe.
Dian langsung merogoh saku celananya. “Maaf. Aku harus mengangkat telepon dulu.” Dian lalu berjalan ke luar kamar.
Pintu tertutup. Kini tinggal Henry dan Katie yang berada di dalam kamar rawat inap.
“Mistletoe.” gumam Katie.
“Ya?” Henry lalu menoleh ke arah Katie.
“Mistletoe. Aku selalu ingin melihat mistletoe. Namun tidak mungkin kita menemukannya di Indonesia.” jelas Katie.
“Kau yakin ingin melihat mistletoe?”
“Ya.”
“Aku akan membawa dirimu ke tempat mistletoe berada. Kau akan melihatnya saat natal nanti.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang perawat berpakain rapih memasuki ruangan sambil membawakan sepiring makan siang, segelas air mineral, dan obat yang harus diminum Katie. Semuanya tertata rapih di atas senbuah nampan.
“Selamat siang.” sapa perawat wanita berwajah bersih itu.
“Selamat siang.” balas Henry.
Katie hanya tersenyum.
“Sudah saatnya makan siang, Nona Katie. Setelah makan, jangan lupa diminum obatnya.” kata perawat itu. Di seragamnya yang serba putih, terdapat nametag yang menempel di bagian dada sebelah kanan. Di sana tertulis Lisa S.
“Terima kasih, Suster Lisa.” kata Henry.
“Sama-sama, Tuan...”
“Henry.”
“Tuan Henry. Saya tinggal dahulu, saya ingin kembali bekerja.” kata Suster Lisa.
Suster Lisa lalu keluar kamar dan menutup kembali pintu kamar.
Katie mengambil makanannya yang diletakkan di atas meja. Ia menyendok makanannya dan mulai melahapnya. Kemudian ia mengambil air di dalam gelas dan meneguknya.
“Suster yang ramah.” gumam Henry.
“Ya.” balas Katie.
“Silas.”
“Apa?”
“Tidak. Nama suster tadi, tertulis Lisa S. Seperti sebuah anagram yang membentuk kata Silas.” kata Henry. “Kau tau nama tokoh dalam novel karya Dan Brown yang organisasi kaltolik Opus Dei?”
“Si albino itu? Yang membunuh pemimpin Biarawan Sion bernama Jacques Sauniere?” tanya Katie. Ternya dia masih hafal nama-nama tokoh di dalam novel itu.
“Ya. Ternyata kau masih hafal benar nama-nama tokoh dalam cerita The Da Vinci Code.” kata Henry. “Biar aku yang menyuapi.”
Henry lalu mengambil piring dari tangan Katie dan mulai menyuapi Katie perlahan-lahan. Katie melahap makanannya dengan nikmat.
“Aku tidak tau kalau kau menyukai cerita Dan Brown.” kata Henry.
“Tentu saja aku suka. Bukankah kau yang memberikan buku itu kepadaku di hari ulang tahunku?” kata Katie sambil mengunyah makanannya.
“Ya aku ingat. Aku pikir kau tidak akan menyukainya.”
“Yah, walaupun ceritanya bertentangan dengan ajaran yang berada dalam Alkitab, aku menyukai jalan ceritanya yang begitu misterius.”
“Baguslah kalau begitu. Berarti aku tidak salah memberikanmu buku.” kata Henry sambil kembali menyendok makanan yang ada di piring. “Kau sudah melihat filmnya?”
“Ya. Tapi aku rasa lebih bagus novelnya daripada filmya.”
“Menurutku sama saja.”
Kemudian Katie terbatuk-batuk. Henry segera mengambil segelas air yang diletakkan di atas meja, kemudian meminumkannya ke Katie.
Katie langsung meneguk air di dalam gelas banyak-banyak. Ia bernafas sejenak, lalu meminum kembali air itu. Ia kemudian bernafas kembali dengan lega.
“Sebaiknya kau habiskan dulu makananmu sebelum bicara.” kata Henry.
“Ya. Sepertinya aku mendapat hadiahnya.” kata Katie.
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
Henry lalu menyendokkan suapan terakhir dan Katie langsung menyantapnya. Kini giliran obatnya yang harus diminum.
Pintu kamar terbuka. Dian masuk sambil berlari kecil ke arah Henry. Tangan kirinya masih menggenggam ponselnya. Layarnya menyalah sebentar, lalumeredup dan mati.
“Temanku yang melakukan studi di kepolisian mengatakan bahwa ada pembunuhan di sebuah sekolah.’ kata Dian.
Tiba-tiba ponsel Henry berdering. Henry segera mengangkatnya.
“Halo… Ya… Baiklah… Baiklah, Mister. Saya segera ke lapangan.” kata Henry berbicara dengan ponselnya. Wajahnya sangat serius.
“Kasus lagi?” tanya Katie sambil meletakkan gelas di atas meja.
“Ya. Baru terjadi sekitar tiga lima menit yang lalu. Seorang siswa dibunuh di dalam ruang media di SMA N 5 Jakarta.” jelas Henry.
“Bosmu cepat sekali mendapatkan informasi. Baru saja aku ingin mengatakan lokasi kejadiannya.” kata Dian dengan nada sedikit kecewa.
“Jadi kau pergi lagi?” tanya Katie.
“Ya. Maafkan aku. Aku tidak akan lama. Aku segera kembali setelah selesai bertugas.” kata Henry.
“Hati-hati.” kata Katie sambil tersenyum manis.
“Baiklah, aku pergi dulu.” kata Henry. Ia mengecup kening Katie, lalu mengambil jaketnya dan segera berangkat ke lokasi pembunuhan.
Henry langsung menuju mobilnya yang diparkir di halaman depan rumah sakit dan langsung meluncur ke SMA N 5 Jakarta besama Dian. Henry baru kali ini menangani pembunuhan di sebuah sekolah, apalagi hari ini adalah hari kerja. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada banyak siswa-siswi yang akan mengerubungi tempat kejadian perkara. Hal ini bisa menjadi hambatan untuk Henry dalam mengerjakan tugasnya sebagai penyelidik.
Henry dan Dian berada di dalam mobil. Henry yang menyetir mobilnya. Mobilnya melaju cepat di jalan besar. Dian masih sibuk dengan ponselnya sejak dari rumah sakit.
“Ya ya… Baiklah… Terima kasih banyak.” kata Dian lalu memutus sambungan telepon. “Akan sedikit macet di dekat SMA N 5 nanti. Kau harus mencari jalan pintas.”
“Akan aku usahakan.” sahut Henry.
Henry menaikkan kecepatan laju mobilnya.
Sekitar 20 menit berlalu. Kini mobil yang dikendarai Henry melaju di kawasan Serdang, Kemayoran. Henry mengambil jalan pintas. Ia menikung ke kiri ke Jalan Mawar. Henry terus menelusuri jalan yang agak panjang itu.
“Apa kau tau daerah ini?” tanya Dian.
“Tidak. Tidak terlalu.” jawab Henry singkat.
Mobil lalu berbelok ke kanan di ujung jalan dan terus melaju. Di arah depan di kejauhan, terlihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Sunter dengan arah ke kiri. Mobil lalu menikung ke kiri di persimpangan Howitzer.
Persimpangan itu diberi nama Howitzer karena salah satu dari keempat jalan di persimpangan itu bernama Jalan Howitzer. Howitzer adalah sebuah artileri medan. Nama Howitzer berasal dari kata dalam bahasa Ceko, yaitu Houfnice. Diturunkan dari bahasa Jerman, Haubitze, dan bahasa Belanda, Houwitser. Howitzer adalah meriam dari abad ke-15 yang digunakan oleh suku Hussites dalam perang Hussite. Howitzer berbeda dari jenis meriam artileri lainnya dalam hal trayektori penembakannya.
Entah kenapa jalan itu dinamai dengan nama senjata. Bahkan cabang jalan di sepanjang Jalan Howitzer juaga dinamai dengan nama senjata, seperti Pistol dan Bazoka.
Mobil sekarang melaju di Jalan Sumur Batu dan mengarah ke wilayah Sunter. Mobil melewati sebuah bengkel dan sebuah warung fotocopy dengan cat berwarna kuning bergambar sebuah produk kartu seluler.
Mobil lalu menikung ke kiri dan memasuki jalan dengan reklame yang bertuliskan SMA Negeri 5 Jakarta. Kemudian mobil yang dikendarai Henry melewati pagar hijau SMA N 5 Jakarta dan memasuki lapangan yang luas. Mobil lalu diparkirkan di sisi lapangan di sekat pagar.
Henry mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil. Dian mengikuti Henry keluar dari mobil. Henry mengambil jaketnya di dalam mobil, lalu menutup pintu mobil.
Henry melihat ke sekeliling sekolah. Lapangan SMA N 5 Jakarta dipenuhi dengan siswa-siswi yang masih memakai seragam putih abu-abu. Seorang guru wanita berkerudung putih menghampiri Dian dan Henry yang berdiri di belakang mobil.
“Tuan Henry?” tanya guru wanita di depan Henry.
“Ya.” jawab Henry singkat.
“Dan ini?”
“Ini rekan kerja saya, Ibu Novita. Dian bisa membantu saya menyelidiki kasus ini.” jelas Henry sambil melirik nametag yang terpasang di seragam guru wanita di depannya. Nametag itu bertuliskan Ella Novita MTh.
“Baiklah. Mari ikuti saya.” kata Ibu Novita.
Ibu Novita lalu mengantar Henry dan Dian ke tempat kejadian perkara. Henry memakai jaketnya sambil berjalan ke koridor.
Mereka berjalan ke koridor SMA N 5 Jakarta yang sesak dengan siswa-siswi yang membawa tas besar berisi buku-buku pelajaran. Mereka berkerumun di depan pintu gerbang tangga bagian timur, penasaran dengan kasus pembunuhan yang terjadi kepada teman mereka sendiri.
Ibu Novita membantu Henry dan Dian melewati kerumunan itu. Henry dan Dian menerobos kerumunan siswa-sisiwi itu dengan susah payah. Banyak ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut siswa-siswi itu saat Henry dan Dian melewati mereka.
“Siapa mereka iu?” tanya seorang siswa.
“Detektifnya mungkin.” jawab siswa lain.
“Ya ampun. Cowok itu ganteng banget.” kata seorang siswi.
“Mana, mana?” seorang siswi bertanya-tanya.
“Itu yang pakai jaket hitam.”
Henry bergidik mendengar perkataan mereka. Henry hanya tersenyum kecil sambil terus melangkah menerobos kerumunan siswa-siswi.
Ibu Novita lalu menaiki tangga, diikuti Henry dibelakangnya disusul Dian.
Mereka kini sampai di lantai dua. Ibu Novita menikung ke kiri dan membuka pintu sebuah ruangan yang dijaga oleh beberapa polisi di depannya. Di atas pintu terdapat papan yang menggantung dengan tulisan Ruang Audio Visual. Siswa-siswi SMA N 5 Jakarta biasa menyebutnya dengan Ruang AV (baca: avi).
“Silahkan masuk, Tuan Henry dan Nona Dian.” kata Ibu Novita sambil berdiri di depan pintu.
Henry masuk ke Ruang Audio Visual. Ruangan itu diberi karpet berwarna biru. Agak bebau di ruangan itu, menandakan air conditioner yang belum lama dimatikan. Ruangannya seperti ruang kelas biasa, hanya saja lebih tertutup dan lebih bersih. Di bagian depan terdapat papan tulis besar dan layar untuk proyektor. Meja panjang diletakkan di depan papan tulis. Di langit-langit depan teradapat proyektor yang menggantung. Kursi-kursinya tertata rapih di atas lantai yang berbeda ketinggiannya.
Di tengah ruangan, tergletak seorang siswa berjaket abu-abu gelap dengan posisi tubuh menghadap ke bawah.  Tangannya menempel di karpet seperti sedang menuliskan sesuatu dengan jarinya. Lehernya lebam seperti telah dijerat sesuatu. Di karpet terdapat banyak kertas yang berserakan. Salah satu kertas di dekat tangan siswa itu terdapat huruf yang ditulis dengan darah. Kertas itu bertuliskan huruf ‘dr’.
Henry mengeluarkan kamera digital dari sakunya dan mengambil gambar mayat korban di depannya. Henry memotret dari segala sisi. Sekitar tujuh gambar yang diambil Henry dari objek mayat di depannya.
Henry kemudian mendekati kertas yang bertuliskan ‘dr’. Ia memperhatikannya dan mengambil gambarnya. Henry kemudian berdiri dan berbicara kepada Ibu Novita.
“Saya sudah mengambil sekitar delapan gambar dari korban. Saya akan mengidentifikasikannya dan akan saya kabari ibu secepatnya.” jelas Henry.
“Laporannya segera saya tunggu.” kata Ibu Novita dengan wajah yang serius.
Tiba-tiba seorang polisi memasuki ruangan. Itu Pak Denis.
“Henry. Akhirnya kau datang.” kata Pak Denis.
“Saya sudah sejak tadi di sini, Pak. Saya sudah selesai bertugas.” kata Henry.
“Bagaimana dengan kasus pembunuhan di Semanggi?”
“Masih dalam penelitian, Pak. Akan saya laporkan ke bapak jika saya sudah selesai diselidiki.” jelas Henry dengan sedikit tersenyum. “Ibu Novita, apa ada tangga lain selain tangga yang tadi kami lewati?”
“Ya, ada. Saya bisa mengantarkan Anda.” jawab Ibu Novita.
“Pak Denis, kami permisi.”
“Ya. Silahkan.” sahut Pak Denis.
“Mari, saya antar.” kata Ibu Novita menawarkan Henry dan Dian.
Henry dan Dian kemudian mengikuti Ibu Novita. Mereka berjalan di koridor lantai dua yang agak redup. Di sela-sela perjalanan menuju tangga, Henry menanyakan sesuatu kepada Ibu Novita.
“Maaf, Ibu Novita. Jika aku boleh mengetahui, siapa nama siswa Anda yang menjadi korban?” tanya Henry.
“Namanya Hendri. Dia siswa yang pandai di sekolah ini. Belum lagi ia sangat disukai teman-temannya karena terlalu baik.” jelas Ibu Novita.
“Namanya hampir sama seperti namamu.” kata Dian.
“Apakah dia mnegikuti sebuah organisasi, perkumpulan, atau semacamnya?” Henry kembali bertanya.
“Setahuku dia hanya mengikuti organisasi Pasukan Pengibar Bendera. Tapi beberapa hari yang lalu aku melihatnya di ekstra kurikuler futsal.” jawab Ibu Novita.
“Apa ada yang aneh akhir-akhir ini dengannya?”
“Dia sering membawa sebuah medallion jam.”
“Medalion jam? Bisakah ibu menunjukkannya?”
“Aku tidak memilikinya. Pasti ada di tasnya.”
“Kalau begitu kita bertemu di suatu tempat. Aku harap ibu bisa melakukannya untuk kami.”
“Baiklah.”
Dian kemudian mengeluarkan bolpoin dari tas kecilnya dan memberikannya kepada Henry.
Henry menuliskan sebuah alamat dan nomor ponselnya di telapak tangan Ibu Novita. Henry juga menuliskan waktu pertemuannya.
“Kami harap ibu bisa merahasiakan pertemuan ini.” kata Henry.
“Akan saya usahakan.” sahut Ibu Novita.
“Jangan sampai ada yang tau tentang Medalion Jam yang ibu katakana tadi.”
“Baiklah.” kata Ibu Novita sambil mengangguk.
Ibu Novita kemudian mengantar Henry dan Dian ke tangga barat.
Henry dan Dian meninggalkan SMA N 5 Jakarta dan kembali ke rumah sakit. Henry biasanya menyelesaikan kasus di markas badan intelijen tempatnya dipekerjakan, tetapi kali ini ada sedikit pengecualian karena kekasihnya sedang sakit dan Henry tidak bisa meninggalkannya.
Henry dan Dian berjalan menuju mobil yang diparkir di sisi lapangan. Dian berusaha mengimbangi langkah Henry yang cukup cepat dan besar. Mereka berjalan melewatilapangan dan berhenti di sisi kanan mobil.
“Rumah sakit?” tanya Dian yang tiba-tiba saja sudah berada di depan Henry.
“Apa maksudmu?” Henry kembali bertanya.
“Kau menggunakan rumah sakit sebagai tempat pertemuan?”
“Ya. Apa ada masalah?”
“Aku rasa itu bukan tempat yang tepat.” pikir Dian
“Jangan kahawatir. Biar aku yang tangani ini semua.” kata Henry sambil menepuk bahu Dian.
“Terserah kau saja lah.”
Mereka berdua lalu masuk ke mobil. Mesin mobil dihidupkan dan mobil mulai bergerak melintasi lapangan SMA N 5 Jakarta. Mobil pun melewati pintu gerbang dan akhirmya meninggalkan SMA N 5 Jakarta. Mereka dalam perjalanan kembali ke rumah sakit.
Henry dan Dian berada di kamar Katie. Henry sejak tadi sibuk dengan foto-foto yang diambilnya. Kamera di tangannya terus saja menampilkan gambar-gambar yang sudah muncul berkali-kali. Henry sudah berulang kali menekan tombol next dan previous.
“Sudah kau temukan petunjuknya?” tanya Dian sambil meletakkan kepalanya dia atas tempat tidur.
“Sebaiknya kau tenang. Katie sedang tertidur.” jawab Henry singkat.
“Bagaimana aku bisa tenang jika ka uterus menekan tombol yang sama di kamera itu?”
“Aku sedang mencari petunjuk.”
“Sebaiknya kau lihat kertas bernoda darah tadi.”
Henry langsung mengganti gambar ke gambar kertas yang ai ambil tai di tempat kejadian perkara.
“Lalu?” tanya Henry.
“Bukankah itu berarti ‘Dokter’?” Katie kembali bertanya.
“Lalu apa maksudnya?”
“Bukankah kau ahlinya?”
Henry memandangi Dian dengan wajah datar. “Kau tidak membantu.”
Henry mendekat ke meja dan mengaktifkan notebook. Dia menjalankan aplikasi penjelajah internet dan mulai mengetikkan sebuah alamat.
“Hei, sekarang bukan waktu yang tepat untuk berseluncur di internet.” kata Dian seraya mengangkat kepalanya.
“Aku ingin kembali menikmati pemandangan.” jawab Henry.
Henry mengetikkan alamat http://www.google.com/ di kolom alamat. Halaman sudah terbuka, lalu Henry menu Maps, dan sebuah peta digital langsung tampil di layar.
Henry kembali ke Cikarang, tempat dari petunjuk kasus pertama. Ia menggeser peta ke bawah, dan simbol pentagon pun muncul di layar. Ia kemudian menggeser peta ke arah kanan, lalu ke arah bawah. Ia terus menelusuri peta digital di depan matanya.
“Dian, lihat ini.” kata Henry tiba-tiba.
Dian langsung mendekat ke Henry dan menatap layar notebook. Ia melihat sebuah daerah yang ditutupi dengan warna hijau.
“Apa?” tanya Dian nada bingung. Ia tidak melihat apapun yang menarik di depanmatanya.
“Perhatikan dengan benar.” kata Henry dengan nada protes.
Dian kembali memanangi peta di depannya. Ia memperhatikan lahan hijau di peta itu. Beberapa jalan berbentuk lurus panjang dan membentukan lekukan. Bentuknya seperti sebuah segitiga. Ia memperhatikan puncak segtitga itu, puncaknya berbentuk seperti persegi panjang. Jika diperhatikan dengan jelas, bentuknya seperti peralatan di laboratorium kimia.
“Itu labu elemeyer.” kata Dian.
“Ya.” sahut Henry. “Menurutmu apa hubungannya dengan simbol ini dan huruf ‘dr’ yang dibuat siswa SMA tadi?”
Dian berfikir sejenak, dan akhirnya ia menemukan petunjuknya. “Simbol kedokteran.”
“Ya, benar.”
Tiba-tiba saja ponsel Henry berdering. Henry segera mengangkatnya.
“Halo… Ya… Masuk saja ke kamar 32… Sama-sama.” Henry lalu memutus sambungan telepon.
“Lalu apa maksud ini semua?” tanya Dian.
“Itu pasti tempat tinggal si pembunuh.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suaranya sedikit bising sehingga Katie terbangun. Ibu Novita memasuki ruangan. Ia masih memakai seragam gurunya. Wajahnya terlihat khawatir.
Ibu Novita mendekati Henry dan Dian yang sedang berada di dekat meja. “Saya bawa barangnya.” Ibu Novita lalu mengeluarkan sebuah benda mirip medallion dari sakunya.
“Terima kasih, Ibu Novita.” kata Henry sambil tangannya menerima medallion.
“Tadi saya bertanya kepada Pak Denis tentang korban pertama yang terbunuh pagi hari tadi. Pak Denis mengatakan bahwa korban adalah seseorang yang menentang adanya kelompok rahasia di Indonesia. Saya tidak tau apa yang ia maksud, tapi saya yakin ini semua ada hubungannya dengan kelompok persaudaraan. Pak Denis juga mengatakan bahwa pembunuh ini sudah jadi buronan sejak dua tahun lalu.” jelas Ibu Novita.
Wajah Ibu Novita terlihat seperti orang yang ketakutan. Sikapnya seperti ia sedang diawasi oleh seseorang dari kejauhan. Bicaranya pun seperti orang yang sedang membonhkar rahasia.
“Kelompok persaudaraan?” tanya Henry.
“Maaf. Saya tidak bisa bicara banyak. Saya harus pergi.” kata Ibu Novita, lalu ia meninggalkan kamar dengan terburu-buru.
“Ada apa dengan ibu itu?” tanya Katie yang kini duduk di atas kasur.
“Apa maksudnya…” Dian belum melanjutkan kata-katanya.
“Tukang batu. Orang yang membangun Kota Jakarta ini.” Henry menyela.
“Tukang batu?” tanya Katie.
“Mereka biasa menyebut diri mereka dengan sebutan Freemason.”
“Bukankah itu organisasi tidak ber-Tuhan?”
“Lalu apa hubungannya dengan Hendri?”
Henry menatap medallion yang ia genggam. Ia menekan tombol di medallion itu, dan medallion itu terbuka. Medalion itu ternyata sebuah jam. Kaca penutupnya retak. Jarum jamnya sudah tidak bergerak. Sebuah angka tertulis di jam itu, seperti sebuah merek.
“58.” gumam Henry.
“Apa maksudmu?” tanya Dian.
“Hendri. Dia pengikut Freemason. Medalion ini adalah salah satu identitasnya.” jelas Henry.
“Lalu siapa pembunuh yang menjadi buronan polisi itu?” tanya Katie.
“Dan apa maksudnya ia memberitahukan tempat tinggalnya?” tanya Dian kemudian.
Henry berdiri dari duduknya. Ia melangkah ke tengah-tengah ruangan. Tangannya masih memegang medallion yang tadi diberikan oleh Ibu Novita. Ia lalu membalik tubuhnya dan mengatakan sesuatu. “Aku rasa aku tau maksud ini semua.”
Dian dan Katie terdiam mendengar pperkataan Henry. Mereka masih bingung dengan teka-teki simbol yang dibalut dengan pembunuhan ini.
Henry mengambil ponselnya yang diletakkan di meja. Ia menekan beberapa tombol dan menekan tombol panggil.
“Halo, Pak Denis. Adakan pertemuan pers di halaman Museum Sejarah Jakarta. Ada satu orang lagi yang harus kita selamatkan.” kata Henry bicara di telepon.
Siang berganti sore. Matahari sudah bersembunyi di ufuk barat. Langit kini sudah menghitam. Bintang-bintang sudah menampakkan wujudnya. Pukul 7.30, Henry dan Dian sudah ada di mana-mana. Wartawan dari beberapa stasiun TV sudah banyak berdatangan. Kamera-kamera sudah dipansang dengan tripod.
Henry membuka acara itu dengan sebuah salam.
“Selamat sore, saudara-saudari yang ada di sini maupun yang menyaksikan lewat layat TV. Saya sekarang berada di antara kalian untuk mengungkapkan dua kasus pembunuhan yang terjadi pagi dan siang hari ini.” Henry berhenti sejenak.
Henry memandang ke sekeliling. Banyak orang-orang dari stasiun TV  dan warga sipil yang menontonnya. Terlihat juga kerumunan siswa-siswi SMA N 5 Jakarta yang ikut menonton. Mereka juga ingin mendengarkan penjelasan atas kematian teman mereka yang tewas siang tadi.
“Saya telah mengetahui misteri di balik dua pembunuhan ini. Saya juga tau pasti si pembunuh juga sudah berada di antara kita sekarang.”
Kerumunan orang-orang itu langsung saling tengok ke kanan dan ke kiri. Bibir-bibir yang mengeluarkan kata-kata ‘Siapa?’ dan ‘Di mana?’ mulai terdengar di sekitar kerumunan.
“Tenang semuanya. Saya akan menjelaskan kepada kalian semua.”
Kerumunan itu langsung menghentikan pertanyaan yang mereka keluarkan.
“Orang ini, yang sekarang berada di antara kita adalah seorang pembunuh yang sangat kejam. Orang ini juga bagian dari sebuah kelompok persaudaraan. Orang ini mempunyai tujuan, yaitu menghabisi siapapun yang tidak menyukai organisasinya. Termasuk penghianat organisasinya.”
“Sebelum saya mengungkap siapa pembunuhnya, saya ingin memberitau Anda semua, dan pembunuh yang sekarang ada di antara kita. Pembunuh ini, pasti berfikir bahwa dia telah selesai membunuh semua orang yang harus ia bunuh. Tapi dia salah. Masih ada satu orang lagi, dan dia sedang berbicara di depan kalian semua.”
Kerumunan itu kemudian mengeluarkan suara-suara lagi.
“Ya, ya. Orang itu saya sendiri. Saya tidak setuju dengan keberadaan kelompok persaudaraan mereka, dan saya sangat menentang keberadaan mereka.”
Tiba-tiba seseorang berjaket hitam dengan tudung kepala menodongkan pistolnya ke arah Henry. Jarinya sudah siap dengan pelatuknya. Sekali saja ditarik pelatuk itu, isi kepala Henry pasti akan berhamburan seperti bubur.
Suara keras seperti ledakan tia-tiba saja terdengar. Seseorang berjaket hitam itu tiba-tiba aja jatuh ke arah samping. Telapak tangannya dipenuhi darah.
Beberapa polisi yang menyamar sebagai warga sipil langsung datang mengamankan orang itu.
“Daniel Morgan. Seorang Freemason yang melakukan dua pembunuhan hari ini. Inilah tersangka kita.” kata Henry.
Polisi langsung menangkap Daniel Morgan dan embawanya ke kantor polisi. Ia mendapat hukuman mati karena perbuatannya yang telah membunuh 193 orang dalam waktu dua tahun.
Henry dan Dian kembali ke rumah sakit. Di rumah sakit, Henry kembali menjelaskan kepada Katie dan Dian dengan lebih rinci.
“Kenapa si pembunuh meninggalkan kode yang mengarah kepada tempat tinggalnya?” tanya Dian.
“Mudah saja. Freemason adalah organisasi yang sangat hebat dan maju. Mereka pasti memiliki arsip lengkap orang-orang yang berada di dunia ini. Dalam kasus ini, si pembunuh memiliki daftar nama orang-orang yang menentang keberadaan organisasi yang diikutinya. Lalu dia membunuh orang-orang yang berada dalam daftar, dan setelah selesai dia akan menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.”
“Bagaimana dengan Hendri? Bukankah kau mengatakan bahwa ia adalah bagian dari Freemason?” tanya Katie.
“Ya, medallion itu. Itu adalah identitasnya. Hendri memang bagian dari Freemason, tetapi ia berhianat. Seorang Freemason pasti akan menjaga baik-baik identitasnya. Tetapi tidak dengan Hendri, bisa kalian lihat bahwa jam itu sudah tidak bergerak dan kaca penutupnya sudah retak.”
“Wow, pemikiranmu hebat juga.” kata Dian.
“Seperti kata Arthur Conan Doyle dalam novel serial Sherlock Holmes yang ditulisnya. Sherlock Holmes pernah mengatakan bahwa detil-detil kecil yang dilupakanlah yang sebenarnya sangat dibutuhkan.” jelas Henry.
“Lalu bagaimana kau bisa tau jika si pembunuh berada di antara kerumunan orang di halaman Museum Sejarah Jakarta?” tanya Dian
“Seperti kataku tadi, Freemason adalah organisasi yang hebat. Mereka akan menyadap semua sambungan telepon yang dilakukan, termasuk sambungan teleponku. Aku menghubungi Pak Denis untuk mengadakan jumpa pers di halaman Museum Sejarah Jakarta, si pembunuh menyadap sambungan telepon dan akhirnya ia tau acara jumpa pers tadi.”
“Dan bagaimana dengan simbol-simbol itu?” tanya Katie
“Simbol-simbol itu hanyalah teka-teki di balik pembunuhan hari ini. Lagi pula sangat tidak mungkin korban bisa membuat simbol dari itu. Korban pertama ditembak di bagian dada, pasti korban sudah meninggal sebelum menggores tangannya. Korban ke dua mati decekik, aku mengetahuinya dari bekas jeratan di lehrnya. Korban tidak akan sempat berfikir untuk menuliskan kode di kertas. Lagi pula orang yang dicekik pasti tidak bisa bernafas, yang akan menyebabkan tubuhnya menjadi lemas.”
“Jadi…” Dian belum sempat menyelesaikan perkataannya.
“Si pembunuh lah yang membuat semua kode-kode misterius itu.”
“Tapi aku masih belum tau arti dari simbol tanda tanya yang aneh itu.” kata Katie.
“Itu adalah simbol kesehatan. Kau bisa melihatnya di halaman depan rumah sakit ini. Itu petunjuk tempat tinggal si pembunuh yang daerahnya berbentuk seperti labu elemeyer.”
“Kau benar-benar orang yang hebat.” kata Dian sambil menepuk bahu Henry.
“Ayolah, jangan membuatku melayang di uadara.” kata Henry sambil tersenyum.
Mereka bertiga lalu tertawa bersama.
Dian membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya terlihat mengantuk karena kelelahan dengan aktifitasnya hari ini. Tangannya mengusap-usap matanya.
“Hari ini sangat melelahkan.” gumam Dian.
Henry melihat jam tangannya. “Pantas saja. Sudah hampir jam 12 malam.”
“Apa? Hampir jam 12? Mengapa aku belum mengantuk?” Katie bertanya-tanya.
“Sepertinya aku harus menunjukkan sesuatu kepadamu. Dian, tolong bantu aku.” kata Henry.
Henry dan Dian lalu membantu Katie berdiri. Mereka membawa Katie ke halaman belakang rumah sakit.
Di halaman belakang rumah sakit, terdapat sebuah kursi panjang dengan sebuah pohon yang cabang-cabangnya sudah tidak berdaun. Di dekat pohon terdapat lampu taman yang menyala terang. Henry dan Dian mendudukkan Katie di kursi panjang. Henry duduk di samping Katie, sementara Dian berdiri di samping kursi.
“Apa maksudmu membawaku ke sini?” tanya Katie.
“Kau lihat pohon itu? Daun kecil di sana adalah mistletoe.” jawab Henry.
“Jadi sekecil itukan daunnya?”
“Ya. Itu yang sering aku lihat di Australia.”
“Unik sekali.”
Henry melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 12 tepat tengah malam. “ Selamat Natal, Katie.”
“Selamat Natal.” sahut Katie lalu menyandarkan kepalanya di bahu Henry.
Untuk sejenak, Dian membiarkanmereka berdua menikmati saar-saat mesra ini. Waktu terus berjalan dan semakin larut. Angin berhembus. Dian merapatkan jaketnya.
“Di sini dingin sekali. Sebaiknya kita masuk.” kata Dian berbisik di telinga Henry.
“Baiklah.” jawab Henry. “Katie, kita harus masuk. Di sini mulai dingin.”
Tidak ada jawaban dari Katie. Ia masih menyandarkan kepalanya di bahu Henry.
“Sepertinya dia tertidur.”  kata Henry.
“Biar aku yang membangunkannya.” Dian lalu mendekati Katie. “Katie, bangun Katie.” Untuk sedetik, Dian terkejut. “Astaga, tangannya dingin sekali.”
“Apa kau serius?”
“Katie, Katie. Kau harus masuk ke dalam.” Dian sekali lagi membangunkan Katie.
Katie masih tidak menjawab. Tubuhnya juga tidak bergerak sama sekali. Tangannya terlihat lebih pucat daei sebelumnya.
Dian memeriksa denyut nadi Katie. Alangakah terkejutnya Dian dengan apa yang terjadi. Ia tidak bisa merasakan denyut nadi Katie. “Innalillahi wa inna illaihi raji’un.”
“Apa? Ada apa? Apa yang terjadi” tanya Henry. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Dia sudah tiada.”
“Apa? Tidak mungkin.” kata Henry. Kemudian ia menggenggam tangan Katie yang dingin. “Tidak mungkin. Katie tidak mungkin pergi.”
Air mata Henry mengalir di pipinya. Dian yang menyaksikannya hanya bisa tertunduk sambil bersimpuh di atas tanah. Udara dingin kembali berhembus, menambah haru suasana malam ini.
Permintaan terakhir Katie adalah melihat mistletoe, dan Henry sudah mengabulkan permintaannya. Tepat seperti janjinya, Henry memperlihatkan mistletoe kepada Katie sebelum waktu natal tiba. Pada malam ini, Tuhan memanggil Katie untuk selamanya. Tapi nama Katie akan terus ada di hati dan pikiran Henry dan Dian.




_TAMAT_




1 comments:

crezno mengatakan...

This story is very interesting, nice, wonderful and imaginative. not boring, so want to read it again and again

Posting Komentar